Ad 468 X 60

.

Thursday, July 18, 2013

Widgets

Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam : Siapa Berdusta Atas Nama Salaf (Bagian 2)

Siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula yang sebenarnya berdusta atas nama salaf?

Kedudukannya terhadap tanah yang ia waqafkan sama dengan kedudukan orang lain terhadap tanah tersebut. Ke­tika orang lain berhak shalat di atasnya, ia juga berhak shalat di atasnya. Ketika tanah itu kemudian sebagiannya dijadi­kan kuburan, ia pun berhak dikubur di situ sesuai ketentuan yang berlaku bagi orang lain. Jadi, ini adalah berkenaan niat waqaf. Seperti biasanya, mereka gagal me­mahami perkataan para imam.

Kemudian, shalat di atas kubur tidak­lah merusak shalat. Sayyidina Umar pernah me­lihat Anas shalat di atas kubur. Lalu Umar ber­kata, “Al-qabr, al-qabr! (Ku­bur­an, kubur­an!).” Namun Anas RA me­nyangka bahwa Umar berkata, “Al-qamar! (Bu­lan!)” Maka ketika ia mengerti bahwa yang dimaksud adalah “Al-qabr”, ia pun melangkah, lalu meneruskan sha­latnya. Dan Umar tak me­nyuruh Anas meng­­ulangi shalatnya (Lihat Fathul Bari libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379).
Dan perkataannya “Dan tidak me­nyu­ruhnya mengulangi (shalat)” me­rupa­kan istinbath (konklusi hukum) dari me­ne­rus­kannya Anas akan shalat. Andai­kan yang demikian itu merusak shalat­nya, tentu di­putus shalatnya dan mengu­langinya dari semula (Fathul Bari libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379).

Dalam kaidah ushul fiqh di sebutkan, “Pelarangan menunjukkan atas rusak­nya perbuatan yang dilarang, baik be­rupa per­kara ibadah maupun mu’ama­lah.” Misal­nya, larangan shalat dan puasa bagi wa­nita yang haidh dan nifas. Maka jika shalat tetap dilakukan, shalat­nya rusak. Demi­kian pula jika hadits sha­lat menghadap kuburan atau shalat di sisi kuburan adalah sebuah larangan ke­haraman, sudah pasti shalatnya itu pun rusak dan batal. Tapi sa­habat Anas bin Malik tidak mengulangi shalatnya, itu artinya shalatnya sahabat Anas sah dan tidak rusak.

Kemudian, mengenai meninggikan ku­­bur dan menyemen kubur, sebagian orang berkata bahwa hal itu tidak boleh secara muthlaq. Mereka menukil per­kataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, “Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan tanah pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah tanah pasir dari selain (galian) kuburan, jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikkan di atas tanah seukuran sejengkal atau yang se­mi­salnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak di­kapur, karena hal itu menyerupai per­hiasan dan kesom­bongan, dan kematian bukanlah tempat salah satu dari kedua­nya, dan aku tidak me­lihat kuburan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dikapuri.” (Al-Umm I: 316, Darul Ma’rifah, Beirut).

Mari kita lihat kelanjutannya, “Ber­kata seorang rawi dari Thawus, ’Sesung­guh­nya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasal­lam melarang membangun kubur atau mengapur.’ Imam Syafi’i berkata, ’Aku te­lah melihat salah satu gubernur yang meng­hancurkan (membongkar) ku­buran yang dibangun di Makkah dan tidak me­lihat para ulama mereka men­cela (meng­kritik) hal itu. Dan apabila ada­nya kubur­an-kuburan itu di tanah yang dimiliki oleh almarhum semasa hi­dup mereka atau ahli warisnya setelah ke­matian mereka, ti­dak ada suatu ba­ngunan pun yang di­hancurkan. Dan se­sungguhnya peng­han­cur­an (pembong­karan makam) itu apa­bila (tanah pema­kaman) tidak ada se­orang pun yang me­milikinya. Penghan­cur­an (pembongkar­an) itu dilakukan agar tak seorang pun dikuburkan di dalamnya, karena bukan tempat penguburan (umum)’.” (Al-Umm I: 316, Darul Ma’rifah, Beirut).

Maka jelaslah bahwa kubur yang tidak boleh dibangun atau ditembok itu adalah kubur yang ada di tanah bukan milik si mayyit semasa hidupnya atau milik ahli warisnya setelah ia wafat. Jika tanah itu adalah milik sendiri, tidaklah mengapa.

Jika suatu kubur dibangun, sedang­kan tanah itu bukan miliknya, mendirikan bangunan tertentu akan menghalangi je­nazah lain untuk dikubur di situ. Adapun jika tanahnya adalah miliknya, tidaklah mengapa.

Lalu bagaimana dengan tanah yang disewa untuk kubur? Selama masa sewa itu, tidak boleh dibongkar tanpa seizin yang menyewa.

Diperbolehkan bagi muslim atau kafir dzimmiy untuk berwasiat membangun Masjidil Aqsha, atau masjid lainnya, atau membangun kubur para nabi dan para shalihin untuk menghidupkan ziarah dan bertabarruk padanya (Rawdhah ath-Thalibin VI: 98).

Jelaslah, dibolehkan membangun ku­bur para nabi dan para shalihin demi ke­nyamanan para peziarah. Kecuali jika shalihin itu dikubur di pemakaman umum dan bukan di tanah miliknya sendiri atau ahli warisnya.

Pendapat Ibnu Hajar dan An-Nawawi

Dalam salah tulisannya, Firanda me­nuliskan: Ibnu Hajar Al-Haitami (salah se­orang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai mu­haqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) telah menjelaskan bah­wa pendapat yang menjadi patokan da­lam Madzhab Asy-Syafi’i adalah di­larang­nya membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin.

Dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya, ”Dan apa pendapat Anda – semoga Allah memperpanjang umar Anda dan mem­beri­kan kepada kami bagian dari keber­kahan Anda — tentang perkataan dua syaikh (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) da­lam (bab) janaa’iz, ’Dibencinya mem­bangun di atas kuburan’, akan tetapi me­reka ber­dua berkata dalam (bab) wasiat, ’Diboleh­kannya berwasiat untuk ’imaarah (bangunan) kuburan para ulama dan sha­lihin karena untuk meng­hidupkan zia­rah dan tabarruk dengan ku­buran terse­but.’ Maka apakah ini me­rupakan bentuk kontradiksi? Padahal Anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci.

Jika Anda mengatakan bahwa per­kata­an mereka berdua kontradiktif, ma­nakah yang raajih (yang lebih kuat)? Dan jika Anda mengatakan tidak ada kontra­diksi (dalam perkataan mereka berdua), bagaimana mengkompromikan dua per­kataan tersebut? (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubra 2/17).

Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab, ”Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patok­an -- sebagaimana yang ditegaskan (dipasti­kan) oleh An-Nawawi dalam (Al-Majmuu’) syarah Al-Muhadzdzab -- adalah di­haram­kannya membangun di kuburan yang musabbalah (yaitu peku­buran umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum). Maka jika di­bangun di atas pekuburan tersebut, dihancurkan. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan shalihin dan para ulama dengan kuburan selain me­reka. Dan pendapat yang terdapat di al-Khaadim (maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi,Khaadim Ar-Rafi’i wa Ar-Raudhah — wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini, lemah dan tidak dipandang. Betapa se­ring para ulama mengingkari para pem­bangun kubah (di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ’anhu dan kubah-ku­bah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (tentang dibencinya memba­ngun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran.

Yang dimaksud dengan musabbalah – sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain – yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri menjadikannya sebagai pekubur­an. Adapun pekuburan wakaf dan pe­kuburan pribadi tanpa izin pemilik­nya, di­haramkan membangun di atas dua pe­kuburan tersebut secara mutlhaq.

Jika telah jelas hal ini, pekuburan yang disebutkan oleh penanya, diharam­kan membangun di situ, dan haurs di­han­curkan apa yang telah dibangun, mes­kipun di atas (kuburan) orang shalih atau ulama.

Jadikanlah pendapat ini sebagai pa­tokan, dan jangan terpedaya dengan pen­dapat yang menyelisihinya (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubraa 2/17).

Asumsi Firanda yang menukil ucap­an Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di atas jelas ke­liru. Ia membuat kesimpulan yang salah, seakan Imam Ibnu Hajar melarang mem­bangun di atas kuburan para ulama dan shalihin. Benarkah Ibnu Hajar ber­pen­dapat seperti itu?

(Bersambung)

Sumber : http://www.majalah-alkisah.com/

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: