Tuesday, July 26, 2016
Omabak Bahtera Kehidupan
Cerita penuh inspirasi dari ustadzah Halimah Alaydrus mengenai sahabat beliau Khadijah Baidho.
Saya sering mendengar orang-orang bercerita bahwa laki-laki yang paling romantis adalah laki-laki bule. Saya mendapati bahwa ucapan itu tidak lah sepenuhnya benar.
Semasa saya belajar di tarim , hadramaut, Yaman, saya banyak mengenal muslimah dari Amerika, Australia, Eropa bahkan Afrika. Dan kebanyakan mereka tinggal di Tarim untuk memperdalam islam bersama dengan suami dan anak-anak mereka .
Dari sekian banyak suami-suami teman saya itu, saya perhatikan yang paling romatis adalah suami Khadijah. Ia bukan bule karena tidak berasal dari negara Barat, melainkan dari Baidho, sebuah daerah yang berada di utara Yaman.
Suatu hari saat sedang berbincang santai, saya berkata kepadanya, "Kamu beruntung Khadijah, suamimu itu sangat lembut dan memuliakanmu, Aku rasa suamimu adalah suami paling romantis yang kukenal."
Khadijah tersenyum dan menjawab, "Iya, dia memang lelaki yang sangat baik akhlaknya. Aku beruntung menikah dengannnya?"
"Semoga jika menikah nanti, Allah memberiku suami seperti suamimu itu," ujarku, mengomentari pujiannya.
Mendengar itu kulihat wajah Khadijah berubah ekspresi. Dia lalu berkata, 'Untung saja waktu itu aku tidak memutuskan sesuatu yang berbeda."
"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.
Wanita Arab berkulit sawo matang itu menghembuskan nafas panjang, lalu bercerita, "Kami menikah dua tahun, bulan-bulan pertama pernikahan semuanya berjalan indah. Dia seperti yang kamu lihat seakarang ini, sangat lemah lembut dan menghargaiku. Kami hidup sederhana, menempati sebuah rumah kecil pemberian orang tuanya, Dia bekerja sepanjang hari dan kembali sebelum maghrib, kami lalu sholat berjamaah membaca Al Quran, Sholat isya, lalu makan malam. Ia adalah imam yang sempurna. Aku beruntung mendapatkannya.
'Bulan demi bulan berlalu dan ujian itu kemudian datang. Suatu hari ia pulang larut malam. Aku menunggunya dengan gelisah karena khawatir terjadi sesuatu yang tak diinginkan, Sepanjang malam aku berdoa agar dia pulang dengan selamat.
"Lewat tengah malam aku mendengar suara pintu dibuka, akupun segera menuju ke ruang depan. namun alangkah sangat terkejutnya aku mendapati dia jatuh pingsan di pintu dalam keadaan mabuk.
"Aku seret dia menuju kamar. Dengan sekuat tenaga kubaringkan dia di tempat tidur. Kucoba bangunkan dia namun dia benar-benar tidak sadarkan diri. melihat keadaannya, akubenar-benar sedih dan kecewa. Bagaimana seorang laki-laki yang begitu kukagumi dan kucintai, kudapati mabuk seperti ini?"
Khadijah terdiam sejenak. Disusutnya airmata yang tergenang di pelupuk matanya, ia memandang saya dan berkata,"Aku tidak tahu bagaimana di negaramu Halimah, Tapi di negeriku, jangankan mabuk, merokok saja sudah dianggap sebagai tindak kriminal bagi laki-laki. Jadi dapat kau bayangkan seperti apa kesedihanku malam itu. Aku menangis disamping suamiku yang terbaring dalam kondisi yang menyedihkan.
Bajunya kotor, rambutnya awut-awutan, dan baunya menusuk hidung. Saat azan subuh terdengar, aku kembali berusaha membangunkannya dan dia sama sekali tidak bergerak. Aku benar-benar lelah dan tertidur di tempat sholatku setelah melaksanakan sholat subuh sendirian.
Aku terbangun ketika mendengar suara seseorang dikamar mandi. Kulihat jam menunjukan pukul sembilan pagi. Dia ternyata sudah bangun dan tengah mandi, Aku tunggu dia sampai keluar mandi, menqodho sholat subuhnya yang tertinggal, kemudian aku mengajaknya bicara. Dia terlihat enggan mendengar penuturanku. Sesekali dia menganggukkan kepala ketika kukatakan agar jangan sesekali dia melakukan hal itu lagi.
"Aku kira itu adalah malam paling kelam dalam hidupku. Namun nyatanya itua adalah awal dari malam-malam panjang penuh kesuraman. Terkadang ia tidak pulang hingga berhari-hari, dan jika pulang , pasti dalam keadaan mabuk. Aku hanya dapat menangis setiap kali melihatnya begitu. Aku kehilangan suamiku yang selama ini melindungiku, menghargai, dan menyayangiku.
"Usahaku bangkrut, aku ditipu, dan tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan hutang-hutangku. Sedikit sisa harta yang kupunya kupikir akan berlipat ganda dengan cara aku judikan. Ternyata aku malah semakin jatuh. Hingga mmebuatku tidak lagi bisa berfikir wajar, Akupun minum khamer berusaha melupakan masalahku, Namun kala sadar, aku kembali tak mampu menghadapinya, sehingga aku kembali berjudi dan mabuk lagi," begitu ceritanya ketika aku tanyakan penyebabnya.
"Dengan linangan airmata kukatakan kepadanya, " Rumah tangga ini adalah rumah tangga kita, kesulitanmu adalah kesulitanku juga, kita dapat mengatasinya bersama."
"Namun ia menjawab, "engkau adalah istriku, dan menafkahimu adalah urusanku. Doakan saja aku agar segera mendapatkan rizki yang membuatku dapat melunasi hutang-hutangku".
"Percakapan yang bermutu itu sejenak meyakinkanku bahwa dia masihlah suamiku yang menikahiku dua tahun yang lalu. Namun malam harinya aku kembali tak mengenalinya ketika ia kembali mabuk dan pulang dalam keadaan tidak sadarkan diri. barang-barnag yang ada di rumah mulai habis dijual satu demi satu. Bhakan perhiasan pemberiannya di hari pernikahan pun terpaksa aku jual untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Dipuncak kecewaku, aku memutuskan untuk mendatangi seorang ulama di kampungku. Sesudah aku ceritakan kisahku dia memberiku pilihan, 'Dalam keadaan seperti ini sudah boleh bagi seorang istri untuk menuntut cerai kepada suaminya karena dia tidak mampu lagi melaksanakan tugasnya sebagai pemberi nafkah, namun jika kamu mau bersabar itu lebih baik.'
"Dan aku tidak memilih keduanya, Aku memilih mengendalikan keadaan. Sebab kurasa aku belum maksimal berikhtiar,"
"Maksudmu?" tanya saya tak sabaran.
"Aku memilih untuk bekerja," jawabnya.
"Bekerja?"Saya tidak dapat menyembunyikan keterkejutan karena saya paham betul, di negeri tempatnya tinggal, takmudah menemukan pekerjaan untuk wanita.
"Aku menjual roti Arab yang segede-gede nampah itu untuk aku jual kepada beberapa rumah makan. Dan Alhamdulilah, usaha ini cukup berjalan baik dan dapat memenuhi kebutuhan harian kami. Namun suamiku seringkali meminta uang itu dengan dalih berhutang. Dan ketika aku menolaknya, ia akan marah dan berusaha memecahkan barang-barang di rumah kami. Aku yang tidak mau kalau sampai tetangga tahu permasalahan dalam rumah tangga kami pun segera memberikan uang itu kepadanya.
"Keadaan berlanjut hingga berbulan-bulan lamanya. dan tak kutemukan titik terang. Kali ini suamiku benar-benar menjadi makhluk asing.
"Aku kembali menjumpai beberapa ulama untuk meminta nasehat. dan mereka kembali memberikan kepadaku pilihan yang sama, "Sabar atau silahkan bercerai."
"Namun seorang diantara mereka berkata, "Bagaimanapun ini ujian dalam pernikahanmu. untuk kamu memilih bersabar atau mengakhirinya, di dunia ini memang berisi soal-soal yang harus kamu hadapi, dan Allah adalah Sang jurinya."
"Ucapan ulama yang satu ini membuatku berpikir keras. Bahwa tak akan ada yang sia-sia sesudah perjalanan panjang ini. Hanya saja aku belum memaksimalkan usaha.
'Betul usahaku untuk bekerja memang sudah aku lakukan dan membuahkan hasil. Namun usahaku untuk meminta kepada Allah Sang Penggerak Hati sepertinya belumlah maksimal. Maka mulai malam itu aku memutuskan akan mulai mengerjakan tahajud dan berdoa pada sepertiga malam yang terakhir karena pernah kudengar bahwa doa di waktu tersebut lebih didengar Allah.
"Aku bangun di sepertiga malam untuk sholat dan berdoa "YaAllah.telah Kau satukan aku dan suamiku dalam maghligai pernikahan. Sayangilah dia ya Allah..kembalikan dia di jalanMu. Aku menyayanginya dan tak mampu kubayangkan dia dalam murka dan siksa-Mu jika tetap seperti itu. Pertemukan ia dengan seseorang yang dapat mengembalikannya ke jalanMu ya Allah.." kurang lebih begitulah aku berdoa setiap malam.
"dan doamu di ijabah?" tanyaku kembali tidak sabaran.
"Tidak juga. Suamiku malah menghilang, kabur, tiga bulan tak pulang-pulang. Dan hal itu membuat keluargaku dan keluarganya mengetahui masalah kami. meskipun semua nya membelaku.
"Ibunya berkata, "maafkan kami, Khadijah..kami tidak tahu kelakuannya speerti ini. Jika saja kami tahu dari sebelumnya, kami tidak akan menikahkannya denganmu. Kalau kelak ia akembali, kami akan memintanya menceraikanmu dengan baik-baik. wanita sepertimu tidak patut dizalimi seperti ini."
"Namun aku katakan padanya, "dia sebenarnya seorang lelaki soleh, hanya saja saat ini dia sedang terfitnah dan terkalahkan oleh keadaan. Saya yakin ia akan kembali ke jalan yang benar" Lantas ibu mertuaku ini memelukku dengan linangan air mata dan terus-terusan berujar "maafkan aku".
"Setelah keluarga besar kami mengetahui permasalahannya, mereka bersatu padu melunasi hutang-hutangnya. Suamiku , sebelum masa sulit ini adalah seorang yang ringan tangan, selalu membantu jika ada keluarga atau sahabat yang kesulitan. Barangkali itu juga yang membuat mereka tidak segan-segan membantunya. meskipun mereka semua tidak tahu dimana keberadaannya pada saat itu.
'Ya minggu berganti bulan, dan hilal berganti purnama telah tiga kali berulang, suamiku tak juga datang.
"Apa yang membuatmu tak menyerah dan terus mendoakannya, wahai Khadijah?" saya bertanya lagi, karena kagum dengan kegigihannya, Dan jawabannya sangatlah indah.
"Karena aku yakin malam tatkala telah sangat pekat, pertanda fajar akan sebentar lagi terbit. Aku tak mau menyerah di saat jalan keluar telah berada di ujung mata"
"dan fajarmu benar-benar terbit?" tanya saya lagi.
"Ya aku ingat betul malam itu. Aku sudah tertidur ketika kurasakan tangan seseorang menyentuh kakiku. Aku tersentak kaget dan mendapati dia duduk di sisi tempat tidur sambil menunduk. Kulitnya lebih hitam, cambang dan kumisnya tak lagi terurus, bahkan rambutnya sudah terlewat beberapa minggu dari waktu seharusnya bercukur. Ia menoleh padaku, saat itulah aku tahu ia telah kembali. Aku lihat tatap matany berbeda dari waktu terakhir kujumpai dulu. Kali ini tatapannya redup dan teduh seperti kala aku menikah dengannya dulu.
"Kamu masih istriku bukan?" Tanyanya ragu.
"Tentu saja" jawabku. "Bukankah hanya kamu yang punyahal untuk menceraikan?"
"Maksudku apakah kamu masih mau menjadi istriku?" tanyanya menegaskan.
"Aku memandang wajahnya, kutatap matanya dan dia balas menatap mataku. Aku lalu mengangguk. Ia memelukku cukup lama dan berbisik di telingaku, "Terima kasih telah mau menungguku" dan maafkan aku.."
"Tangis kami berdua pecah bersama pelukan.
"Jika kamu masih mau menjadi istriku, maukah kamu ikut denganku menuju seseorang yang kurasa dapat membimbing kita?"
"Siapa?" tanyaku tak sabaran.
"Habi Umar bin Hafidz di Tarim Hadramaut sana. Aku sudah berjumpa dengannya dan tinggal di pondok pesantrennya beberapa hari. Akubenar-benar bahagia di sana. Aku pun sudah mennyampaikan padanya bahwa aku ingin tinggal disana bersama istriku, namun aku tidak punya cukup uang untuk membiayai kehidupan. Dan habib Umar bilang, "Bawalah istrimu kemari dan kamu bisa membiayai hidup kalian dengan bekerja padaku sebagai tukang roti."
"Mendengar itu air mataku tumpah lebih deras, namun kali ini bukan air mata kesedihan melainkan airmata kesyukuran. Doa ku telah didengar Allah.
"Malam itu juga kami segera bersiap-siap. Dan tanpa membuang waktu, pagi hari kami sudah berkendara. Kami menyewa sebuah mobil tanpa AC menempuh perjalanan berbelas-belas jam. namun sungguh itu adalah perjalanan paling meneduhkan dan menenangkan sebab hati kami sejuk dan jiwa kami damai.
"Beberapa harii aku ajarkan suamiku membuat roti di rumah sewaan kami yang kecil, kemudian ia mulai bekerja di dapur Habib Umar sebagai tukang roti.
"Dan ya seperti yang kamu lihat, halimah. Suamiku adalah seorang imam rumah tangga yang sempurna. Ia begitu menghargai dan menyayangi ku.."
Ucapnya mengakhiri kisah panjang perjuangannya. Meninggalkan aku yang masih terkesima dengan kisah indahnya. Hari itu aku belajar untuktidakmenyerah kala ujian kehidupan menghadang. Tak Ada maslah besar selagi Allah yang Maha besar kau libatkan.
-----
cerita ustadzah Halimah ini terdapat dalam buku beliau yang berjudul "Muhasabah Cinta" halam 105- 117
subhanallah
Allahuma sholi 'ala sayidina Muhammad nabiyil umiyi wa 'alihi wa shohbihi wa salim
Related Posts:
Hikmah Kisah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: