Ad 468 X 60

.

Tuesday, September 23, 2014

Widgets

Telaah Sunnah dan Bid'ah (bag.2, habis)

Hal-hal baru sudah muncul sejak sepeninggalan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, toh umat juga menerima hal baru setelah 3 abad pertama seperti memberi harakat dan titik pada ayat al-Quran, merunutkan juz, rubu’ dan sajadah, meletakkan tanda disetiap sepuluh ayat, memberi angka pada surat dan ayat, membubuhi nama ayat makky dan madany disetiap awal surat, memberikan tanda pada waqaf yang diperbolehkan dan tidak, membuat hukum tajwid seperti idgham, tanwin dan istilah-istilah yang lain yang tertera pada mushaf. Sebagaimana umat juga menerima modifikasi ilmu gramatikal Arab, ushul fikih, ushul ad-din dan sebagainya.

Semua itu terjadi setelah berpulangnya Rasulullah dan tidak ada satupun yang menganggap satu diantara hal diatas sebagai bid’ah dlalalah. Tidak mungkin ucapan Rasulullah paradoks dengan menjadikan setiap hal yang baru sesat, tapi juga berkata bahwa setiap hal baru di golongkan menjadi baik dan buruk. Hasilnya, setiap dari keduanya harus memiliki batasan-batasan dan ketentuan. Adapun mengumpulkan hal yang debatable (mukhtalafat) itu kewajiban bagi ulama untuk diverifikasi. Imam Syafii (150-204 H) sudah memberi batasan dan ketentuan untuk membedakan antara bid’ah yang baik dan buruk. Bid’ah yang buruk berarti apapun yang bertentangan dengan teks suci dan ushul syariat, dan yang baik adalah yang selaras dengan keduanya (teks dan ushul).

Sebagian orang berupauya berkelit dari kandungan hadis “barang siapa yang memulai hal yang baru yang baik dan buruk” dengan menafsiri dan menyeret hadis ini keluar jauh dari maksudnya sendiri, mereka berujar: “Yang dimaksud pada hadis tersebut adalah siapa saja yang menghidupkan kembali sunnah yang usang (ahya sunnatan majhuratan).” Padahal kalimatnya sendiri sudah jelas menganjurkan umat untuk menciptakan hal baru yang baik (insya’ sunan al-khair), begitu juga dilain kesempatan ada hadis yang menganjurkan untuk menghidupkan sunnah yang ditinggalkan (sunnah majhurah). Ada perbedaan jauh antara menciptakan perilaku (insya’) dan menghidupkan (ihya’), bukan?

Mereka juga menyangka dan ngotot bahwa anjuran untuk menciptakan (ihdats) dan memulai (ibtida’) hal baru yang baik hanya diarahkan dan dikhusukan pada zaman khulafa rasyidun, meski pada dasarnya hadis sudah sangat jelas tidak ada pengerucutan dan pengkhususan zaman tertentu. Pengkhususan hal ini pada masa tertentu adalah tindakan tanpa dalil.

Akhir kata, pertimbangan diterima dan tidaknya bid’ah atau hal baru ketika selaras atau kontradiktif pada nash, ushul syariat dan qaidah istinbath.

Telaah Sunnah dan Bid'ah (bag.1)

-Dr. Umar Abdullah Kamil

Sumber : FB Suara Al-Azhar.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: