Ad 468 X 60

.

Thursday, January 16, 2014

Widgets

TAWASUL DAN ISTIGHATSAH DENGAN ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA


Sebelum menjelaskan dalil-dalil tentang kebolehan istighasah dan wasilah atau tawasul terhadap orang yang telah meninggal dunia, ada baiknya terlebih dahulu diajukan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini:
a) Apakah orang yang meninggal dunia dalam kuburnya tetap hidup sehingga kita bisa bertawasul dan istighasah terhadapnya?
b) Apakah di dalam kubur mereka dapat mendengar istighasah dan wasilah kita?
c) Dan apakah mereka dapat memberikan pertolongan kepada kita?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas adalah Ya, dalam artian, bahwa mereka di dalam kuburnya tetap hidup, dapat mendengar dan memberikan pertolongan kepada orang-orang yang tawasul terhadapnya.Di bawah ini adalah dalil al-Quran yang menguatkannya:

وَلَا تَحْسَبنَّ الذَّينَ قُتلوُا فِي سَبيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati akan tetapi mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki.” (QS. Ali Imran ayat 169).

وَلاَ تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُقْتَلُ فِى سَبِيْلِ اللهِ اَمْوَاتً بَلْ اَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لاَ تَشْعُرُوْنَ

“Janganlah kalian mengatakan terhadap orang-orang yang mati di jalan Allah sebagai telah mati, tetapi mereka tetap hidup, hanya saja kalian tidak merasakan.” (QS. al-Baqarah ayat 154).

Kedua ayat di atas menunjukkan atas tetap hidupnya orang-orang yang meninggal dunia di jalan Allah. Istilah “meninggal dunia di jalan Allah” itu mengandung makna yang umum yang meliputi mati syahid dalam peperangan maupun mati syahid selain dalam peperangan.

Adapun dalil dari hadits adalah sebagai berikut:

عَن أبٍيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ اَحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ عَلَيَّ رُوحِيْ حَتَّى أرُدَّ ا لسَّلاَمَ

“Dari Abu Hurairah Ra. sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Tidak seorang pun memberikan salam kepadaku kecuali Allah mengembalikan ruhku kepadaku, hingga aku membalas salamnya.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Berikut ini adalah pendapat para ulama tentang tawasul dan istighatsah:

1. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan Wahabiah: Di dalam kitabnya al-Muwajjahah li Ahl al-Qashim Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab mengatakan bahwa: “Sesungguhnya Sulaiman bin Suhaim telah menyandarkan pendapat-pendapat yang tidak pernah saya katakan, diantaranya adalah: “Saya mengkafirkan orang-orang yang bertawasul terhadap orang shaleh, dan saya, katanya, mengkafirkan Syaikh al-Bushiri, dan telah membakar kitab Dalailul Khairat.” Jawaban saya atas tuduhan di atas adalah, bahwa itu merupakan kebohongan yang besar. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juga pernah ditanya pendapatnya tentang masalah shalat istisqa’, dia menjawab bahwa di dalam shalat istisqa’ tidak ada masalah diselingi dengan tawasul kepada orang-orang shaleh. Inilah sebagian pendapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab tentang kebolehan tawasul. (Lihat dalam Rasail Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab halaman 12).

2. Syaikh Ibnu Taimiyah: Syaikh Taqiyudin ibnu Taimiyah pernah ditanya pendapatnya tentang boleh tidaknya tawasul kepada Nabi Muhammad Saw., lalu beliau menjawab: “Alhamdulillah, bahwa yang demikian itu dianjurkan menurut kesepakatan kaum Muslimin”. (Lihat, Ibnu Taimiyah dalam Fatawa al-Kubra juz 1 halaman 140).

3. Syaikh Muhammad Nashirudin al-Albani: Al-Albani menuturkan bahwa diperbolehkan tawasul dengan asma’ dan sifat Allah Swt. Dengan perbuatan baik kita sendiri dan dengan amal-amal orang shaleh. Al-Albani juga mengatakan bahwa tawasul itu disyariatkan atas dasar nash al-Quran dan al-Hadits dan secara terus menerus diamalkan oleh salafus shaleh dan disepakati oleh kaum Muslimin. (Lihat, Nashirudin al-Albani dalam Syarh Aqidah ath-Thahawiyah halaman 46).

4. Imam Ahmad bin Hanbal: Imam Ahmad al-Maruzi berkata bahwa Imam Ahmad bin Hanbal dalam setiap doanya selalu bertawasul kepada Nabi Muhammad Saw. (Lihat, Yusuf al-Khatar dalam al-Mausu’ah halaman 118).

5. Imam Malik bin Anas: Khalifah al-Mansur bertanya kepada Imam Malik bin Anas ketika sedang ziarah ke makam Nabi Muhammad Saw. bersamanya: “Wahai Imam, apakah saya harus menghadap kiblat kemudian berdoa, ataukah menghadap makam Rasulullah lalu berdoa?” Imam Malik menjawab: “Jangan pernah kau palingkan wajahmu dari makam Rasul Saw., karena dia adalah wasilahmu dan wasilahnya bapakmu, Adam, kepada Allah. Menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat kepadanya maka Allah Swt. akan memberikan pertolongan kepadamu karenanya.” (Lihat, Ibnu Hajar dalam Jauhar al-Mundzim).

6. Imam Taqiyudin as-Subki: Imam Taqiyudin Abu Hasan as-Subki berkata: “Ketahuilah bahwa, diperbolehkan, bahkan dianggap baik melakukan tawasul, istighasah dan meminta syafaat kepada Allah Swt. dengan perantaraan Nabi Muhammad Saw.” Beliau juga berkata bahwa tawasul kepada Nabi Saw. adalah boleh secara mutlak, sebelum Nabi Saw. diciptakan maupun setelah diciptakan, ketika masih hidup maupun setelah wafatnya. (Lihat, as-Subki dalam Syifa’ al-Asqam halaman 161).

7. Imam asy-Syaukani: Imam Ali asy-Syaukani berkata bahwa tawasul kepada Nabi Saw. itu boleh dilakukan ketika beliau masih hidup maupun setelah wafat, di dekatnya maupun ketika jauh darinya. Begitu juga boleh tawasul dengan selain Nabi Muhammad Saw. dengan dasar ijma’ sahabat, yaitu ijma’ sukuti. Sebagai dasar atas adanya ijma’ ini adalah diamnya para sahabat ketika Umar bin Khathab Ra. berdoa dengan tawasul terhadap Ibnu Abbas dan dengan orang-orang shaleh atas amal-amal mereka. Hal ini telah diceritakan oleh Imam Tirmidzi dalam kitab ad-Da’wat, Ibnu Majah dalam Shalat al-Hajat, al-Bukhari dan Ibnu Khuzaimah. (Lihat, asy-Saukani dalam Tuhfat adz-Dzakirin halaman 37).

8. Imam Syihabudin ar-Ramli: Imam Syihabudin ar-Ramli asy-Syafi’i berkata bahwa sesungguhnya istighasah dan tawasul dengan para nabi dan rasul, para wali dan orang-orang shaleh adalah diperbolehkan.

9. Imam Ibnu Muflih al-Hanbali: Imam Ibnu Muflih al-Hanbali telah berfatwa atas bolehnya tawasul dengan orang-orang shaleh. Bahkan hukumnya mustahab.

10. Syaikh Yusuf an-Nabhani: Syaikh Yusuf an-Nabhani berkata bahwa mayoritas umat Muhammad dari kalangan ahli hadits, ahli fiqh, mutakallimun dan kalangan ahli tashawuf, baik orang-orang khas maupun awam, semuanya sepakat atas baiknya istighasah dan tawasul kepada Nabi Saw. untuk mencapai tujuan duniawi dan ukhrawi. Demikianlah pendapat para ulama mengenai kebolehan bahkan kesunahan melakukan tawasul dan istighasah kepada para nabi, rasul dan ulama shalihin. Ulama-ulama yang telah disebutkan di atas adalah dari berbagai latar belakang madzhab, Syafi’i, Syi’i, dan juga ada yang dari madzhab Hanbali. (Lihat, Yusuf al-Khatar dalam al-Mausu’ah halaman 120).

Tawasul Bukan Termasuk Syirik

Pengertian tawasul sebagaimana yang dipahami oleh umat Islam selama ini, bahwa tawasul adalah berdoa kepada Allah Swt. melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita, ataupun melalui orang shaleh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah Swt. Jadi tawasul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah Swt.

Tawasul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah Swt, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan Alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang shaleh.

Demikian juga tawasul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah Swt. Para ulama sepakat memperbolehkan tawasul kepada Allah Swt. dengan perantara amal shaleh, sebagaimana orang melaksanakan shalat, puasa dan membaca al-Quran.

Ada hadits yang sangat popular diriwayatkan dalam kitab shahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawasul kepada Allah Swt. atas amal baiknya terhadap kedua orangtuanya; yang kedua bertawasul kepada Allah Swt. Atas perbuatannya yang selalu menjauhi perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya, dan yang ketiga bertawasul kepada Allah Swt. atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah Swt. memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawasul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap shaleh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di sisi Allah Swt. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah, aku bertawasul kepadaMu melalui NabiMu Muhammad Saw. atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh.

Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawasul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawasul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawasul yang diperbolehkan oleh ulama. Pendapat ini berargumen dengan perilaku (atsar) sahabat Nabi Saw. Sebagaimana terekam dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَ ا قَحَطُوْ ا اِسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيُسْقَوْنَ.

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khathab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muthalib, lalu Umar berkata: “Ya Allah, kami telah bertawasul dengan Nabi kami Saw. dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawasul dengan Paman Nabi kami Saw., maka turunkanlah hujan.” Maka hujan pun turun.” (HR. Bukhari dalam Shahih al-Bukhari juz 1 halaman 137).

Imam asy-Syaukani mengatakan bahwa tawasul kepada Nabi Muhammad Saw. ataupun kepada yang lain (orang shaleh misalnya), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. “Ketahuilah bahwa tawasul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalehan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah Swt. Sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah Swt. yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shaleh, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah Swt., karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Swt. tetap abadi walau mereka telah wafat.”

Orang yang bertawasul dalam berdoa kepada Allah Swt. menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintaiNya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah Swt. juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawasul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah Swt. bisa memberi manfaat dan madharat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah Swt. itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa member manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah Swt. semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawasul adalah berdoa kepada Allah Swt. melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang shaleh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah Swt. Tawasul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah Swt. Maka tawasul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa.

Sumber : Status FB  Sya'roni As Samfuriy

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: