Ad 468 X 60

.

Tuesday, April 14, 2015

Widgets

Semua Orang Mengaku Syafiiyah Karena Haditsnya Shahih?

Beberapa orang –entah sejak kapan- sering sekali mengaku kalau pendapat fiqih yang ia pegang itu ialah pendapatnya madzhab al-Syafi’iiyah tapi nyatanya sama sekali pendapat itu kita tidak temukan itu di buku-buku fiqih madzhab Imam al-Syafi’i, sama sekali tidak ada. Akhirnya malah menyalahi pendapat madzhab.
Jadi kalau ditanya tentang pendapatnya tersebut, ia menjawab dengan lugas: “ini pendapat Imam al-Syafi’i, loch!”.
Anehnya, sama sekali ia menyimpulkan pendapatnya tersebut hanya dari sebuah hadits, tanpa melirik bagaimana ushul-fiqh yang berlaku dalam madzhab Imam Muhammad bin Idris ini. ia hanya tahu satu perkataan Imam al-Syafi’i yang masyhur lalu dijadikan sandaran, yaitu:
إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
“kalau haditsnya shahih, maka ini adalah madzhabku!”

Cuma karena perkataan ini, kalau ia mendapati hadits dan itu derajatnya shahih –menurut dia-, dia langsung menghukum hukum fiqih yang ada dalam hadits itu lalu mengatakan itu adalah pendapat madzhab al-Syaf’iyyah, tanpa peduli bahwa pendapatnya itu menyelisih pendapat resmi madzhab. Toh karena memang ia hanya tahu itu saja, tanpa pernah buka kitab-kitab madzhab al-Syafi’iyyah. 
Tentu ini adalah bentuk kekeliruan dalam memahami perkataan Imam al-Syafi’i. pemahaman seperti ini, ujungnya nanti akan berbuah ‘penghakiman’ terhadap Imam mulia tersebut bahwa beliau ‘keliru’ dan ‘salah’. Wah hebat, bisa menyalahkan Imam! Atau bisa jadi, pengakuannya itu hanya untuk dijadikan ‘tamemng’, agar pendapatnya itu diterima di khalayak, ia menunggang label madzhab al-Syafi’i.
Contoh Kasus
Contohnya begini, yang paling familiar ialah masalah qunut. Pendapat resmi madzhab al-Syafi’iyyah qunut subuh itu sunnah muakkad dan masuk dalam kategori sunnah Ab’adh dalam sholat yang kalau tertinggal, diganti dengan sujud sahwi sebelum salam.
Ternyata hadits perihal qunut subuh itu setelah diteliti oleh mereka –yang menyalahkan Imam- itu adalah hadits yang dhaif,karena dhaif maka tidak bisa dipakai, bahkan ada yang mengatakanbid’ah. Lalu karena mengacu pada pemahamannya terhadap perkataan Imam al-Syafi’i secara tekstual itu, ia katakan:
“ini madzhab Imam al-Syafi’i, karena Imam al-Syafi’i bilang madzhabnya itu madzhab hadits yang shahih, sedangkan hadits qunut subuh itu dhaif. Jadi qunut subuh tidak ada. Begini madzhab Imam al-Syafi’i!”
Nah, dari perkataan seperti ini, terlihat ada bentuk justifikasi kesalahan, dan indikasi seakan-akan Imam al-Syafi’i keliru memilih hadits dan tidak piawai memilih mana yang shahih dan mana yang dhaif. Seakan-akan ia mengajari Imam al-Syafi’i. Bagaimana bisa seorang ahli hadits sekelas Imam al-Syafi’i keliru menilai sebuah hadits?
Ini seperti mengajari nelayan bagaimana caranya memegang jaring ikan, atau seperti mengajari montir bagaimana caranya memegang obeng. Jelas pekerjaan yang sia-sia dan sama sekali tidak menghormati yang diajari, plus tidak tahu diri. Nelayan memang kerjaannya di laut dan memegang jaring, tidak mungkin salah. Montir pun demikian.    
Itu yang pertama, yang kedua yaitu supaya ‘dagangannya laku’; menggunakan label madzhab Imam al-Syafi’i saja agar bisa diterima di masyarakat awam.
Pengukuhan bukan Penyerahan
Sepertinya memang ada kesalahan dalam memahami perkataan Imam al-Syafi’i itu. Semua beranggapan bahwa Imam al-Syafi’i menyerahkan (tafwidh) begitu saja madzhabnya kepada khalayak. Tapi justru ini adalah Pengukuhan dan pernyataan final bahwa segala apa yang beliau fatwakan –dan akhirnya menjadi madzhab-, itu semua disandarkan kepada hadits yang menurut beliau shahih, karena memang beliau juga adalah seorang muhaddits (ahli hadits) yang paham mana hadits cacat dan tidak.
Tidak mungkin seorang imam Mujtahid bukan seorang ahli hadits, tidak mungkin! Bagaimana bisa seorang mengistinbath sebuah hukum dan dia tidak tahu sumber (al-Quran dan Hadits) yang baik dan buruk.
Dan juga shahih di sini punya arti bahwa ini shahih (sah) untuk dijadikan dalil fiqih. Karena hadits yang derajatnya shahih, tidak serta merta bisa dijadikan dalil hukum karena, karena bisa jadi itu di-naskh atau ada yang mengkhususkannya (takhshish), atau di-ta’wil. Jadi memang ini adalah bentuk pengukuhan atas segala apa yang difatwakan oleh beliau. Bukan penyerahan.   
Menjadi tidak masuk akal kalau ini berarti tafwidh(penyerahan), bagaimana bisa seorang mujtahid malah menyerahkan madzhabnya kepada khalayak yang belum tentu setara kapasitas keilmuannya dengan beliau. Lalu buat apa beliau cape-capemengumpulkan hasil ijtihadnya kalau ujung-ujungnya beliau serahkan kepada khalayak?
Dan kalau berarti tafwidh, ini juga punya dampak yang negative. Akhirnya, siapa saja yang menemukan hadits dan –menurutnya- itu shahih, ia langsung mengaku-ngaku kalau itu madzhabnya Imam al-Syafi’i. padahal tidak begitu.
Kalau Haditsnya Shahih, itu Madzhabku!
Jadi memang perkataan Imam al-Syafi’i tidak bisa diartikan secara tekstual begitu saja. Perlu ada pemahaman yang pas sehingga tidak mencederai kapasitas Imam al-Syafi’i sebagai seorang mujtahid mutlak. Dan sebenarnya, kita tidak perlu bersusah payah, karena pernyataan Imam ini sudah dijelaskan oleh salah satu ulama madzhab al-Syafi’iyyah itu sendiri; yaitu Imam al-Nawawi dalam muqadimah kitabnya “al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab” (1/63 - 64).
وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ الشافعي ليس معناه ان كل أحد رَأَى حَدِيثًا صَحِيحًا قَالَ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَعَمِلَ بِظَاهِرِهِ: وَإِنَّمَا هَذَا فِيمَنْ لَهُ رُتْبَةُ الِاجْتِهَادِ فِي الْمَذْهَبِ عَلَى مَا تَقَدَّمَ مِنْ صِفَتِهِ أَوْ قَرِيبٍ مِنْهُ: وَشَرْطُهُ أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ أَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمْ يَقِفْ عَلَى هَذَا الْحَدِيثِ أَوْ لَمْ يَعْلَمْ صِحَّتَهُ: وَهَذَا إنَّمَا يَكُونُ بَعْدَ مُطَالَعَةِ كُتُبِ الشَّافِعِيِّ كُلِّهَا وَنَحْوِهَا مِنْ كُتُبِ أَصْحَابِهِ الْآخِذِينَ عَنْهُ
“dan yang dikatakan oleh Imam al-Syafi’i ini maksudnya bukan berarti bahwa setiap orang yang mendapati hadits shahih lalu berkata ‘ini madzhab al-Syafi’i’ dan beramal sesuai zahir (teks)nya. bukan seperti itu! Tapi ini berlaku hanya kepada orang yang kapasitasnya sudah mencapai derajat mujtahid dalam madzhab ini dengan ketentuan yang sudah disebutkan sebelmunya, atau mendekati derajat mujtahid itu.
Dan syaratnya, ia harus benar-benar tahu –setelah meneliti- bahwa Imam al-Syafi’i tidak tahu hadits itu atau tidak tahu derajat ke-shahihan hadits tersebut. Dan (kemampuan) ini bisa didapatkan bagi mereka yang sudah membaca semua kitab-kitab Imam al-Syafi’i dan kitab-kitab lain dari murid-muridn sang Imam yang mengambil ilmu dari beliau.”
Jadi memang maksud dari perkataan sang Imam tidak bisa diterjemahkan secara tekstual, karena memang maksudnya itu bukan ‘menyerahkan’ (tafwidh) tapi pengukuhan. Kalau memang mau diterjemahkan secara tekstual begitu, mestilah ia orang yang mumpuni dan sudah mencapai derajat mujtahid madzhab. Kalau mujtahid madzhab tidak bleh kecuali dia yang sudah membaca dan menelaah semua kitab-kitab Imam al-Syafi’i beserta kitab murid-murid mereka yang mengambil fiqih dari sang Imam.
Kenapa begitu sulit syaratnya? Imam Nawawi kemudian menjelaskan lagi kenapa syaratnya sangat ketat:
وَإِنَّمَا اشْتَرَطُوا مَا ذَكَرْنَا لِأَنَّ الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَرَكَ الْعَمَلَ بِظَاهِرِ أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ رَآهَا وَعَلِمَهَا لَكِنْ قَامَ الدَّلِيلُ عِنْدَهُ عَلَى طَعْنٍ فِيهَا أَوْ نَسْخِهَا أَوْ تَخْصِيصِهَا أَوْ تَأْوِيلِهَا أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“mereka (ulama al-Syafi’iyyah) mensyaratkan (sulit) seperti itu karena memang Imam al-Syafi’i tidak mengamalkan banyak hadits yang ia dapati dan ia tahu derajat –keshahihannya-, itu karena ada dalil/bukti lain menurut beliau yang mencederai status hadits tersebut, atau –bisa jadi- hadits itu sudah dihapus, atau juga ada dalil lain yang men-takhshish-nya, atau hadits itu maknanya dita’wil (ditafsiri bukan secara tekstua), atau keran sebab lain yang membuat hadits itu tidak bisa diamalkan.”
Paraghraf ini menunjukan bahwa memang Imam al-Syafi’i bukan orang sembarang dan punya kapasitas tinggi dalam starata mujtahid, sehingga semua muridnya sangat percaya bahwa sang Imam tidak lalai. Imam al-Syafi’i tidak mungkin asal dalam memnentuka sebuah hukum, dan beliau tidak hanya bersandar hanya dengan satu hadits, akan tetapi beliau kumpulkan hadits yang ada dan beliau teliti barulah keluar sebuah produk hukum.
Imam an-Nawawi mencontohkan bahwa hadits berbukanya orang yang berbekam itu derajatnya shahih, akan tetapi Imam al-Syafi’i tidak berhukum seperti itu, karena hadits itu walaupun shahih tapi sudah di-nask­ (hapus) dengan hadits lain yang mengatakan sebaliknya.
Jadi, ketika ada hadits shahih tapi tidak diamalkan oleh sang Imam, itu bukan karena sang Imam tidak tahu atau tidak paham, tapi justru ada hadits atau dalil lain yang membuat hadits itu tidak bisa diamalkan seperti perkataan Imam an-Nawawi di atas.
Bahkan Imam an-Nawawi meriwayatkan perkataan Imam Ibnu Khuzaimah (w. 331 H) yang dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada hadits Rasulullah saw dalam masalah halal-haram (hukum syariat) yang tertinggal oleh Imam al-Syafi’i dalam kitab-kitabnya.
Tidak Bisa Menerbangkan Pesawat, Jadi Penumpang Saja
So. Kita tidak bisa asal mengatakan bahwa “ini madzhab syafi’i karena haditsnya shahih”, padahal madzhab al-Syafi’i tidak berkata demikian. Kalau memang mau seperti itu, harus sadar diri dan berkaca:
  • Mujtahidkah kita? sehingga berani mengklaim madzhab syafi’i hanya dengan hadits –yang menurut kita- itu shahih?
  • Atau kalau memang bukan mujtahid, sudah berapa kitab madzhab al-Syafi’i yang kita baca? Sebagaimana syarat yang disebutkan oleh ulama madzhab al-Syafi’i.
Kalau memang hanya belajar dari internet dan ngaji sabtu ahad doiang, ya jangan menunggangi label madzhab al-Syafi’i seperti itu. Merasa rugikah kita kalau kita ber-tawadhu’ saja dan mengatakan:
“hadits ini menurut ulama fulan bin fulan itu derajatnya shahih. Tapi madzhab Imam al-Syafi’i berfatwa sebaliknya. Mungkin hadits menurut Imam al-Syafi’i ini punya cacat yang ulama fulan itu tidak tahu, atau ada dalil lain yang dipakai oleh sang Imam yang membuat hadits tidak bisa diamalkan”.
Tanpa perlu mengaku-ngaku “ini madzhab Imam al-Syafi’I, karena hadits ini shahih!”, ini sama saja mengajarkan pilot bagaimana caranya memegang navigasi. Kalau memang tidak bisa menerbangkan pesawat, ya duduk saja sebagai penumpang.
Wallahu a’lam.     

Ahmad Zarkasih, Lc

Sumber : Rumah Fiqih

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: