Monday, September 26, 2016
Bagaimana Imam Syafi’i Memahami al-Qur’an dan as-Sunnah
Muhammad bin Idris atau yang lebih kita kenal dengan imam Syafi’i lahir di Gaza pada tahun 150 H, nasab beliau bertemu dengan Rosulullah ﷺ pada Abdi manaf, kakek ke 3 Rosulullah ﷺ. Perjalanan hidup beliau dalam menuntut ilmu sudah tak asing lagi, kecerdasan dan kedalaman ilmunya sudah tak diragukan lagi, bahkan saat beliau masih berusia 15 tahun, gurunya, Muslim bin kholid az zanji sudah memberinya ijazah untuk berfatwa [1].
Mengenai keluasan ilmu imam syafi’i ini, imam Nawawi dalam kitabnya, tahdzibul asma wal lughot, membawakan sebuah hadits masyhur dari Rosulullah ﷺ, yang berbunyi :
إن عالم قريش يملأ طباق الأرض علمًا[2]
“sesungguhnya seorang alim dari quraisy akan memenuhi dunia dengan ilmunya”.
Para ulama dari kalangan mutaqodimin dan mutaakhirin mengatakan, bahwa yang diisyaratkan dalam hadits tersebut adalah imam Syafi’i[3].
Hal ini tidak aneh, karena Imam Syafi’i sendiri pernah menceritakan pertemuan beliau dengan Rosulullah ﷺ dalam mimpinya, beliau berkata : “aku melihat Rosulullah ﷺ dalam mimpi, kemudian berkata kepadaku :“wahai anak muda” labbaika ya rosulullah, “darimana asalmu ?” dari golonganmu ya Rosulullah, “mendekatlah kepadaku” kemudian aku mendekat, maka Rosulullah mengambil ludahnya dan mengusapkannya ke mulut dan bibirku kemudian berkata :”pergilah, semoga Allah memberkahimu”[4].
Imam Syafi’i tidak hanya dikenal karena kecerdasan dan keluasan ilmunya saja, tetapi akhlak, kesholehan dan pengamalan beliau terhadap ilmunya juga tertulis rapih dalam catatan sejarah dan kesaksian para ulama .
Kelahiran Ar risalah
Suatu hari, al Imam al Hafidz Abdurohman bin Mahdi[5], seorang muhadits ternama di Basrah, mendengar kabar kedatangan Imam Syafi’i di Baghdad, beliau segara menulis surat yang isinya meminta Imam Syafi’iuntuk menulis sebuah tulisan yang menjelaskan bagaimana cara memahami al-Qur’an dan as-Sunah dengan benar, yang dengan tulisan itu, beliau dan ulama-ulama lainnya bisa mengambil manfaat.
Hal ini dilatar belakangi oleh suatu peristiwa yang dialami oleh Abdurahman bin Mahdi, dimana beliau melakukan bekam, kemudian pergi ke masjid lalu sholat tanpa berwudhu lagi, hal ini beliau lakukan karena mengambil pendapat Imam Malik, yang menyatakan bahwa bekam tidaklah membatalkan wudhu, namun rupanya peristiwa tersebut diingkari oleh orang-orang di Basrah, karena kala itu, Basrah di dominasi oleh ahlu ro’yi, yang berpandangan bahwa bekam itu membatalkan wudhu.
Dari peristiwa itulah muncul niat beliau untuk menanyakan kepada imam Syafi’i, bagaimana memahami al-Qur’an dan as-Sunah sebagai sumber hukum Islam, yang dalam ranah aplikasinya ternyata melahirkan banyak pandangan mengenai hukum suatu peristiwa.
Lama Imam Syafi’i tak membalas permintaan itu, sampai-sampai Ali al-Madini, salah satu gurunya Imam Bukhori berkata kepada Imam Syafi’i : “jawablah permintaan Abdurrahan bin Mahdi, sesungguhnya dia sangat menanti jawaban darimu”. Maka mulailah Imam Syafi’i menulis jawaban, yang isinya menerangkan bagaimana cara memahami al-Quran dan as-Sunah dengan benar, yang mana pemahaman itu, menjadi pijakan dalam menyimpulkan hukum suatu masalah. dibawalah jawaban imam Syafi’ ini oleh al-Harits bin Suraij dari Baghdad ke Basrah .
Abdurrohman bin Mahdi sangat bergembira ketika menerima surat jawaban dari Imam Syafi’i, dibacalah surat itu, kemudian beliau berkata : “aku tak menyangka dalam umat ini ada orang seperti dia”. Sejak saat itu beliau selalu mendo’akan Imam Syafi’i dalam setiap shalatnya . Mengenai surat jawaban ini, yang kemudian dikenal dengan nama Ar-risalah, Al-Muzani berkata : “aku membaca Ar-risalah lima ratus kali, setiap kali aku baca, aku mendapat faidah baru yang sebelumnya aku tidak tau”[6] .
Ar-risalah sebagai metodelogi memahami al-Qur’an dan as-Sunah
Dari pemaparan diatas kita bisa mengetahui, ternyata jawaban Imam Syafi’i atas pertanyaan Abdurrohman bin Mahdi tentang bagaimana cara memahami al-Quran dan as-Sunah dengan benar adalah sebuah kitab yang bernama Ar-risalah.
Ar-risalah sendiri adalah kitab pertama yang membahas tentang ushul fiqh secara khusus[7], dengan ushul fiqih iniah para ulama dari kalangan salaf maupun kholaf memahami teks-teks syar’i, baik al-Qur’an maupun as-Sunah, yang pada akhirnya, kesimpulan dari pemahaman itu menjadi hukum atas suatu masalah.
Lalu bagaimana dengan ulama sebelum Imam Syafi’i, baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in ? bagaimana pendapat-pendapat mereka ? bagaimana cara mereka memahami al-Qur’an dan as-Sunah bila ternyata ilmu ushul fiqih baru disusun oleh Imam Syafi’i ?
Ketahuilah, bahwa esensi dari ushul fiqih itu sendiri sudah ada dalam benak para ulama sebelum Imam Syafi’i menulis Ar-risalah, karena dalam prakteknya, para sahabat dan ulama setelah mereka, menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqih dalam menghukumi suatu masalah, seperti hakikat dan majaz, umum dan khusus, nasikh dan mansukh, qiyas dan lain-lain. Hanya saja mereka belum menyusunnya menjadi sebuah disiplin ilmu serta menuliskannya dalam sebuah kitab.
Yang menarik disini adalah, mengapa Abdurrohman bin Mahdi meminta penjelasan tentang masalah ini kepada Imam Syafi’i ?. Abdurrohman bin Mahdi sendiri adalah seorang ulama hadits yang ma’ruf, dialah orang pertama yang membawa madzhab maliki ke Basrah, bahkan Imam Nawawi mengatakan bahwa beliau adalah salah satu rukun ahli ilmu dalam hadits[8].
Ini menjadi bukti bahwa ternyata para ulama tidaklah sama dalam tingkat kefahaman mereka terhadap alqur’an dan as sunnah, dan ternyata Imam Syafi’i adalah rujukan yang tepat dalam hal ini.
Imam al-Ghozali berkata : “Imam Syafi’i adalah orang yang paling mengetahui tentang ushul fiqih”[9]. Imam Juwaini berkata : “belum ada seorangpun yang mengungguli imam Syafi’i baik dalam penulisan ushul fiqih maupun dalam pengetahuan tentangnya[10]”, bahkan Imam Ahmad bin Hanbal sampai berkata : “kami belum mengetahui umum dan khusus sampai Imam Syafi’i datang kepada kami”[11]. Tentu saja imam Ahmad mengatakan hal itu dalam rangka penghormatan beliau terhadap ketinggian ilmu Imam Syafi’i.
Akhirnya kita menuju pada sebuah kesimpulan, bahwa ushul fiqih adalah alat atau cara bagaimana ulama, baik salaf maupun kholaf, memahami al-Qur’an dan as-Sunah dan mengaplikasikanya dalam berbagai permasalahan yang terjadi. Dalam hal ini, Imam Syafi’i adalah orang yang diakui sebagai yang paling unggul .
Jadi, barangsiapa yang ingin menjadi seorang faqih atau ingin memahami al=Qur’an dan as-Sunah dengan benar, hendaklah belajar ilmu ushul fiqih ini kepada alim yang terpercaya .
Adapun bila kita membaca dan memahami al-Quran dan sunah-sunah Nabi secara langsung tanpa belajar dahulu alatnya, atau kita belajar tapi tanpa bimbingan seorang guru, dikhawatirkan apa yang kita pahami justru keliru dan tidak sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh al-Quran itu sendiri, padahal nabi Muhammad ﷺ telah bersabda :
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار[12]
“barangsiapa menafsirkan alqur’an dengan pendapatnya sendiri, maka siap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka”
Begitu juga dengan hadits-hadits Nabi, Ibnu Uyainah berkata :
الحديث مضلة إلاّ للفقهاء
“hadits itu menyesatkan kecuali bagi fuqoha”
Ibnu hajar al-Haitamiy menjalaskan, maksud perkataan tesebut adalah, karena hadits-hadits Nabi itu seperti al-Qur’an, ada lafadz-lafadz yang umum tetapi maksudnya khusus, atau sebaliknya, ada juga lafadz-lafadz yang sudah di mansukh dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali oleh para fuqoha, adapun orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan salah dalam memahami maksud sebuah hadits, sehingga tersesat[13].
Kita memohon perlindungan kepada Allah dari pemahaman yang salah, yang menyesatkan kita, dan kita juga memohon agar diberi pemahaman yang benar tentang agama ini, pemahaman yang akan membawa kita kepada surganya Allah subhanahu wa ta’ala .
[1] Tarikh baghdad madinatus salam 403.
[2] Ibnu ‘asakir (14/817)
[3] Tahdzibul asma’ wal lughot (1/52).
[4] Manaqib imam Syafi’i (1/98).
[5] Lihat biografi beliu : Siyarul a’lam wan nubala (9/192), tahdzibul asma wal lughot (1/304)
[6] Manaqib imam syafi’i (1/236)
[7] Alwajiz fi ushul fiqh, Dr. wahbah azzuhailiy, hal. 16
[8] Manaqib imam Syafi’i (1/231-232)
[9] Almankhul fi ta’liqotil ushul, hal. 497
[10] Albahrul muhith fi ushulil fiqih (1/10)
[11] Albahrul muhith fi ushulil fiqih (3/5)
[12] H.R At tirmidzi
[13] Fatawa alhaditsiyah, hal. 283
Sumber : GALIH MAULANA
Related Posts:
madzhab
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: