Ad 468 X 60

.

Wednesday, April 23, 2014

Widgets

Audio Video Kajian Islam : 3 Kunci Sukses Dakwah Walisongo di Nusantara

Sejarah Islam di Indonesia dimulai ketika masuknya para pedagang muslim dari Gujarat dan negara-negara di Timur Tengah. Ketika Islam datang ke Nusantara terutama di Pulau Jawa, para juru dakwah membawa risalah agama ini dan menyampaikannya kepada masyarakat yang notabene masih memiliki tradisi yang cukup kental. Segala macam tradisi yang ada di pulau Jawa baik itu tradisi yang sesuai ataupun tradisi yang menyimpang berhasil dihadapi para pendakwah khususnya wali songo sehingga risalah nabi dapat dirasakan sampai sekarang.

Tradisi masyarakat Jawa yang baik tentu ukurannya adalah sesuatu yang tidak haram. Cara dan tujuannya baik sesuai dengan payung hukum agama Islam. Sebagai contoh, hampir semua masjid atau musholla se-Indonesia memiliki Mihrab. Mihrab adalah tempat berongga di dalam masjid atau musholla yang berfungsi sebagai tempat pengimaman
sholat dan penanda arah kiblat. Mihrab seperti itu tidak satupun ditemui dan dicontohkan di zaman Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, selama cara dan tujuannya baik, hal tersebut juga menjadi tradisi yang baik pula. Bayangkan apabila dalam suatu perjalanan ketika memasuki masjid atau musholla yang tidak ada mihrabnya, sudah tentu kita akan kesulitan menentukan arah kiblat. Tradisi inilah yang diwarisi dan dipengaruhi oleh agama asli pulau Jawa, yakni Agama Kapitayan. Karena Konsep keyakinan mereka bahwa tuhan itu berada di ruang hampa, maka Pemeluk agama Kpitayan beribadah di ruang-ruang yang berongga seperti goa dan sanggar. Tradisi yang baik ini akhirnya diteruskan oleh para wali di Jawa dengan menggantinya dengan sebutan Langgar.

Selain tradisi yang baik dan tidak dilarang oleh syariat agama Islam, masyarakat asli Jawa juga memiliki tradisi yang tidak sesuai syariat Islam. Namun, tidak serta merta para wali songo menolak hal tersebut. Tidak secara kaku dan terang-terangan mereka sebut “Ini musyrik”, “Ini haram” dan “Ini Bid’ah”. Setelah dikaji lebih lanjut, para wali songo menggunakan tiga pendekatan yang terbukti ampuh merubah tradisi-tradisi masyarakat Jawa bahkan merubahnya dengan nuansa Islam. Tiga kunci kesuksesan itu yakni Amputasi, Asimilasi dan Minimalisasi.

Amputasi yaitu memotong atau menghilangkan bagian tertentu. Dalam hal ini tradisi yang yang menyimpang tersebut harus dihilangkan, meskipun metode yang dijalankan para Wali secara bertahap-tahap. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa kebanyakan menjadikan batu dan pohon sebagai sesembahannya. Sebagaimana masyarakat jahiliyah yang menyembah berhala pada zaman nabi. Para wali songo meniru dan menggunakan metode Rosulullah untuk memberantas tradisi ini. Tidak bisa ditolelir lagi bahwa tradisi semacam itu harus dibabat habis.

Kunci dakwah yang kedua adalah Asimilasi. Cara ini menjadi kunci terbesar keberhasilan dakwah Islam di manapun berada. Asimilasi artinya membelokkan dari segala sesuatu yang tidak baik menjadi baik. Mereka masyarakat Jawa yang masih kukuh dengan tradisi yang tidak sesuai agama Islam secara bertahap, tanpa sadar dan sedikit-demi sedikit diubah tradisinya sesuai syariat Islam. Ketika masa-masa panen, orang orang Jawa sebelumnya memiliki tradisi larung sesaji ke laut atau sungai. Sesaji itu mereka persembahkan ke leluhurnya yang sudah meninggal. Ketika menghadapi hal semacam ini, para wali songo lantas tidak menyalahkannya secara terang-terangan. Secara bertahap mereka membelokkan tradisi tersebut dengan menjadikan sesaji tersebut untuk tidak dilarung ke laut namun dijadikannya tumpeng besar. Mereka mengarak tumpeng tersebut dan mengundang warga sekitar untuk diajak makan bersama. Bentuk rasa syukur inilah yang sesuai dengan syariat Islam. Sesuai dengan hadits nabi tentang sedeqah: “Sedeqah itu bisa memadamkan kemurkaan Allah subhanahu wata’ala”.

Minimalisasi adalah metode yang juga berpengaruh besar terhadap tradisi masyarakat jawa kala itu. Minimalisasi artinya mengurangi dampak suatu tradisi yang buruk dan sulit dihilangkan. Sebagai contoh, saat ini masih terdapat tradisi masyarakat pesisir melarung kepala kerbau ke laut ketika waktu-waktu tertentu. Ini merupakan proses dakwah yang belum selesai dan masih perlu terus diminimalisasi oleh para pendakwah saat ini. Asal mula dari tradisi tersebut adalah tradisi melarung kepala gadis perawan. Kemudian para wali songo meminimalisasi hal tersebut dengan menggantinya dengan kepala kerbau. Cara dakwah seperti ini juga pernah dilakukan oleh ulama’-ulama terdahulu.

Diceritakan ketika Ibnu Taimiyah (ulama rujukan Wahabi) bertemu dengan sekelompok pemuda yang sedang pesta miras, salah satu teman Beliau menyangsikan mengapa ia membiarkannya. Lalu Beliau menjawab, “Biarkan! Allah mengharamkan minuman keras karena minuman itu bisa melalaikan mereka untuk berdzikir dan beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala. Sedangkan orang-orang ini meminum minuman keras agar ia terlena dan melalaikan untuk membunuh dan merampok harta orang. Dari pada mereka membunuh dan merampok, masih sedikit lebih baik untuk minum minuman keras”. Inilah proses dakwah yang belum selesai dan perlu diminimalisasikan hingga hilang dan tergantikan oleh tradisi yang sesuai syariat.

Untuk selengkapnya, silahkan simak audio video kajian Islam tentang Dakwah Ala Walisongo yang disampaikan oleh Ustadz H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I. dalam acara rutinan Majlis Maulid Wat Ta’lim Riyadlul Jannah bertempat di Kediaman Bapak Abd. Rouf Desa Sumbermanjing Wetan Kec. Sumbermanjing Wetan Kab. Malang, pada 05 April 2014.

MP3 Kajian Islam Dakwah Ala Wali Songo Oleh Ustadz H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.


(Cara Download: Klik kanan link Download MP3, lalu pilih Save Target As… atau Save Link As…)

Video Kajian Islam Dakwah Ala Wali Songo Oleh Ustadz H. Faris Khoirul Anam, Lc., M.H.I.


Sumber : http://www.elhooda.net/

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: