Ad 468 X 60

.

Wednesday, February 24, 2016

Widgets

Mu'an'an Tasalsul

Gus Munif masih belum menjadi Mursyid, masih bersedia diundang untuk ceramah di luar. "Kebeneran, mumpung kantong sedang kosong",batin Gus Munif. Dengan sepeda montor Yamaha bebek tua malam itu, Gus Munif melaju ketika hujan rintik-rintik turun, jalan pun becek sehingga sering berhenti untuk menyingkirkan tanah yang menyumpel di slebor motor. Kejadian ini sudah 39 tahun yang lalu, saat Gus Munif masih usia 20 tahun.

Diantara sekian niat baik, karena melayani masyarakat itu, namun ada satu hal yang menjadi obsesi Gus Munif saat itu, usai pengajian akan pegang uang. Obsesi inilah yang menjadikan Gus Munif bagai Qois yang Majnun itu, dengan penuh gelora dalam perjalanan untuk menuju rumah Layla. Gus Munif yang pendiam, suka tinggal di rumah, kalau keluar paling-paling untuk berziarah dari kuburan ke kuburan para Wali, atau Salafushshaleh. Malam itu melampaui segala rintangan yang ada, untuk sampai ke tempat pengajian. Begitu sampai, Gus Munif diminta segera untuk naik ke podium, karena kehadirannya dipandang telat. Isian Gus Munif dalam ceramah saat itu menceritakan kesulitan sepanjang perjalanan sampai di pengajian, semuanya itu musti ditempuh dengan keikhlasan, jangan pamrih apapun, hanya karena Gusti Allah. Lillahita'ala.


Selesai pengajian, sebagaimana biasanya penceramah, diamplopi. Dan Gus Munif pun meluncur pulang, dari arah timur Mranggen menuju Girikusumo, dusun dimana Gus Munif tinggal. Namun begitu melampaui rel keretapai Ganepo, motor Yamaha itu gembes, praktis Gus Munif menuntun menuju Mranggen untuk mencari tambal ban, pada dini hari itu. Syukur Alhamdulillah dapat. "Darimana Gus?", sapa tukang tambal ban yang memang kenal sama Gus Munif. "Dari Kiai Zubeir, Karangsono,,," jawab Gus Munif lembut sebagaimana tutur kebiasaannya. "Wah, amplonya gede ya Gus?" gurau si tambal ban. "Lambemu kunu, ngaji itu jangan pamrih amplop, saya sendiri juga belum membukanya Kang Badri,,," jawab Gus Munif yang memang kenal sama tukang tambal ban ini. Sembari menunggu ban usai ditambal, Gus Munif malam itu jajan di kedai nasi kucing daerah Mranggen. "Tumben Gus, pinarak ke sini malam-malam begini, maturnuwun Gus, nyuwun berkahnya ya,,,", sapa penjual nasi kucing. "Iya, nambalke ban, pulang dari Karangsono, ngaji,,,". "Enak ya Gus menjadi Kiai itu, diundang, datang, disangoni, terus pulang,,,", ledek si penjual nasi kucing. "Lambebmu kunu, ora ngerti susahe wong, urip iku mung sawang sinawang,,". "Inggih,Inggih, Gus,,,guyon niki kangge ngilangke ngantuk,,,",saut penjual nasi kucing seraya menyuguhkan teh tawar kesukaan Gus Munif. Hujan gerimis masih turun, tipis. Udara agak dingin, angin lembut malam, mendesir.

Begitu usai jajan di warung nasi kucing, Gus Munif kembali ke tukang tambal ban. "Gus,,ternyata tidak hanya soal ban bocor kena paku tadi, tetapi juga habis bensinnya, sekalian saya isi biar sampai ke Girikusumo, semuanya habis lima belas ribu,,,,". Uang dibayarkan, dan Gus Munif meluncur ke pedukuhan Girikusumo. Sepanjang perjalanan pulang yang ditempuh dengan becek sebagaimana berangkatnya tadi, dan sekit-sedikit berhenti karena harus menyingkirkan "gedibal" lumpur, Gus Munif pada satu sisi tersenyum, pada sisi lain menangis. Tersenyum karena Gus Munif merasa ditegur Gusti Allah karena ada kesalahan di dalam hatinya secara langsung, dimana sejak awal berangkatnya itu pamrih amplop sebagai obsesi. Menangis karena di hatinya sempat muncul "krenteg" niat pamrih seperti itu, bagi Gus Munif ini merupakan kesalahan besar, karena dalam pandangan ajaran Thariqah, hati yang sempat muncul seperti itu, musti ditangisi. Kenapa? Karena menjadi selubung keikhlasan.

Suara gemuruh para santri berwirid di Pesantren Girikusumo menjelang subuh terdengar saat Gus Munif sampai di Pesantren pinggir hutan ini, juga santri Thariqah yang sedang suluk sepuluh hari di Girikusumo, membuat hati Gus Munif habis. Dia tersungkur sujud begitu sampai di kamarnya. Gus Munif menghela nafas panjang dalam duduknya. Diam seribu bahasa, yang menggema di hati adalah gemuruh wirid itu. Dengan menyalakan rokok, dan nge-teh tawar yang disuguhkan santri, lagi-lagi Gus Munif tersenyum dan menangis. Tersenyum karena apa yang diharapkan bisa punya uang, itu hanya pepesan kosong, sebab amplop yang diterima itu dua puluh ribu, lima ribu untuk jajan nasi kucing, dan lima belas ribu untuk tambal ban dan membayar bensin. Menangis, karena betapa menyesal Gus Munif sempat terlintas di hatinya akan pamrih semacam itu. "Duh Gusti,,," gumanya di hati Gus Munif seraya ingat akan mBah Zuhri ayahnya, ingat mBah Zuberkakeknya, ingat mBah Zahid buyutnya, dan mBah Hadi canggahnya. Gus Munif ingat juga akan Gus Miek, yang menjadi idolanya saat itu, sampai saat ini, soal keikhlasan itu.

*) Cerpen ini dituturkan sendiri oleh mBah Munif saat jagong usai Maulid Dziba' di Girikusumo.
Sumber : Kiai Kampoeng

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: