Ad 468 X 60

.

Thursday, July 18, 2013

Widgets

Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam : Siapa Berdusta Atas Nama Salaf (Bagian 1)

Siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula yang sebenarnya berdusta atas nama salaf? Perbincangan tentang hukum mendirikan masjid di atas makam, atau shalat di masjid yang terdapat makam di dalamnya, apakah diperbolehkan, se­perti yang berlaku dalam amalan salaf maupun khalaf, baik dari belahan bumi timur maupun barat, ataukah terlarang, se­perti yang termasyhur sebagai pen­dapat kaum Wahabi dan se­mua kalang­an yang membenarkan dan meni­lai ba­gus pen­dapat mereka, belakangan marak diper­bincangkan. Awalnya, perbincangan itu bermula dari beredarnya sejumlah tulisan di internet yang menuduh Habib Munzir Almusawa, pengasuh Majelis Rasulullah SAW, berdusta atas nama Imam Syafi’i dan Imam Ibnu Hajar dan kesalahan Habib Munzir dalam menerjemahkan perkataan Imam Baidhawi, serta banyak lagi tuduhan lainnya, terkait boleh-tidaknya mendirikan bangunan di atas makam, shalat menghadap kuburan, dan sebagainya. Tak tanggung-tanggung, tulisan-tu­lisan itu menempatkan kata-kata tu­duhannya pada Habib Munzir langsung dalam judul-judulnya. Sebut saja, di an­tara judul-judul tulisannya tersebut, ”Habib Munzir
berdusta atas nama Imam Syafi’i”, ”Habib Munzir berdusta atas nama Imam Ibnu Hajar”, ”Habib Munzir sa­lah dalam menerjemahkan perkataan Al-Baidhawi”. Belakangan, tulisan itu dikompilasi menjadi sebuah buku yang diterbitkan dengan judul Ketika Sang Habib Dikritik. Umat Islam di Nusantara ini, yang mayoritas beraqidahkan Ahlussunnah wal Jama’ah, yang selama ini memiliki keyakinan yang selaras sebagaimana yang dituturkan Habib Munzir Almusawa dalam bukunya Kenalilah Aqidahmu, tampak bereaksi. Tak lama kemudian bermunculan pula tulisan-tulisan yang menangkis tuduhan Firanda, sekaligus menyanggah pendapat-pendapat Firan­da, yang justru mengatasnamakan para salaf, seperti Imam Syafi’i, Imam Na­wawi, Ibnu Hajar, Al-Baidhawi, dan yang lain-lainnya, dalam pendapat-pendapat­nya yang berseberangan pandangan de­ngan kebanyakan pandangan dan ke­yakinan umat Islam di Nusantara, bah­kan di dunia. Pendapat Imam Syafi’i Sebagian orang berpendapat, me­ngubur­kan seseorang di samping atau di depan masjid adalah haram. Mereka katakan juga, shalat di masjid yang meng­hadap kubur adalah haram dan ti­dak sah. Kubur, menurut mereka, tidak bo­leh ditinggikan ataupun ditembok se­cara muthlaq, dan haram menjadikan kubur sebagai masjid. Mengenai hal ini, para imam terda­hulu yang shalih telah menjelaskan dan berfatwa akan hukum-hukumnya. Dan para imam terdahulu yang shalih itu tidak berpendapat seperti yang sebagian orang katakan di atas. Termasuk Imam Syafi’i sendiri tidaklah berpendapat se­bagai­mana yang dituturkan oleh Firanda dalam tulisan-tulisannya. Sekarang kita simak pendapat Imam Syafi’i sendiri dalam kitabnya, Al-Umm, juz 1 halaman 92, “Dan pekuburan ada­lah tempat penguburan untuk umum. De­mikian itu sebagaimana aku telah sifat­kan, yaitu bercampur dengan mayat-ma­yat. Adapun padang sahara, tidak ada satu pun kuburan di dalamnya yang, jika suatu kaum kematian seseorang, kemu­dian tidak diaduk kuburan tersebut, se­andainya ia shalat di samping kuburan ter­sebut atau di atasnya, aku meng­hu­kuminya makruh dan aku tidak memerin­tahkannya untuk mengulangi shalatnya, karena diketahui benar bahwa tanah itu suci tidak bercampur sedikit pun dengan sesuatu, demikian juga seandainya di­kuburkan dua atau beberapa mayat di dalamnya.” Cukup jelas nash imam Syafi’i ter­sebut memberikan faidah makna bahwa pekuburan yang tergali adalah najis dan tidak sah shalat di dalamnya. Adapun pekuburan yang tidak tergali, hukumnya suci dan shalat di dalamnya hukumnya sah. Demikian juga ia mengembalikan illat-nya (sebab pelarangan) pada di­khawatirkannya najis: jika najisnya hi­lang, hilanglah pula hukum kemakruhan­nya. Imam Syafi’i rahimahullah mengata­kan, “Makruh memuliakan seseorang hing­ga menjadikan kuburnya sebagai masjid, karena ditakutkan fitnah atas orang itu atau atas orang lain.” Dikata­kan, “Dan hal yang tak diperbolehkan ada­lah membangun masjid di atas kubur setelah jenazah dikuburkan. Namun bila membangun masjid lalu membuat di de­katnya kubur untuk pewaqafnya atau yang lainnya, tak ada larangannya.” (Faydh al-Qadir V: 274). Imam Syafi’i menjelaskan, makruh me­muliakan seseorang hingga menjadi­kan kuburnya sebagai masjid. Imam Sya­fi’i tidak mengharamkan memuliakan se­seorang hingga membangun kubur­nya men­jadi masjid, namun beliau me­ngata­kannya makruh. Hal ini karena di­takutkan mendatangkan fitnah. Dijelas­kan bahwa hal yang dibahas adalah mem­bangun masjid di atas kubur sete­lah jenazah di­kubur. Namun bila mem­bangun masjid, lalu membuat kubur di de­katnya, itu tidak apa-apa. Tidak mak­ruh, tidak pula haram. Imam Syafi’i dan para sahabatnya sepakat akan makruhnya membangun mas­jid di atas kubur, baik mayyitnya orang yang termasyhur dengan kesha­lih­annya maupun yang lainnya, karena keumuman haditsnya. Berpendapat pula Imam Syafi’i dan para sahabatnya: Dan makruh shalat menghadap kubur, baik ke mayyit yang shalih maupun yang lain­nya (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab V: 316, Darul Fikr). Sebagian orang membantah dengan menggunakan kelanjutan dari kata-kata dalam Faydh al-Qadir di atas yang berasal dari Az-Zain Al-‘Iraqi, “Zhahirnya bahwa­sanya tidak ada perbedaan jika dia mem­bangun masjid dengan niat un­tuk dikubur­kan di sebagian masjid, maka termasuk dalam laknat. Bahkan hukum­nya haram jika dikubur di dalam masjid. Jika ia mem­persyaratkan untuk dikubur di dalam mas­jid, persyaratan tersebut tidak sah, karena bertentangan dengan kosekuensi waqaf masjidnya.” (Faydh al-Qadir V: 274). Perkataan Al-‘Iraqi ini sama sekali tidak menentangi perkataan sebelum­nya. Al-‘Iraqi menjelaskan ihwal memba­ngun masjid dengan niat jika ia wafat ia min­ta dikuburkan di tanah waqaf terse­but. Maka syarat yang ia utarakan itu ti­dak sah. Karena, ketika seseorang me­waqafkan hartanya, berhentilah ia dari me­milikinya dan memanfaatkannya un­tuk kepenting­an pribadi. (Bersambung)

Sumber : http://www.majalah-alkisah.com/

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: