Ad 468 X 60

.

Saturday, June 22, 2013

Widgets

PELURUSAN SEJARAH TERHADAP PERNYATAAN WALISANGA ADALAH KETURUNAN TIONGHOA

Daftar Isi:

a. Buku Kontroversial
b. Menilik Kekuatan Referensi
c. Berdarah Hadhramaut
d. Faktor Geografis
e. Jejak Alawiyyin di Nusantara
f. Menyoal “Berita” dari Klenteng Sam Po Kong
g. Sang “Detektif Sejarah”
h. Refleksi dan Visi Parlindungan
i. Sosok Poortman
j. Buku Tuanku Rao
k. Buku Karya Muljana

a. Buku Kontroversial

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisanga berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan sesuatu yang kontroversial.

Akhir 1968, terbitnya buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara, karya sejarawan Slamet Muljana, memunculkan kontroversi, karena pernyataannya bahwa Walisanga adalah keturunan Tionghoa-Indonesia. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras masyarakat, yang berpendapat bahwa Walisanga adalah keturunan Arab-Indonesia. Belakangan ini wacana tentang asal-usul Walisanga yang diberitakan merupakan keturunan Tionghoa kembali mengemuka.

Mendiskusikan asal-usul Walisanga tentu saja tidak ditujukan sebagai upaya mengutamakan satu kelompok di atas kelompok yang lainnya, namun lebih sebagai upaya pelurusan sejarah. Pelurusan sejarah ini menjadi penting, demi menghindari upaya pihak-pihak tertentu yang ingin mengubur peran sejarah umat Islam yang datang dari negeri asalnya, tanah Arab. Maklum sudah, upaya-upaya seperti ini kerap dilakukan sejumlah pihak yang tak ingin peran historis bangsa dari negeri tempat dilahirkannya Rasulullah Saw. tampak menonjol di atas panggung sejarah.

Menurut Muljana, orang yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa, yakni Chen Jinwen, atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Raden Patah” alias “Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu)”. Ia adalah pendiri Kerajaan Demak di Jawa Tengah.

Walisanga dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri dari sembilan orang wali:

1. Sunan Ampel alias Bong Swie Ho
2. Sunan Drajat alias Bong Tak Keng
3. Sunan Bonang alias Bong Tak Ang
4. Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang
5. Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo
6. Sunan Kudus alias Zha Dexu-Ja Tik Su
7. Sunan Muria
8. Maulana Malik Ibrahim alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat, dan
9. Sunan Giri, cucu Bong Swie Ho.

Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada tahun 1401 di Champa (Kamboja). Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa penganut agama Islam bermukim di sana. Ia tiba di Jawa pada 1443. Tiga puluh enam tahun kemudian, yakni pada 1479, ia mendirikan Masjid Demak.

Ia juga perencana kerajaan Islam pertama di Jawa yang beribu kota di Bintoro Demak, dengan mengangkat Raden Patah alias Chen Jinwen-Tan Jin Bun sebagai sultan yang pertama. Ia putra Cek Kopo di Palembang.

Pada bagian lainnya Muljana menyimpulkan, Sunan Kalijaga memiliki nama lain, yaitu Gan Si Cang. Gan Si Cang (Sunan Kalijaga) adalah kapitan Cina di Semarang, salah satu putra Gang En Cu, mantan kapitan Cina di Manila yang dipindahkan ke Tuban sejak 1423.

Saudara perempuan Gan Si Cang (Sunan Kalijaga) adalah Ni Gede Manila, yang dinikahi Bong Swi Hoo. Bong datang ke Jawa pada 1445. Perkawinan Bong dengan Ni Gede Manila melahirkan Bonang (Sunan Bonang). Sunan Bonang kemudin diasuh oleh Sunan Ampel dan Sunan Giri.

Gan Si Cang alias Raden Said alias Sunan Kalijaga adalah pemimpin pembangunan Masjid Demak. Tukang-tukangnya diambil dari galangan kapal Semarang. Masjid fenomenal itu menggunakan konstruksi tiang kapal yang terdiri dari susunan kepingan-kepingan kayu yang rapi. Konstruksi ini konon lebih kuat menahan badai.

Sementara itu, Sunan Gunung Jati, menurutnya, tak lain adalah Toh A Bo. Dan, Sunan Kudus atau Jafar Umar Sidik adalah nama lain dari Ja Tik Su.

b. Menilik Kekuatan Referensi

Referensi sejarah tentang kedatangan Walisanga terbilang melimpah. Diantara manuskrip lokal atau pribumi terkait sejarah Walisanga adalah Babad Tanah Jawi, Serat Kandha, Serat Walisanga karya Ronggo Warsito, Kitab Walisanga karangan Sunan Giri II, Hikayat Hasanuddin dan Babad Gresik. Namun demikian, tak satu pun dari sumber-sumber itu yang menyebutkan Walisanga adalah keturunan Tionghoa.

Dalam hampir semua naskah lokal itu tercantum pengakuan, beberapa orang dari Walisanga itu datang dari negeri Aceh, yakni dari Kerajaan Samudera Pasai. Sumber-sumber sejarah itulah yang digunakan oleh para peneliti sejarah Walisanga, baik pakar Indonesia maupun penulis asing.

Diantara penulis dan pengamat sejarah Walisanga terkenal asal Indonesia ialah Solichin Salam, Umar Hasyim, Rachmat Hidayat, Prof. Dr. Taufik Abdullah, Darori Amin, Prof. Dr. Hamka, H.M. Zainuddin. M. Junus Djamil, Prof. A. Hasjmy, dan Budiono Hadi Sutrisno. Sementara sebagian peneliti dan pengamat asing adalah Dr. H.J. De Graaf, Dr. T.H. G. Pigeaude, Prof. G.W.J. Drewes, dan G.A.J. Hazeu.

Dari hasil penelitian mereka, yang mereka dapatkan dari sumber-sumber tertulis yang dapat mereka jelaskan, Prof. Dr. Hamka, misalnya, dalam bukunya Sejarah Umat Islam, menyebutkan: “Banyaklah putra Pasai meningggalkan kampung halamannya, terutama sejak dua kali serangan yang menyedihkan, pertama dari Siam, kedua dari Majapahit. Dan akhirnya di tahun 1521 diserang pula oleh Portugis.

Kerajaan Majapahit yang keras mempertahankan kehinduannya, sehingga menyebabkan negeri Pasai terpaksa mengakui takluk ke bawah naungannya, menyebabkan beberapa anak Pasai pergi merantau ke tanah Jawa sendiri, terutama ke Jawa Timur, dan menetap di sana.

Jika negerinya sendiri telah terbakar, dibakar oleh suatu kekuasaan besar, anak Pasai itu telah pergi ke hulu kekuasaan itu, ke daerah kekuasaan Majapahit sendiri dan mengembangkan pula cita-citanya di sana. Dengan suatu ajaran ruhani yang murni, Majapahit telah mereka perangi pula, bukan dengan senjata. Apa yang mereka tanamkan itulah kelaknya yang akan besar dan kukuh, menjelma menjadi Kerajaan Islam Demak.”

Masih dalam buku yang sama, pada halaman 745 Prof. Dr. Hamka melanjutkan lagi: “Tersebut perkataan, bahwasanya raja negeri Campa itu beranak dua orang perempuan. Yang tertua bernama Darawati, diambil istri oleh Angkawijaya, raja Majapahit. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan Putri Campa itu. Dan anak perempuannya yang seorang lagi kawin pula dengan seorang penyair Islam dari tanah Arab, maka mendapatlah putra Raden Rahmat. Kalau benar bahwa Campa itu bukan yang di Annam Indo-Cina, tetapi di Aceh, yaitu negeri Jeumpa, sudah tidak pelak lagi bahwasanya Raden Rahmat adalah keturunan Arab yang datang dari Aceh.

Dikirimlah Raden Rahmat itu oleh nenek Raja Campa (Jeumpa) ke tanah Jawa dan singgah dua bulan di Palembang. Lalu diajaknya Aria Damar, adipati Palembang, memeluk Islam. Aria Damar memeluk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa.”

Solichin Salam juga mengakui bahwa sebagian wali itu punya asal-usul dari Kerajaan Samudera Pasai.

Penulis lain, Umar Hasyim, dalam bukunya Sunan Giri, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1979 di halaman 21, menyebutkan: “Maulana Ishak diberi tugas untuk menyebarkan Islam ke Jawa. Beliau kawin dengan salah seorang putri Blambangan. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri.”

Kalau merujuk pada pendapat para pengarang tersebut serta beberapa tulisan lepas lainnya, dapat disimpulkan, enam orang dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa berasal dari Aceh. Mereka adalah:

1. Maulana Malik Ibrahim
2. Maulana Ishak (Sunan Giri)
3. Ali Rahmatullah/Raden Rahmat (Sunan Ampel)
4. Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang)
5. Raden Qasim (Sunan Drajat), dan
6. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Beberapa sumber menyebutkan, pada masa Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (± 797 H/1395 M), sebuah tim dakwah Islam yang dipimpin Maulana Malik Ibrahim telah dikirimnya ke Pulau Jawa.

H. Rosihan Anwar juga berpendapat demikian. Pada peringantan Hari Isra’ Mi’raj tahun 1988, ia menjelaskan lewat TVRI-Jakarta dan beberapa surat kabar antara lain sebagai berikut: “Masuknya Islam ke Jawa adalah karena usaha juru dakwah dari Pasai. Dari sembilan wali (Walisanga) yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-14, ke-15, dan ke-16 Masehi, empat wali berasal dari Samudera Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat dan Sunan Bonang.

Wali pertama adalah Malik Ibrahim, yang wafat dan dimakamkan di Gresik tahun 1419, beliau seorang saudagar Persia, berasal dari Gujarat, India. Wali kedua, yang hidup pada pertengahan abad ke-15, adalah Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang makamnya terdapat di Kampung Arab di Surabaya, ia berasal dari Pasai. Ia wafat kira-kira tahun 1481. Kedua putranya, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang, yang kemudian bermukim di Tuban dan juga menjadi wali, pun berasal dari Pasai. Dan seterusnya hingga yang terakhir dari Walisanga adalah Sunan Gunung Jati, yang menurut sebagian versi sejarah juga dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan, ia lahir di Basma, Pasai, tahun 1490. Setelah menjadi wakil Kerajaan Demak di Banten, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon pada tahun 1552 dan wafat tahun 1570.

Orang sedikit sekali menyadari, tetapi memang demikianlah faktanya, bahwa empat dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal dari Samudera Pasai.”

Di sisi lain, referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisanga berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademis yang berasal dari Slamet Muljana, lewat bukunya di atas, yang merujuk pada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada Residen Poortman.

c. Berdarah Hadhramaut

Beberapa versi sejarah memang menyebutkan asal-usul negeri Walisanga, seperti dari Samarkand (Asia Tengah), Champa, Gujarat, atau tempat lainnya. Namun tampaknya, dengan mengesampingkan analisis sejarah yang mensinyalir Walisanga adalah keturunan Tionghoa, tempat-tempat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para muballigh daripada merupakan asal-muasal mereka, yang sebagian besar adalah kaum sayyid atau syarif.

Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad al-Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, menyatakan bahwa Walisanga adalah keturunan kaum sayyid Hadhramaut.

L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset tahun 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l’archipel Indien (1886), mengatakan: “Adapun hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang sayyid syarif. Dengan perantaraan mereka, agama Islam tersiar di antara raja-raja Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku lain Hadhramaut (yang bukan golongan sayyid syarif), mereka ini tidak meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum sayyid syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad Saw.).”

Van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hlm. 192-204): “Pada abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya, yaitu sesudah masa Kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam (Nabi Muhammad Saw.). Orang-orang Arab Hadhramaut membawa kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya.”

Pernyataan Van den Berg secara spesifik menyebut, abad ke-15 adalah abad kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisanga di Pulau Jawa. Abad ke-15 ini jauh lebih awal dari abad ke-18, yang merupakan saat kedatangan gelombang berikutnya, yaitu kaum Hadhramaut yang bermarga Assegaf, al-Habsyi, al-Haddad, Alaydrus, Alatas, al-Jufri, Bin Syihab, dan banyak marga Hadhramaut lainnya.

Hingga saat ini umat Islam di Hadhramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Sri Lanka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir), yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.

Kesamaan dalam pengamalan Madzhab Syafi’i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait, seperti mengadakan Maulid, membaca Diba’ dan Barzanji, beragam shalawat Nabi, dan banyak amalan lainnya, hanya terdapat di Hadhramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Sri Lanka, Sulu-Mindanao, Malaysia dan Indonesia.

Kitab fiqih Syafi’i Fathul Mu’in, yang populer di Indonesia, dikarang oleh Zainuddin al-Malibari dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum fuqaha maupun kaum sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber, yaitu Hadhramaut, karena Hadhramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqih Syafi’i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.

Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisanga, seperti Raden Patah dan Pati Unus, sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Abdullah Khan bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath, tokoh besar Hadhramaut abad ke-13.

Keluarga besar ini terkenal sebagai muballigh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama “Akbar”, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar, dan banyak lainnya.

d. Faktor Geografis

Dalam sebuah artikelnya, Dr. Jamal Zakaria Qasim, dosen sejarah modern di Universitas Ain Syams dan Universitas Kuwait, menulis: “Para pedagang dari Jazirah Arab Selatan, khususnya dari Hadhramaut, adalah orang yang pertama-tama menemukan Kepulauan Hindia. Kedatangan mereka kadang-kadang berdagang, kadang-kadang menetap, karena alam daerah asal mereka yang kering memaksa mereka mengarungi gelombang Lautan Hindia dan mencari sumber rizqi yang baru. Walaupun mereka kelompok minoritas yang datang pada waktu-waktu terbatas, dengan berlalunya waktu mereka berbaur dengan para penduduk.”

Selanjutnya ia menjelaskan: “Hubungan antar-pedagang tumbuh dan meluas sebelum munculnya Islam antara para pedagang Arab dan Timur Jauh, karena faktor geografis membantu semangat untuk melakukan aktivitas pelayaran. Angin musim yang bertiup dari Lautan Hindia membuat kapal layar melakukan dua kali pelayaran teratur setiap tahun.”

Ia melanjutkan: “Pada musim semi kapal-kapal itu terdorong ke arah timur laut, dari Teluk Oman dan pantai Hadhramaut ke Lautan Hindia. Sedangkan pada musim gugur kapal-kapal itu menuju ke arah sebaliknya, yang memungkinkannya mereka kembali ke Semananjung Arab. Dalam dua kali perubahan angin ini, selesailah sudah urusan perdagangan mereka.”

Di bagian lain ia menulis: “Para pedagang Arab mengetahui saat angin berembus, dan mereka menetapkan waktu yang cocok untuk berlayar di Lautan Hindia. Melihat sifat hubungan musim antara Arab dan Timur Jauh, banyak orang ingin menetap pada waktu-waktu tertentu di pusat-pusat perdagangan dan membangun gudang-gudang untuk menjaga perdagangan mereka selama menunggu perubahan angin. Dalam pelayaran berikutnya, yakni setelah Islam, banyak diantara mereka yang sengaja bermukim, mencari penghidupan dan menikah dengan pribumi.”

Mengapa kaum Alawiyin Hadhramaut menyebar dan pindah ke negeri-negeri lain? Bukankah nenek moyang mereka sengaja memilih Hadhramaut sebagai tempat tinggal, bukan sekadar untuk singgah?

Ada banyak faktor yang membuat mereka berlayar dan pindah ke negeri lain, seperti halnya pada bangsa-bangsa lain. Terlepas dari sebab-sebabnya, hijrah mempunyai pengaruh besar dalam dakwah Islam. Setelah mereka yang hijrah menetap di daerah baru, mulailah dakwah Islam dilancarkan di antara umat pribumi. Setelah mengenal peradaban Islam, mereka mengakui dan mengenang kebaikan para muballigh. Inilah yang kita temukan pada masyarakat di daerah tempat kaum Alawiyin berdakwah.

Faktor itulah antara lain penyebab hijrahnya kaum Alawiyin dari Hadhramaut ke berbagai negeri. Terdorong keinginan mencari penghidupan yang lebih baik, disamping berdakwah ke seluruh penjuru dunia, banyak kaum Alawiyin meninggalkan Hadhramaut, negeri yang kala itu tandus dan miskin. Ada yang ke barat sampai Somalia, Jibouti, Eritrea, Madagaskar, ada pula yang ke timur sampai India, Cina, Kamboja, Siam, Filipina, Malaya, Brunei, Indonesia.

e. Jejak Alawiyyin di Nusantara

Langkah kaki kaum Alawiyyin dalam terus mengikuti jejak ajaran leluhurnya seiring dengan semangat mereka untuk menyebarluaskan dakwah syiar agama yang telah dibawa oleh datuk mereka, Rasulullah Saw.

Di Nusantara dan kawasan Asia Tenggara pada umumnya, peranan Alawiyyin dalam masa-masa awal penyebaran agama Islam mendapat catatan penting dari hampir seluruh sejarawan.

L. Van Rijck Vorsel, dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, Riwayat Kepulauan Hindia Timur, menyebutkan, orang-orang Arab sudah datang di Pulau Sumatera lebih dulu sebelum orang-orang Belanda. Kedatangan pertama orang-orang Arab 750 tahun lebih dulu daripada kedatangan orang-orang Belanda. Akan tetapi kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam di kepulauan itu baru terjadi pada tahun 1292 M dan penyebaran agama tersebut dilakukan di kalangan kerajaan-kerajaan Pasai.

Sementara itu, catatan yang lebih jelas mengenai peran dakwah Alawiyyin di Nusantara diberikan oleh Van den Berg, yang menyebutkan bahwa pengaruh Islam di kalangan pribumi bersumber dari orang-orang Arab dengan gelar sayyid dan syarif. Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar di kalangan raja-raja Hindu di Jawa dan di pulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya yang berasal dari Hadhramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh signifikan. Kenyataan besarnya pengaruh kaum sayyid dan kaum syarif terpulang pada martabat mereka sebagai keturunan nabi dan rasul pembawa agama Islam, yakni Nabi Muhammad Saw.

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kaum muslimin Indonesia mengenal baik nama para dai yang menyebarkan agama Islam masa lampau di negeri ini. Gelar-gelar kewalian mereka tidak asing lagi, bahkan di kalangan anak-anak sekolah sekalipun, seperti Sunan Kalijaga atau Sunan Gunung Jati. Akan tetapi jarang yang mengetahui asal-usul mereka dan apa saja yang telah mereka lakukan demi kemaslahatan Islam, kaum muslimin, dan negeri tercinta ini.

Snouck Hurgronje mengatakan: “Sebagian besar penyebar agama Islam datang dari negeri jauh. Pada galibnya mereka datang dari negeri Arab. Mereka digelari sayyid karena mereka dari keturunan al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad Saw.” Kondisi yang disebutkan Snouck itu pada kenyataannya hampir merata, dari Indonesia bagian timur hingga barat.

Prof. Dr. Buya Hamka mengatakan, orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum sayyid, beroleh kedudukan martabat yang sangat terhormat, termasuk kedudukan politik. Keturunan mereka memegang tampuk Kesultanan Aceh. Sultan yang pertama ialah Sultan Badrul ‘Alam asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702), kemudian Sultan Perkasa Alam asy-Syarif Lamtsawiy asy-Syarif Ibrahim. Hingga tahun 1946 M beberapa orang perwira yang memimpin pasukan bersenjata di Aceh terdiri dari keturunan Arab. Sultan-sultan Siak adalah keturunan kaum Alawiyyin. Sultan-sultan Pontianak adalah keturunan dari keluarga al-Qadri. Sultan-sultan Perlis dari keluarga Jamalullail, dan sultan yang sekarang (semasa Buya Hamka masih ada) ialah Tuanku Sayyid Putera bin Almarhum Hasan Jamalullail.

Sebagai pembuktian tentang unsur Arab para penyebar agama Islam di Nusantara, ia mengemukakan bahwa diantara mereka itu adalah Syaikh Ismail dan Sayyid Abdul Aziz, yang telah berhasil mengislamkan Premaswara. Kedatangan para sayyid dari kaum Alawiyyin sendiri dari Hadhramaut terjadi pada masa hidup Sultan Iskandar Muda.

Di dalam surat kabar Abadi, yang terbit di Jakarta, tanggal 25 Oktober 1959, dikemukakan sebuah riwayat yang terkenal di kalangan penduduk Pulau Sumbawa bahwa meletusnya Gunung Tambora terjadi karena terbunuhnya seorang sayyid yang datang untuk menyebarluaskan agama Islam di pulau itu. Sedang di Pulau Kutai tersebar luas cerita bahwa orang pertama yang menyebarkan agama Islam di sana (Tengarong) ialah seorang sayyid yang datang dari Pulau Jawa.

Selanjutnya dikatakan, kita tidak dapat mengingkari pengaruh kaum sayyid dan kaum syarif dalam penyebaran Islam di Indonesia. Empat orang raja di pulau-pulau Maluku (Ternate, Bacan, Jillolo, dan Tidore) mendasarkan asal-usul mereka pada sebuah riwayat yang memberitakan bahwa mereka adalah keturunan orang-orang sayyid yang datang dari Pulau Jawa pada abad ke-6 Hijriyyah, yakni pada tahun 502 H/1109 M.

Mengakhiri kutipan berbagai komentar para sejarawan tentang awal penyebaran agama Islam di Nusantara, Prof. Husen Jayadiningrat, pakar sejarah Indonesia tempo dulu, di dalam majalah Bahasa dan Budaya, menunjuk pada ensiklopedia yang disusun oleh Snouck, yang diantaranya disebutkan komentar Prof. Abdul Mun’im al-‘Adwiy di dalam majalah al-A’rab, yang terbit di Karachi (Pakistan), mengatakan: “Kita mempunyai kenangan indah tentang saudara-saudara kita orang Hadhramaut dan Yaman yang telah memasukkan agama Islam ke Indonesia, Malaysia, Thailand dan negeri-negeri di kawasan Timur Jauh lainnya. Mereka telah meninggalkan berbagai pusaka yang baik di Kerajaan Ashifiyah, Malabar dan di Kitiyawara.”

f. Menyoal “Berita” dari Klenteng Sam Po Kong

Di mata para pemerhati sejarah, rupanya tak terlalu sulit melihat berbagai sisi lemah pada wacana sejarah yang mencoba memunculkan bahwa Walisanga adalah keturunan Tionghoa. Semua berita tentang hal itu, sebagaimana yang saat ini banyak beredar di internet, dikutip dari buku karangan Slamet Muljana, berjudul Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Nagara2 Islam di Nusantara.

Salah satu sumber berita untuk penulisan buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Nagara2 Islam di Nusantara karangan Muljana adalah berita dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang. Berita ini terdapat dalam buku Tuanku Rao. Judul selengkapnya buku Tuanku Rao adalah Pong-kinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak 1816-1833. Buku itu disusun oleh Mangaraja Onggang Parlindungan.

Buku Tuanku Rao juga memuat 34 lampiran. Satu diantaranya yaitu lampiran XXXI, yang dipakai oleh Muljana men sumber utama penulisan bukunya. Sumber-sumber lain juga disebutkan untuk bahan penulisan bukunya itu, seperti Babad Tanah Jawi, Serat Kanda dan berita Portugis. Khusus untuk tesis dan teorinya yang berintikan “Bong Swi Hoo ‘alias Sunan Ampel’ aktor intelektual runtuhnya kerajaan Majapahit dan surutnya agama Hindu di Jawa”, sumber utamanya adalah Lampiran XXXI.

Lampiran XXXI dalam buku Tuanku Rao ini diberi judul Peranan Orang-orang Tionghoa Islam/Hanafi dalam Perkembangan Agama Islam di Pulau Jawa 1411-1514.Lampiran itu berisi uraian tentang Sinologi, Jin Bun mendirikan Kesultanan Demak, 1475-1518 (yang oleh Muljana disebut sebagai sumber “Berita dari Klenteng Sam Po Kong di Semarang”), dan Sam Cai Kong di Kesultanan Cirebon, 1552-1585.

Uraian Muljana tentang Sinologi menyebutkan, dengan merujuk bab 8, Parlindungan menyatakan bahwa pengaruh orang-orang Tionghoa muslim/Hanafi amat besar dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara, baik pada zaman Dinasti Ming (1368-1645) maupun pada waktu Laksamana Haji Sam Po Bo (1405-1425).

Peranan tersebut antara lain dapat dipelajari dari buku Ying Yai Seng Lan, karangan Haji Mah Hwang, pada tahun 1416, dan buku Tsing Tsa Sheng Lan, karangan Haji Feh Tsing, pada tahun 1431, dan sangat banyak lagi buku serupa itu karangan beberapa haji orang Tionghoa. Untuk dapat mempelajari buku-buku itu seperti Groeneveld pada tahun 1874, tentu perlu terlebih dahulu mempelajari tulisan Tionghoa dalam bahasa Tionghwa, cabang pengetahuan yang disebut Sinologi.

Residen Poortman bukan saja Batakkenner (ahli tentang Batak), akan tetapi ia pada waktu PD I (1914-1918) juga ditugasi, dengan belajar sendiri, menjadi ahli tentang Cina (Sinologi). Ia bertugas mempersiapkan apa yang disebut “Bahagian Pengawasan Aliran-aliran di Dalam Masyarakat Tionghoa”, sebagai salah satu bagian dalam PID, dinas penyeledik kerajaan Hindia Belanda. Untuk itu, agar memperoleh dua burung dalam satu lemparan batu, ia menggunakan buku-buku Ying Yai Seng Lan danTsing Tsa Sheng Lan sebagai bahan bacaan dan belajar bahasa serta tulisan Tionghoa kepada kapten Cina di mana saja ia bertugas.

g. Sang “Detektif Sejarah”

Disebutkan dalam buku Tuanku Rao, pada tahun 1928, pemerintah kolonial Belanda menugasi Residen Poortman untuk menyelidiki apakah benar bahwa Raden Patah, sultan Demak yang pertama, adalah orang Tionghoa. Sekalipun kemungkinan itu ditolak oleh Prof. Schrieke, demikian pula Dr. Hamka di dalam bukunya, Sejarah Umat Islam, orang-orang Tionghoa di Semarang yakin bahwa sultan Demak yang pertama adalah orang Tionghoa yang bernama “Jin Bun”. Orang-orang Jawa pun mengetahui nama “Pangeran Jinbun” alias Raden Patah, yang dikenal sebagai keturunan raja Majapahit.

Residen Poortman selaku otodidak Sinologi mengerti bahwa Jin Bun di dalam bahasa Tionghoa dialek Yunan berarti “orang kuat”. Poortman, sebagai detektif sejarah yang berpengalaman dan yang sudah berhasil memecahkan soal mitos dinasti Iskandar Zulkarnain, masih juga harus berpikir panjang. Bagaimana mendapatkan sumber perihal Jin Bun, orang kuat tersebut, karena, di dalam annals (rekaman kejadian) Tongkok dari Dinasti Ming, nama “Jin Bun” sama sekali tak disebutkan.

Poortman merasa mendapatkan apa yang dicarinya saat ia pergi ke Semarang. Dalam suasana pemberontakan orang-orang komunis, pada tahun 1928, dengan bantuan polisi ia menggeledah semua tempat di dalam Klenteng Sam Po Kong. Tulisan-tulisan Tionghoa yang disimpan di dalamnya sejak 400-500 tahun, sebanyak tiga cikar (kereta beroda), seluruhnya disita. Semuanya merupakan sumber perihal Jin Bun, yang tidak diduga oleh siapa pun. Parlindungan memuji Poortman selaku detektif sejarah yang pandai.

Hasil temuan Poortman ditulis dalam bentuk kronik atau annals, yaitu Annals Klenteng Sam Po Kong Semarang, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kronik Sam Po Kong, yang intinya memuat dua hal: pertama, armada Tiongkok Dinasti Ming, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Andalas, dan yang kedua, interaksi dan konflik agama di Indonesia abad XIII-XV. Dari muatan berita yang terkandung dalam kronik itu pula didapat nama-nama Cina pada pribadi-pribadi Walisanga.

h. Refleksi dan Visi Parlindungan

Dari Kronik Sam Po Kong dan enam lampiran pembandingnya (dalam buku Tuanku Rao) dapat ditemukan beberapa persamaan. Persamaan itu dapat menjadi petunjuk bahwa sumber penyusunan kronik Sam Po Kong mustahil tak ada hubungannya dengan lampiran-lampiran lainnya. Sulit diterima bahwa kronik Sam Po Kong tersebut hanya berasal dari satu sumber, yaitu Residen Poortman, seperti yang dikemukan oleh Parlindungan. Hampir dapat dipastikan, kronik Sam Po Kong merupakan hasil kreasi Parlindungan sendiri dengan menggunakan variasi bahan dari empat sumber, sebagaimana ada disebutkan dalam bukunya tersebut. Keempat orang itu adalah Willem Iskandar, Guru Batak, Sutan Martua Raja, dan Residen Poortman, apabila yang disebut terakhir ini memang ada.

Sangat mungkin kronik Sam Po Kong dan lampiran-lampiran lain justru merupakan refleksi Parlindungan sendiri dengan mengatasnamakan Residen Poortman. Refleksi tersebut mengantarkan kepada visinya yang sebenarnya tentang agama Islam, agama Hindu, dan Majapahit.

Sebagai bukti awal, dapat disebutkan salah satu dari lampiran pembanding, yaitu Lampiran XXVI, yang diberi judul Hypothese Sam Suparlin. Sam Suparlin adalah nama samaran Parlindungan sendiri. Selain Lampiran XXVI juga lampiran XXXII: Penutup, yang berisi kesimpulan penting dari lampiran I-XXXI, yang isinya merupakan pembenaran atas Theorema Sam Suparlin.

Apabila Lampiran XXVI dan XXVII dibaca dengan cermat, akan didapat beberapa ungkapan yang dapat diperkirakan berasal dari Parlindungan sendiri. Visi yang paling menonjol ialah berkenaan dengan agama Hindu, agama Islam, dan Majapahit, yang terefleksi secara tersurat dan tersirat ke dalam Kronik Sam Po Kong.

Berbagai sinyalemen yang terlihat dari kalimat-kalimat yang dimunculkan dalam buku Tuanku Rao menjadi petunjuk yang jelas bahwa Parlindungan sangat tidak menyukai Kerajaan Majapahit dengan tokoh utamanya Gajah Mada, begitu juga terhadap agama Hindu, dan teramat fanatik terhadap Madzhab Hanafi, yang memang banyak tersebar di kawasan Cina Daratan.

Dengan data-data substansial yang terungkap di atas, Kronik Sam Po Kong adalah rekayasa Parlindungan sendiri. Salah satu alasan untuk meragukan kronik Sam Po Kong adalah bahwa kronik itu berasal dari prasaran Residen Poortman.

i. Sosok Poortman

Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa Walisanga berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui sumber akademis yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk pada tulisan Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk pada Residen Poortman.

Namun, Residen Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.

Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia, yaitu Martin van Bruinessen, yang karyanya diakui sangat mendetail dan banyak dijadikan referensi, bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya.

Poortman, menurut Parlindungan, adalah tokoh yang telah menulis prasaran tentang Raden Patah, sultan Demak yang pertama, adalah orang Tionghoa. Prasaran ditulis untuk pemerintah Hindia Belanda dengan sifat rahasia. Prasaran itu oleh Parlindungan dijadikan kelengkapan isi buku Tuanku Rao. Prasaran itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan dituangkan menjadi Lampiran XXXI.

Poortman, menurut Parlindungan lagi, pernah mengemban berbagai jabatan di Hindia Belanda. Terakhir ia menjabat residen di berbagai tempat. Dalam kapasitas sebagai residen, yang mempunyai wewenang terhadap PID, ia menggeledah Klenteng Sam Po Kong di Semarang, yang di dalamnya berisi dokumen tentang Raden Patah. Dokumen itu menjadi bahan untuk penulisan prasaran yang oleh Muljana disebut sebagai berita Sam Po Kong. Poortman juga disebut sebagai murid Snouck Hurgronje dan guru Van Leur.

Benarkah, dalam konteks ini, ada tokoh yang bernama “Poortman”? Dalam ulasannya atas buku Chinese Muslim in Java in the 15th centuries: The Malay Annals of Semarang and Cerbon, karya H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, M.C. Ricklefs, seorang sejarawan Belanda, menyatakan, para sarjana Belanda telah berusaha untuk mengidentifikasi orang Belanda yang dimaksud (Poortman), yang diuraikan secara mendetail oleh Parlindungan (hlm. 424-435 buku Tuanku Rao), tapi ternyata tidak membawa hasil.

Begitupun Russell Jones, juga seorang sejarawan Belanda, yang juga mengulas buku yang sama, ia meragukan pula ihwal keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya dapat dengan mudah dibuktikan, mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam tulisan Parlindungan.

Sementara itu Amen Budiman, dalam Dokumen Sejarah Klenteng Tay Kak Si Semarang, menyebutkan, seorang orientalis Prancis bernama Danys Lombard merasa tertarik dengan “prasaran Residen Poortman” yang disebut-sebut dalam buku Parlindungan dan Slamet Muljana dan telah berusaha mencarinya di negeri Belanda. Namun hasilnya nihil. Malah putra Poortman sendiri yang ada di Belanda diberitakan sama sekali tidak tahu dengan prasaran ayahnya berdasarkan dokumen Sam Po Kong itu.

Dari komentar dan penilaian di atas, dapat ditarik kesimpulan, nama Poortman di Nederland boleh jadi memang ada. Tetapi Poortman yang disebut sebagai residen di Hindia Belanda atau pejabat tinggi pemerintah kolonial Hindia Belanda, murid Snouck Hurgronje, dan guru Van Leur, ternyata tidak ditemukan.

j. Buku Tuanku Rao

Kedua buku tersebut, yakni Tuanku Rao dan Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara, merupakan deripasi gagasan dari prasaran Poortman atau yang disebut Kronik Sam Po Kong.

Buku Tuanku Rao, karangan Parlindungan, cukup tebal, jumlah halamannya mencapai 691. buku ini diterbitkan oleh penerbit Tanjung Pengharapan, tetapi tanpa kejelasan tempat dan tahun terbitnya.

Parlindungan mengaku sebagai ahli bom tarik berpangkat letnan kolonel, purnawirawan Angkatan Darat. Pada masa perang kemerdekaan, ia bertugas di hutan-hutan Jawa Timur dengan nama samaran Sam Suparlin.

Tanggapan terhadap buku Tuanku Rao antara lain datang dari Hamka, karena memang namanya paling banyak disebut dalam buku itu. Penyebutan nama Hamka terkait dengan kritik terhadap historiografi Islam di Indonesia, terutama Minangkabau. Menurut Hamka, buku Tuanku Rao banyak memuat soal-soal sejarah yang menarik hati, karena banyak keterangan yang ganjil yang belum didapat sedikit pun dalam sejarah atau catatan lain.

Hamka kemudian menerbitkan bukunya yang berjudul Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, Bantahan terhadap Tulisan Ir. Mangaradja Onggang Parlindungan dalam Bukunya Tuanku Rao, setebal 363 halaman. Ia menegaskan, setelah mempelajari buku Tuanku Rao itu dengan sangat seksama, ternyata lebih kurang 80% isinya tidak benar, atau dusta.

Buku karangan Parlindungan itu telah diketahui De Graaf dan Pigeaud sejak keduanya menulis De Eesrste Muslimse Vorstendommen op Java tahun 1974. Namun buku Parlindungan itu tidak dielaborasi dalam buku De eerste, karena, menurut penilaian keduanya, sebagaimana disebutkan dalam pengantar buku itu sendiri, tidak ada hal-hal yang perlu dikutip dari buku itu dan buku Parlindungan itu masih perlu diteliti secara kritis.

k. Buku Karya Muljana

Sementara itu, buku karangan Muljana, berjudul Runtuhnya Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara2 Islam di Nusantara, diterbitkan oleh Penerbit Bhratara Jakarta. Buku tersebut berisi sembilan bab dengan kata pengantar sebanyak sembilan halaman, tanpa bab penutup atau kesimpulan, dan tanpa indeks.

Buku itu lumayan tebal, 272 halaman, berisi tentang: Daftar Urutan Raja-raja Majapahit, Sumber Berita, Identifikasi Tokoh-tokoh dan Jalannya Sejarah, Negara Islam di Wilayah Nusantara, Aliran Agama Islam di Asia Tenggara, Kemerosotan Kerajaan Majapahit, Pembentukan Negara Islam Demak, Kesultanan Demak, Perebutan Dagang Lada, dan Selat Malaka.

Sebagai seorang pemerhati dan penulis sejarah Majapahit yang intens, Muljana dihadapkan pada kesulitan mengurai benang kusut urutan raja-raja yang memerintah para periode Majapahit akhir, karena, baik Babad Tanah Jawi, Pararaton, maupun Serat Kanda ternyata tidak dapat memberikan gambaran yang jelas.

Terbitnya buku Tuanku Rao yang memuat Lampiran XXXI yang disebut sebagai Kronik Sam Po Kong, oleh Muljana dianggap berguna sekali untuk mengetahui sampai di mana Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda dapat dipercaya sebagai sumber sejarah. Kronik itu dinilai oleh Muljana sebagai sumbangan yang besar dalam usaha menerangi masa keruntuhan Kerajaan Majapahit.

Dalam sebuah artikelnya yang mengomentari terbitnya buku Muljana tersebut, Muhammad Ali menilai, kelemahan umum buku Muljana adalah, sebagai karya ilmiah, ia hampir tak menyebutkan sumber atau daftar kepustakaan. Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Djawa, seluruh argumentasinya berkisar pada naskah-naskah misterius yang konon berasal dari Klenteng Sam Po Kong Semarang dan klenteng di Cirebon.

Muljana menggunakan sumber yang sudah dua kali berpindah tangan dari Poortman yang membuat prasaran, dari prasaran itu dibuat catatan oleh Parlindungan. Atas sumber yang sangat meragukan ini lalu ia bangun teori-teori yang menggemparkan. Apalagi kalau diketahui bahwa, tak lama setelah buku itu terbit, seorang sarjana orientalis Barat berusaha menemukan apa yang disebut prasaran Poortman di dalam arsip-arsip Belanda tapi ternyata upaya itu sia-sia.

Hamka menilai, Muljana telah menjadi korban buku Tuanku Rao. Namun tidak hanya Muljana yang disesatkan oleh buku itu, melainkan juga sarjana-sarjana yang baru lulus dan haus fakta-fakta baru dalam sejarah tetapi tidak cukup bekal untuk melakukan penelitian.

Sementara itu, Sartono Kartodirdjo, guru besar ilmu sejarah pada Universitas Gajah Mada dan Universitas Indonesia, dalam suatu wawancaranya yang dimuat Harian Sinar Harapan edisi Jakarta 11 Otober 1971, menyampaikan tanggapannya terhadap buku karya Muljana tersebut. Diantaranya, buku karangan Muljana telah menyajikan suatu teori sejarah dengan metodologi yang salah. Ini suatu kemalangan yang menyedihkan sekali.

Kartodirdjo juga mengatakan, buku tersebut adalah contoh “bagaimana seharusnya sebuah karya sejarah tidak ditulis”.

(Disadur dari buku karya Sjamsudduha berjudul Sejarah Sunan Ampel).
Sumber : Sya'roni As Samfuriy 


SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: