Ad 468 X 60

.

Sunday, June 4, 2017

Widgets

-- Kupas Tuntas Hasad Part 1 --

Oleh  : Al-Habib Ali AlJufri 

Hasad, yang merupakan maksiat di an­tara maksiat-maksiat hati, adalah pe­rasaan berat dalam memandang nikmat atau karunia yang ada di sisi makhluk. Engkau merasa berat bila melihat orang lain memperoleh nikmat dari Allah SWT, baik nikmat duniawi maupun nikmat ukhrawi. Dari mana datangnya perasaan berat semacam ini? Perasaan itu datang ka­rena engkau sibuk untuk meraih dan men­dapatkan kedudukan di antara ma­nusia.


Apabila kedudukanmu di antara ma­nusia adalah karena ilmu yang engkau miliki, engkau akan merasa berat bila memandang orang lain yang lebih alim dan berilmu dari dirimu, karena engkau ta­kut orang-orang akan menolehkan pan­dangan mereka kepadanya, bukan ke­pada dirimu. Sehingga penyakit yang ada di dalam hatimu itu sampai kepada batas­an bahwa engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat yang Allah berikan kepada selain dirimu. Mengapa? Karena engkau tidak menginginkan orang-orang memandang kepada orang yang menda­pat karunia itu. Engkau hanya ingin agar orang-orang memandang kepadamu.

Atau, apabila kedudukan yang eng­kau harapkan di antara manusia adalah dengan sebab kekayaan yang engkau mi­liki, atau kemampuan untuk meng-goal-kan proyek-proyek yang mendatangkan pundi-pundi kekayaan, engkau akan me­rasa berat bila di hadapanmu terdapat orang lain yang juga memiliki kemampu­an seperti itu, karena engkau takut hal itu akan membuat pandangan orang-orang tertuju kepadanya, bukan kepada dirimu.

Pada ilmu, kedudukan, pangkat, ja­batan, dan pada apa pun itu, penuhnya hati oleh kegelapan cinta terhadap kedu­dukan di sisi manusia akan melahirkan se­telahnya penyakit yang ketiga ini, yakni hasad, perasaan berat melihat nikmat yang ada di sisi makhluk.

Bila kami katakan bahwa kesombong­an (al-kibr) adalah tanda atas kebodohan, riya’ (ar-riya’) adalah tanda atas kepan­dir­an, sesungguhnya hasad adalah pe­rmusuhan (mu‘adah) terhadap Allah se­cara terang-terangan. Naudzu billah!!!

Apakah seseorang dapat menerima bahwa dirinya menjadi musuh bagi Tu­han, Yang Maha Pemilik segala kemulia­an? Hasad adalah permusuhan terhadap Allah SWT secara terang-terangan, ka­rena orang yang hasud seolah-olah ia menentang Allah SWT.

“Kenapa Engkau memberi si Fulan?”

Di saat engkau merasa berat untuk melihat adanya nikmat pada seseorang, seolah-olah engkau menentang terhadap Yang memberinya nikmat itu, Allah SWT. Inilah bahaya hasad. Engkau akan se­nantiasa hidup dengan kegelapan hati, yang hatimu merasa berat untuk melihat kebaikan di sisi manusia, dan menentang Allah SWT dalam memberikan karunia-Nya kepada sekalian makhluk-Nya.

Hasad memiliki beberapa macam. 

Pertama, hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy). Yakni berharap hilangnya nikmat dari orang lain meskipun nikmat itu tidak di­harapkan menjadi miliknya.

Seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain yang ada di hadapan­nya sekalipun nikmat itu tidak akan men­jadi miliknya. Misalkan, seseorang sukses dalam meng-goal-kan suatu transaksi bis­nis, engkau berharap agar orang itu men­dapat kerugian, sekalipun dirimu ti­dak dapat melakukan suatu transaksi pun.

“Atasku dan atas musuh-musuhku,” seperti yang dikatakan orang-orang.

Ini hasad Iblis. Dia merasa berat me­lihat kedudukan yang tinggi dari Allah SWT berada pada ayah kita, Nabi Adam AS. Hasad semacam ini kemudian mem­bawa Iblis kepada me­nen­­tang Tuhan, Yang Maha Pemilik se­gala ke­muliaan, dengan menolak untuk ber­sujud kepada Nabi Adam AS. Setelah itu, sebagai ganti dari semestinya ia kem­bali dan bertaubat kepada Allah SWT serta menyesali ke­salahannya, yang, bila saja dia bertaubat, niscaya Allah akan meng­hapuskan dosanya, karena sung­guh Allah mahaluas karunia-Nya, kepada Allah justru Iblis mengancam Adam AS dan anak-cucunya. Iblis berkata, “Dia (iblis) berkata, ‘Terang­kanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diri­ku? Sesung­guhnya jika Engkau mem­beri tangguh ke­padaku sampai hari Kia­mat, niscaya be­nar-benar akan aku se­­sat­kan keturunan­nya, kecuali se­bahagi­an kecil." (QS Al-Isra: 62).

Apakah perbuatan Iblis terhadap anak-cucu Adam akan mengembalikan kedudukannya? Apakah dengan itu Iblis akan mendapatkan kembali kedudukan yang telah hilang darinya? Tidak!! Sekali-kali tidak akan pernah kedudukannya itu kembali kepadanya. Disebabkan karena teramat gelap dan hitam pekatnya hasad yang ada di dalam hatinya, Iblis berpaling dari seharusnya memikirkan bagaimana mendapatkan ganti dari kerugian yang di­alaminya, dan bagaimana meraih kembali kedudukan yang telah hilang dari dirinya, kepada bagaimana mendatangkan ma­dharat terhadap orang lain yang menda­patkan karunia dan kedudukan dari Allah SWT dan bagaimana melenyapkan karu­nia yang diraih oleh selain dirinya.

Inilah yang terburuk dan paling hina dari macam-macam hasad.

Bila seseorang terhalang dari ketulusan dan kelapangan hati dan selamanya bersedih hati, niscaya dia tidak akan pernah merasakan nikmatnya ketaatan selama-lamanya. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya munajat kepada Allah SWT. Tidak akan mungkin orang yang hasud merasakan nikmatnya dekat dengan Allah, karena dia ber­hadapan dengan Allah dengan sikap permusuhan terhadap-Nya.

Setelah menjelaskan hakikat hasad dan macam pertama dari macam-macam hasad, yakni hasad Iblis (al-hasad al-iblisiy), pengasuh melanjutkan penjelas­annya tentang macam-macam hasad se­lanjutnya dan bahaya darinya.

Kedua, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar nikmat itu beralih kepada dirinya. Seseorang ber­harap hilangnya nikmat dari orang lain yang berada di hadapanya dan dia ber­harap agar nikmat itu beralih kepada diri­nya. Dia berharap, si Fulan merugi dalam usahanya, agar dirinyalah yang kemudian mendapat keuntungan yang besar. Dia berharap, si Fulan jatuh kedudukannya, agar dialah yang nantinya mendapatkan dan menggantikan kedudukannya.

Seseorang yang memiliki sifat hasad semacam ini berharap hilangnya nikmat dari orang lain agar dirinya yang menda­patkannya. Sifat semacam ini adalah sifat yang buruk dan sesuatu yang dapat me­ngotori hati — wal-‘iyadzu billah, semoga Allah menjauhkan kita dan kalian semua daripadanya. Akan tetapi sifat hasad yang kedua ini lebih rendah keburukannya dari yang sebelumnya.

Ketiga, harapan terhadap hilangnya nikmat dari orang lain agar dia mendapat­kannya, namun, jika tidak men­dapat­kan­nya, dia tetap rela bila nikmat itu dimiliki orang lain.

Seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain yang ada di hadap­annya dan mengharapkan untuk menda­patkan nikmat itu. Akan tetapi jika tidak ada jalan untuk menggapainya agar men­jadi miliknya, dia merelakan nikmat itu menjadi milik orang lain tersebut.

Jenis hasad semacam ini pun buruk, akan tetapi kadar keburukannya lebih ringan dari dua macam hasad sebelum­nya.

Keempat, ghibthah. Sesuatu yang tidak dinilai buruk, tapi merasakan berat terhadap nikmat yang ada pada orang lain.

“Mengapa Fulan mendapatkan ini dan itu? Akan tetapi aku tidak berharap agar si Fulan rugi. Aku hanya berharap agar aku pun mendapatkan seperti yang didapatkan oleh si Fulan.”

Inilah ghibthah. Hasad seorang muk­min adalah ghibthah. Seorang mukmin tidak hasad kepada sesamanya, tetapi ia ghibthah.

Apa makna ghibthah kepada orang lain? Maknanya, ia berharap agar men­dapatkan nikmat seperti yang didapatkan orang lain, tetapi tidak mengharapkan hilangnya nikmat itu dari orang lain.

Untuk macam yang keempat ini, ti­dak­lah mengapa dimiliki seorang muk­min. Engkau melihat seseorang memiliki suatu kebajikan, misalkan ia telah hafal Al-Qur’an. Engkau merasa berat karena engkau belum hafal, maka engkau pun ber­harap agar segera dapat hafal Al-Qur’an, tapi engkau tidak merasa berat terhadap saudaramu yang telah lebih dahulu hafal Al-Qur’an. Perasaan berat itu selanjutnya memotivasimu untuk menghafal Al-Qur’an sehingga engkau mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Engkau tidak berharap agar nikmat itu hilang dari saudaramu. Ini termasuk bab at-tanafus (saling berlomba). Allah SWT berfirman, "...dan untuk yang demi­kian itu, hendaknya orang berlomba-lom­ba." QS. Al-Muthaffifin: 26.

Ghibthah adalah sesuatu yang terpuji, karena ini kembali kepada sifat asal manusia, yakni harapan untuk menang, harapan untuk beridentitas, dan harapan untuk maju.

Bila datang ghibthah ke dalam hati­mu, tidaklah mengapa. Yang bermasalah adalah pada tiga macam yang pertama, yakni seseorang berharap hilangnya nik­mat dari orang lain.

InshaAllah bersambung...

Wallahu'alam

Allahumma Sholli 'ala Sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wa Shobihi wasalim

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: