Ad 468 X 60

.

Tuesday, May 19, 2015

Widgets

Ngaji Kitab al-Ghayah wa at-Taqrib (Bagian Lima) Hukum Wadah dari Emas dan Perak

Hukum Wadah Yang Terbuat Dari Emas Dan Perak


ولا يجوز استعمال أواني الذهب والفضة ويجوز استعمال غيرهما من الأواني. 


Artinya:
Tidak diperkenankan menggunakan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak, dan diperbolehkan menggunakan wadah-wadah yang terbuat dari yang selain keduanya.


Penjelasan

Dalil-dalil yang menyatakan tentang keharaman penggunaan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak diantaranya adalah:

Hadits sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Khudzaifah radliyallahu’anh, beliau berkata; Aku mendengar Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda:


لا تلبسوا الحرير ولا الديباج ولا تشربوا في أنية الذهب والفضة, فإنها لهم في الدنيا ولكم في الأخرة. رواه البخاري ومسلم


Artinya:
Janganlah kalian memakai pakaian yang terbuat dari sutera halus dan sutera kasar, dan janganlah kalian semua meminum dalam wadah yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya barang-barang tersebut untuk mereka (orang-orang kafir) di dunia dan untuk kamu (orang-orang mukmin) di akherat. Hadits ini diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dan imam Muslim.


Imam Muslim di dalam kitab Sahihnya juga meriwayatkan dengan redaksi hadits:

الذي يشرب في أنية الذهب والفضة إنما يجرجر في بطنه نار جهنم


Artinya:
Orang yang minum dari wadah yang terbuat dari emas dan perak, sesungguhnya ia memasukkan ke dalam perutnya api jahannam.


Di dalam riwayat lain dinyatakan:

من شرب في إناء من ذهب أو فضة فإنما يجرجر في بطنه نارا من جهنم

Artinya:
Orang yang minum dari wadah yang terbuat dari emas dan perak, maka sesungguhnya ia memasukkan ke dalam perutnya api dari neraka jahannam.

Penggunaan wadah yang terbuat dari emas dan perak dalam kehidupan sehari-hari adalah salah satu perbuatan yang diharamkan dalam syareat Islam. Menurut imam an-Nawawi, sebagaimana yang dinukil oleh syaikh Abu Bakar al-Khushni dalam kitabnya kifayah al-Akhyar, keharaman penggunaan wadah yang terbuat dari emas dan perak adalah merupakan ijma’ (kesepakatan) seluruh ulama, kecuali ulama madzhab Dzhahiri dan pendapat lama (qoul qadim) dari imam asy-Syafi’i. Menurut penyusun kitab at-Taqrib, qoul qadim dari imam asy-Syafi’i harus ditakwil, hal ini juga di dukung oleh adanya riwayat yang menyatakan bahwasnya imam as-Syafi’i telah menarik kembali qaul qadimnya tersebut. (Lihat, Kifayah al-Akhyar hlm 20-21).


Keharaman penggunaan wadah yang terbuat dari emas dan perak yang telah dinyatakan sebagai ijma tersebut adalah diberlakukan pada semua perbuatan yang menggunakan kedua benda tersebut. Contohnya adalah untuk tempat makan, minum, untuk sendok, untuk tempat wangi-wangian, sebagai tempat celak, alat yang digunakan untuk mencelaki mata, sebagai wadah untuk minyak-minyak wangi, dan lain sebagainya baik wadah-wadah tersebut berukuran besar ataupun kecil. Keharaman ini sama diberlakukan baik bagi laki-laki maupun perempuan dengan tanpa perbedaan pendapat dikalangan ulama. Perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan emas, hanya dalam permasalahan perhiasan yang dipergunakan dengan tujuan berhias. (Lihat, Kifayah al-Akhyar hlm 21).

Diharamkan juga menggunakan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak yang digunakan sebagai perhiasan untuk rumah-rumah, toko-toko, ataupun majlis-majlis. Pendapat ini adalah pendapat yang sahih dan masyhur dikalangan madzhab syafi’iyyah, meskipun ada sebagian Ashab Syafi’iyyah yang menyatakan kebolehannya. Menurut nukilan yang disampaikan oleh syaikh Ibrahim al-Khushni, pendapat yang menyatakan boleh tersebut adalah pendapat yang salah, karena setiap apa yang pada asalnya adalah haram, maka melihatnya adalah juga haram. (Lihat, Majmu’ Syarah al-Muhadzab juz 1 hlm 306 dan kifayah al-Akhyar hlm 21).

Menurut pendapat yang sahih, diharamkan juga untuk mengambil wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak meski tidak digunakan sama sekali. Hal ini sesuai dengan kaedah; “Maa haruma isti’maluhu haruma ittikhodzuhu” (apa yang diharamkan untuk digunakan, maka diharamkan juga untuk diambil). (Lihat, Kifayah al-Akhyar hlm 21).


Sebagaian ulama ada yang memperbolehkan untuk menjual wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak kepada orang yang punya keahlian untuk membuat perhiasan dari bahan emas dan perak (melebur wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak tersebut) atau mengolahnya untuk dibuat menjadi dinar ataupun dirham. (Lihat, Hasyiah al-Baijuri juz 1 hlm 59).

Keharaman memakai wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak secara langsung juga akan berdampak pada haramnya membuat wadah dari bahan kedua logam tersebut. Bahkan apabila ada seorang pengrajin logam yang dipesani untuk membuat wadah yang terbuat dari emas dan perak, maka pengrajin tersebut tidak berhak menerima ujrah (bayaran) karena apa yang telah dilakukannya adalah salah satu bentuk perbuatan maksiat. Demikian juga apabila ada seseorang yang memecahkan wadah-wadah yang terbuat dari emas dan perak milik orang lain, orang yang memiliki wadah tersebut tidak berhak untuk meminta ganti rugi pada orang yang telah memecahkannya. (Lihat, Kifayah al-Akhyar hlm 21).

Adapun wadah-wadah yang terbuat dari selain emas dan perak, walaupun terbuat dari suatu bahan yang sangat berharga seperti yaqut dan zabarjat (jenis batu-batu mulia), apakah diharamkan untuk menggunakannya?. Di dalam permasalahan ini terdapat khilaf, menurut satu pendapat (qiil) penggunaan wadah-wadah yang tebuat dari yaqut atau zabarjad dalah diharamkan, karena termasuk perbuatan yang mengarah kepada kesombongan, berlebih-lebihan, dan membuat hati orang-orang faqir merana (nelongso bhs jawanya-red). Tetapi menurut pendapat yang benar (sahih), penggunaan wadah-wadah yang terbuat dari yaqut atau zabarjat adalah tidak diharamkan. (Lihat, Kifayah al-Akhyar hlm 22).

Diharamkan juga untuk menggunakan wadah yang terbuat dari selain perak tetapi ditambal dengan menggunakannya dengan maksud sebagai perhiasan, apabila tambalan tersebut terhitung besar menurut urf (keumumannya). Apabila tambalan tersebut tergolong kecil menurut urf dan digunakan dengan maksud sebagai perhiasan, maka tidak dihukumi sebagai haram melainkan makruh. Dan apabila penambalan dengan perak tersebut dilakukan atas dasar kebutuhan (hajah) maka dalam hal ini tidak dimakruhkan (mubah). Sedangkan penambalan yang dilakukan dengan menggunakan emas, maka menurut tahshih yang dilakukan oleh imam an-Nawawi adalah diharamkan secara muthlak. (Lihat, Hasyiah al-Baijuri juz 1 hlm 60).


Wallahu A’lam bisshowab

Sumber : Kang As'ad

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: