Friday, April 17, 2015
Kenapa Imam Madzhab Tidak pakai Hadits bukhari dan Muslim?
Kenapa para Imam Mazhab seperti Imam Malik tidak memakai hadits Sahih Bukhari dan Sahih Muslim yang katanya merupakan 2 kitab hadits tersahih?
Untuk tahu jawabannya, kita harus paham sejarah. Paham biografi tokoh2 tsb.
Imam Malik lahir tahun 93 Hijriyah. Sementara Imam Bukhari lahir tahun 196 H dan Imam Muslim lahir tahun 204 H. Artinya Imam Malik sudah ada 103 tahun sebelum Imam Bukhari lahir. Paham?
Apakah hadits para Imam Mazhab lebih lemah dari Sahih Bukhari dan Sahih Muslim?
Justru sebaliknya. Lebih kuat karena mereka lebih awal lahir daripada Imam Hadits tsb.
Rasulullah SAW bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah pada kurunku (Sahabat), kemudian yang sesudahnya (Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).”[HR. Al-Bukhari no. 2652 dan Muslim no. 2533 ]
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
Jadi kalau ada manusia akhir zaman yang berlagak jadi ahli hadits dengan menghakimi pendapat Imam Mazhab dengan Sahih Bukhari dan Sahih Muslim, ya keblinger. Hasil “ijtihad” mereka pun berbeda-beda satu sama lain…
Biar kata misalnya menurut Sahih Bukhari misalnya sholat Nabi begini2 dan beda dengan sholat Imam Mazhab, namun para Imam Mazhab seperti Imam Malik melihat langsung cara sholat puluhan ribu anak-anak sahabat Nabi di Madinah. Anak-anak sahabat ini belajar langsung ke Sahabat Nabi yang jadi bapak mereka. Jadi lebih kuat ketimbang 2-3 hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari 100 tahun kemudian.
Imam Bukhari dan Imam Muslim pun meski termasuk pakar hadits paling top, tetap bermazhab. Mereka mengikuti mazhab Imam Syafi’ie.
Penelitian Hadits Dilakukan Oleh Empat Imam Mazhab
Para imam mazhab yang empat, Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, sama sekali tidak pernah menggunakan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Mereka sama sekali tidak pernah menyentuh kitab Shahih Bukhari dan Muslim.
Kenapa?
Pertama, karena mereka lahir jauh sebelum Bukhari (194-265 H) dan Muslim (204-261 H) dilahirkan. Tidak mungkin mereka mengandalkan keshahihan hadits dari generasi berikutnya. Yang lebih logis adalah orang yang ada pada generasi berikutnya justru mengandalkan hasil penellitian hadits pada generasi sebelumnya.
Kedua, karena keempat imam mazhab itu sendiri justru merupakan pakar hadits paling top di zamannya. Tidak ada ahli hadits yang lebih baik dari mereka di zamannya. Apa urusannya pakar hadits paling top harus mengambil hadits dari kalangan yang lebih pantas menjadi murid atau cucu muridnya?
Ketiga, karena keempat imam mazhab itu hidup di zaman yang secara zaman lebih dekat ke Rasulullah SAW dari pada masa Bukhari atau Muslim sendiri. Maka kualitas periwayatan hadits mereka dipastikan lebih kuat dan lebih terjamin ketimbang kualitas di masa-masa berikutnya.
Kalau dalam bidang teknologi, memang semakin maju zamannya ke depan, ilmunya semakin lengkap dan sempurna. Karena penemuan yang dulu kemudian disempurnakan dengan penemuan terbaru. Sebaliknya, dalam bidang penelitian hadits, semakin mundur dan mendekati sumber aslinya, akan semakin baik.
Dan semakin menjauhi zaman aslinya tentu akan semakin lemah hasil penelitiannya. Tidak akan ada lagi penemuan baru macam teknologi komputer dalam ilmu hadits. Karena yang dilakukan adalah penelitian keshahihan hadits dan bukan kesempurnaan produk pabrik.
Keempat, justru Bukhari dan Muslim sendiri malah bermazhab kepada para imam mazhab yang empat itu. Banyak kajian ilmiyah yang memastikan bahwa Bukhari sendiri dalam fiqihnya bermazhab Syafi’i.
Memang ada sementara tokoh saking antipatinya dengan mazhab fiqih, lalu mengarang-ngarang sebuah nama mazhab imaginer baru yang tidak pernah ada bukti kongkritnya dalam sejarah. Mereka sebut mazhab ‘ahli hadits’. Dari namanya saja sudah bermasalah. Dikesankan seolah-olah yang tidak bermazhab ahli hadits berarti tidak menggunakan hadits dalam mazhabnya. Padahal mazhab ahli hadits itu adalah mazhab para ulama peneliti hadits untuk mengetahui keshahihan hadits dan bukan dalam menarik kesimpulan hukum (istimbath).
Kalaulah benar pernah ada mazhab ahli hadits yang berfungsi sebagai metodologi istimbath hukum, lalu mana ushul fiqihnya? Mana kaidah-kaidah yang digunakan dalam mengistimbath hukum? Apakah cuma sekedar menggunakan sistem gugur, bila ada dua hadits, yang satu kalah shahih dengan yang lain, maka yang kalah dibuang?
Lalu bagimana kalau ada hadits sama-sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim, tetapi isinya bertentangan dan bertabrakan tidak bisa dipertemukan?
Al-Imam Asy-syafi’i sejak 13 abad yang lalu sudah bicara panjang lebar tentang masalah kalau ada beberapa hadits sama-sama shahihnya tetapi matannya saling bertentangan, apa yang harus kita lakukan? Beliau sudah menulis kaidah itu dalam kitabnya : Ikhtilaful Hadits yang fenomenal itu.
Cuma baru sampai mengetahui suatu hadits itu shahih, sebenarnya pekerjaan melakukan istimbath hukum belum selesai. Meneliti keshahihan hadits baru langkah pertama dari duapuluh tiga puluh langkah dalam proses istimbath hukum, yang hanya bisa dilakukan oleh para mujtahid.
Umat Terlalu Awam Dapat Informasi Diplintir
Sayangnya banyak sekali orang awam yang tersesat mendapatkan informasi yang sengaja disesatkan oleh kalangan tertentu yang punya rasa dengki. Seolah-olah imam mazhab yang empat itu kerjaannya cuma merusak agama dengan mengarang-ngarang agama dan menambah-nambahinya seenak udelnya. Sejelek itu para perusak agama melancarkan fitnah keji kepada para ulama.
Padahal keempat imam mazhab itu di zamannya justru merupakan para ulama peneliti hadits (muhaddits). Sebab syarat untuk boleh berijtihad adalah harus menguasai hadits dan mampu meneliti sendiri kualitas keshahihan haditsnya. Imam Malik itu penyusun Al-Muwaththa’ yang tiga khalifah memintahnya agar dijadikan kitab standar negara. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sendiri lebih dikenal sebagai ahli hadits ketimbang sebagai mujtahid dalam ilmu fiqih.
Entah orientalis mana yang datang menyesatkan agama, tiba-tiba datang generasi yang awam agama dan dicuci otaknya, dengan mudahnya dan teramat lancang menuduh keempat imam mazhab itu sebagai orang-orang bodoh dengan ilmu hadits. Hadits shahih versi Bukhari dibanding-bandingkan secara zahir dengan pendapat keempat mazhab, seolah-olah pendapat mazhab itu buatan manusia dan hadits shahih versi Bukhari itu datang dari Allah yang sudah pasti benar.
Orang-orang awam yang kurang ilmu itu dengan seenaknya menyelewengkan ungkapan para imam mazhab itu dari maksud aslinya : “Bila suatu hadits itu shahih, maka itulah mazhabku”. Kesannya, para imam mazhab itu bodoh dengan keshahihan hadits, lalu menggantungkan mazhabnya kepada orang-orang yang hidup dua tiga abad sesudahnya.
Padahal maksudnya bukan begitu. Para ulama mazhab itu menolak suatu pendapat, karena menurut mereka hadits yang mendasarinya itu tidak shahih. Maka pendapat itu mereka tolak sambil berkata,”Kalau hadits itu shahih, pasti saya pun akan menerima pendapat itu. Tetapi berhubung hadits itu tidak shahih menurut saya, maka saya tidak menerima pendapat itu”. Yang bicara bahwa hadits itu tidak shahih adalah profesor ahli hadits, yaitu para imam mazhab sendiri. Maka wajar kalau mereka menolaknya.
Tetapi lihat pengelabuhan dan penyesatan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif. Digambarkan seolah-olah seorang Imam Asy-Syafi’i itu tokoh idiot yang tidak mampu melakukan penelitian hadits sendiri, lalu kebingungan dan menyerah menutup mukanya sambil bilang,”Saya punya mazhab tapi saya tidak tahu haditsnya shahih apa tidak, jadi kita tunggu saja nanti kalau-kalau ada orang yang ahli dalam bidang hadits. Nah, mazhab saya terserah kepada ahli hadits itu nanti ya”.
Dalam hayalan mereka, para imam mazhab berubah jadi badut pandir yang tolol dan bloon. Bisanya bikin mazhab tapi tidak tahu hadits shahih. Sekedar meneliti hadits apakah shahih atau tidak, mereka tidak tahu.
Dan lebih pintar orang di zaman kita sekarang, cukup masuk perpustakaan dan tiba-tiba bisa mengalahkan imam mazhab.
Cara penyesatan dan merusak Islam dari dalam degan modus seperti ini ternyata nyaris berhasil. Coba perhatikan persepsi orang-orang awam di tengah kita. Rata-rata mereka benci dengan keempat imam mazhab, karena dikesankan sebagai orang bodoh dalam hadits dan kerjaanya cuma menambah-nambahi agama.
Parahnya, setiap ada tradisi dan budaya yang sesat masuk ke dalam tubuh umat Islam, seperti percaya dukun, tahayyul, khurafat, jimat, dan berbagai aqidah sesat, sering diidentikkan dengan ajaran mazhab. Seolah mazhab fiqih itu gudangnya kesesatan dan haram kita bertaqlid kepada ulama mazhab.
Sebaliknya, orang yang harus diikuti adalah para ahli hadits, karena mereka itulah yang menjamin keshahihan hadits.
Bukhari dan Muslim Bukan Penentu Satu-satunya Keshahihan Hadits
Ini perlu dicatat karena penting sekali. Shahih tidaknya suatu hadits, bukan ditentukan oleh Bukhari dan Muslim saja. Jauh sebelum keduanya dilahirkan ke dunia, sudah ada jutaan ahli ahli hadits yang menjalankan proses ijtihad dalam menetapkan keshahihan hadits.
Dan boleh jadi kualitasnya jauh lebih baik. Kualitas keshahihannya jauh lebih murni. Hal itu karena jarak waktu dengan sumber aslinya, yaitu Rasulullah SAW, lebih dekat.
Hadits di zaman Imam Bukhari sudah cukup panjang jalur periwayatannya. Untuk satu hadits yang sama, jalur periwayatan Bukhari bisa sampai enam atau tujuh level perawi yang bersambung-sambung. Sementara jalur hadits Imam Malik cuma melewati tiga level perawi. Secara logika sederhana, kualitas keasliannya tentu berbeda antara hadits yang jalurnya tujuh level dengan yang tiga level. Lebih murni dan asli yang tiga level tentunya.
Bayangkan kalau Imam Bukhari hidup hari ini di abad 15 hijriyah, haditsnya bisa melewati 40-50 level perawi. Secara nalar kita bisa dengan mudah menebak bahwa kualitas periwayatannya jauh lebih rendah. Beda tiga sampai empat level saja sudah besar pengaruhnya, apalagi beda 50 level, tentu jauh lebih rendah.
Apalagi yang jadi ahli haditsnya bukan selevel Bukhari, tetapi sekedar mengaku-ngaku saja. Tentu kualitas haditsnya jauh lebih parah lagi. Bukhari itu melakukan perjalanan panjang dan lama ke hampir seluruh dunia Islam. Tujuannya untuk bertemu langsung para perawi hadits yang masih tersisa. Maksudnya untuk mengetahui langsung seperti apa kualitas hafalan dan kualitas keislaman mereka.
Menurunnya Kualitas Periwayatan Seiring Dengan Semakin Jauhnya Jarak
Semakin jauh jarak waktu antara sumber hadits dengan zaman penelitiannya, maka kualitasnya akan semakin menurun. Sebab jalur periwayatannya akan menjadi semakin panjang. Jumlah perawi yang harus diteliti jelas lebih banyak lagi.
Seandainya seorang dengan kualitas Imam Bukhari hidup di abad kelima, tentu nilai kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah dibandingkan beliau hidup di abad ketiga. Dan bila beliau hidup di abad kelima belas, sudah bisa dipastikan kualitas penelitiannya akan jauh lebih rendah, bahkan beliau malah tidak bisa melakukan apa-apa.
Karena tidak mugkin lagi melakukan penelitian langsung bertemu muka dengan para perawi. Maka keistimewaan hadits Bukhari akan anjlog total. Untungnya beliau hidup di zaman yang tepat, yaitu di masa para perawi masih hidup dan bisa diwawancarai langsung.
Maka siapapun orangnya, kalau baru hari gini melakukan penelitian tentang para perawi, kelasnya rendah sekali. Semua hasil penelitian semata-mata mengandalkan data sekunder, yaitu hanya sekedar menelliti di tingkat literatur dalam perpustakaan. Sebuah pekerjaan yang sangat mudah, karena semua mahasiswa fakultas hadits semester pertama pun bisa mengerjakannya.
Dosen hadits bisa dengan mudah mengajarkan teknik takhrij hadits kepada anak-anak muda mahasiswa usia di bawah 20 tahunan, lalu menugaskan masing-masing melakukan takhrij untuk dapat nilai. Bahkan pekerjaan seperti itu bisa dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu hadits di bangku kuliah. Cukup dengan otodidak, sedikit diberi pelatihan singkat, asalkan tekun tiap hari nongkrong di perpustakaan, bisa melakukan penelitian kelas-kelas rendahan. Siapapun bisa melakukannya dengan mudah.
Apalagi zaman sekarang sudah ada ratusan software hadits. Cukup masukkan keyword saja, maka semua data bisa keluar dalam hitungan detik saja.
Kalau baru sampai disitu kok tiba-tiba merasa lebih tinggi derajatnya dari Bukhari dan Muslim, rasanya ada yang salah dalam logika. Jangankan merasa lebih tinggi, merasa selevel saja pun sudah tidak sopan.
Maka kita tidak bisa menyamakan kualitas keshahihan hadits yang diteliti di abad kelimabelas ini, dengan kualitas penelitian hadits yang dilakukan di abad ketiga zaman Bukhari dan Muslim. Nilainya jauh berbeda. Dan kualitas penelitian hadits di abad pertama dan kedua tentu jauh lebih baik lagi.
Anehnya, jarang sekali umat Islam yang bisa membedakan, mana kualitas penelitian kelas tinggi dan mana kelas rendahan. Sebab sekarang ini kita hidup di zaman serba awam dan serba tidak tahu.
Kadang-kadang umat Islam terkecoh dengan mudah dengan penampilan fisik. Asalkan ada orang pintar ceramah, kebetulan jenggotnya panjang, bajunya gamis ala arab, pakai surban melilit kepala, tangannya sibuk memutar-mutar biji tasbih, suaranya diberat-beratkan, langsung kita anggap dia adalah ulama yang tahu segala-galanya. Padahal satu pun hadits tidak dihafalnya.
Lebih lucu lagi, kalau ada tokoh yang bisa menyalah-nyalahkan ulama betulan, melancarkan kritik ini dan itu, bahkan mencaci maki dengan kata-kata kasar, maka oleh pendukungnya yang sama-sama awam dijadikan seolah-olah dia adalah utusan Allah yang turun langsung dari langit, menjadi anugerah bagi alam semesta.
Seolah-olah kebenaran milik dia semata. Orang lain yang tidak setuju dengan seleranya dianggap bodoh semua. Ulama yang tidak sejalan dengannya akan dihujani cacian makian dan sumpah serapah.
Semoga Allah SWT mengampuni kita semua. Amiin ya rabbal alamin
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sumber : Ahmad Sarwat, Lc., MA
Copy paste dari : Muslimedianews
Related Posts:
Kisah tarikh
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: