Thursday, July 18, 2013
Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam : Siapa Berdusta Atas Nama Salaf (Bagian 2)
Siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula yang sebenarnya berdusta atas nama salaf?Kedudukannya terhadap tanah yang ia waqafkan sama dengan kedudukan orang lain terhadap tanah tersebut. Ketika orang lain berhak shalat di atasnya, ia juga berhak shalat di atasnya. Ketika tanah itu kemudian sebagiannya dijadikan kuburan, ia pun berhak dikubur di situ sesuai ketentuan yang berlaku bagi orang lain. Jadi, ini adalah berkenaan niat waqaf. Seperti biasanya, mereka gagal memahami perkataan para imam.
Kemudian, shalat di atas kubur tidaklah merusak shalat. Sayyidina Umar pernah melihat Anas shalat di atas kubur. Lalu Umar berkata, “Al-qabr, al-qabr! (Kuburan, kuburan!).” Namun Anas RA menyangka bahwa Umar berkata, “Al-qamar! (Bulan!)” Maka ketika ia mengerti bahwa yang dimaksud adalah “Al-qabr”, ia pun melangkah, lalu meneruskan shalatnya. Dan Umar tak menyuruh Anas mengulangi shalatnya (Lihat Fathul Bari libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379).
Dan perkataannya “Dan tidak menyuruhnya mengulangi (shalat)” merupakan istinbath (konklusi hukum) dari meneruskannya Anas akan shalat. Andaikan yang demikian itu merusak shalatnya, tentu diputus shalatnya dan mengulanginya dari semula (Fathul Bari libni Hajar I: 524, Darul Ma’rifah, Beirut, 1379).
Dalam kaidah ushul fiqh di sebutkan, “Pelarangan menunjukkan atas rusaknya perbuatan yang dilarang, baik berupa perkara ibadah maupun mu’amalah.” Misalnya, larangan shalat dan puasa bagi wanita yang haidh dan nifas. Maka jika shalat tetap dilakukan, shalatnya rusak. Demikian pula jika hadits shalat menghadap kuburan atau shalat di sisi kuburan adalah sebuah larangan keharaman, sudah pasti shalatnya itu pun rusak dan batal. Tapi sahabat Anas bin Malik tidak mengulangi shalatnya, itu artinya shalatnya sahabat Anas sah dan tidak rusak.
Kemudian, mengenai meninggikan kubur dan menyemen kubur, sebagian orang berkata bahwa hal itu tidak boleh secara muthlaq. Mereka menukil perkataan Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm, “Aku suka jika kuburan tidak ditambah dengan tanah pasir dari selain (galian) kuburan itu sendiri. Dan tidak mengapa jika ditambah tanah pasir dari selain (galian) kuburan, jika ditambah tanah dari yang lain akan sangat tinggi. Akan tetapi aku suka jika kuburan dinaikkan di atas tanah seukuran sejengkal atau yang semisalnya. Dan aku suka jika kuburan tidak dibangun dan tidak dikapur, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan, dan kematian bukanlah tempat salah satu dari keduanya, dan aku tidak melihat kuburan kaum Muhajirin dan kaum Anshar dikapuri.” (Al-Umm I: 316, Darul Ma’rifah, Beirut).
Mari kita lihat kelanjutannya, “Berkata seorang rawi dari Thawus, ’Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alayhi Wasallam melarang membangun kubur atau mengapur.’ Imam Syafi’i berkata, ’Aku telah melihat salah satu gubernur yang menghancurkan (membongkar) kuburan yang dibangun di Makkah dan tidak melihat para ulama mereka mencela (mengkritik) hal itu. Dan apabila adanya kuburan-kuburan itu di tanah yang dimiliki oleh almarhum semasa hidup mereka atau ahli warisnya setelah kematian mereka, tidak ada suatu bangunan pun yang dihancurkan. Dan sesungguhnya penghancuran (pembongkaran makam) itu apabila (tanah pemakaman) tidak ada seorang pun yang memilikinya. Penghancuran (pembongkaran) itu dilakukan agar tak seorang pun dikuburkan di dalamnya, karena bukan tempat penguburan (umum)’.” (Al-Umm I: 316, Darul Ma’rifah, Beirut).
Maka jelaslah bahwa kubur yang tidak boleh dibangun atau ditembok itu adalah kubur yang ada di tanah bukan milik si mayyit semasa hidupnya atau milik ahli warisnya setelah ia wafat. Jika tanah itu adalah milik sendiri, tidaklah mengapa.
Jika suatu kubur dibangun, sedangkan tanah itu bukan miliknya, mendirikan bangunan tertentu akan menghalangi jenazah lain untuk dikubur di situ. Adapun jika tanahnya adalah miliknya, tidaklah mengapa.
Lalu bagaimana dengan tanah yang disewa untuk kubur? Selama masa sewa itu, tidak boleh dibongkar tanpa seizin yang menyewa.
Diperbolehkan bagi muslim atau kafir dzimmiy untuk berwasiat membangun Masjidil Aqsha, atau masjid lainnya, atau membangun kubur para nabi dan para shalihin untuk menghidupkan ziarah dan bertabarruk padanya (Rawdhah ath-Thalibin VI: 98).
Jelaslah, dibolehkan membangun kubur para nabi dan para shalihin demi kenyamanan para peziarah. Kecuali jika shalihin itu dikubur di pemakaman umum dan bukan di tanah miliknya sendiri atau ahli warisnya.
Pendapat Ibnu Hajar dan An-Nawawi
Dalam salah tulisannya, Firanda menuliskan: Ibnu Hajar Al-Haitami (salah seorang ulama besar dari madzhab As-Syafiiah yang dikenal juga sebagai muhaqqiq madzhab setelah zaman Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) telah menjelaskan bahwa pendapat yang menjadi patokan dalam Madzhab Asy-Syafi’i adalah dilarangnya membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin.
Dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Ibnu Hajar Al-Haitami ditanya, ”Dan apa pendapat Anda – semoga Allah memperpanjang umar Anda dan memberikan kepada kami bagian dari keberkahan Anda — tentang perkataan dua syaikh (Ar-Rafi’i dan An-Nawawi) dalam (bab) janaa’iz, ’Dibencinya membangun di atas kuburan’, akan tetapi mereka berdua berkata dalam (bab) wasiat, ’Dibolehkannya berwasiat untuk ’imaarah (bangunan) kuburan para ulama dan shalihin karena untuk menghidupkan ziarah dan tabarruk dengan kuburan tersebut.’ Maka apakah ini merupakan bentuk kontradiksi? Padahal Anda mengetahui bahwasanya wasiat tidak berlaku pada perkara yang dibenci.
Jika Anda mengatakan bahwa perkataan mereka berdua kontradiktif, manakah yang raajih (yang lebih kuat)? Dan jika Anda mengatakan tidak ada kontradiksi (dalam perkataan mereka berdua), bagaimana mengkompromikan dua perkataan tersebut? (Al-Fataawaa Al-Fiqhiyah Al-Kubra 2/17).
Maka Ibnu Hajr Al-Haitami Asy-Syafii rahimahullah menjawab, ”Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan -- sebagaimana yang ditegaskan (dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (Al-Majmuu’) syarah Al-Muhadzdzab -- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum). Maka jika dibangun di atas pekuburan tersebut, dihancurkan. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara kuburan shalihin dan para ulama dengan kuburan selain mereka. Dan pendapat yang terdapat di al-Khaadim (maksud Ibnu Hajar adalah sebuah kitab karya Az-Zarkasyi,Khaadim Ar-Rafi’i wa Ar-Raudhah — wallahu a’lam) yang menyelisihi hal ini, lemah dan tidak dipandang. Betapa sering para ulama mengingkari para pembangun kubah (di kuburan) Imam Asy-Syafii radhiallahu ’anhu dan kubah-kubah yang lain. Dan cukuplah penegasan para ulama (tentang dibencinya membangun di atas kuburan) dalam buku-buku mereka sebagai bentuk pengingkaran.
Yang dimaksud dengan musabbalah – sebagaimana yang dikatakan Al-Isnawiy dan yang ulama yang lain – yaitu lokasi yang biasanya penduduk negeri menjadikannya sebagai pekuburan. Adapun pekuburan wakaf dan pekuburan pribadi tanpa izin pemiliknya, diharamkan membangun di atas dua pekuburan tersebut secara mutlhaq.
Jika telah jelas hal ini, pekuburan yang disebutkan oleh penanya, diharamkan membangun di situ, dan haurs dihancurkan apa yang telah dibangun, meskipun di atas (kuburan) orang shalih atau ulama.
Jadikanlah pendapat ini sebagai patokan, dan jangan terpedaya dengan pendapat yang menyelisihinya (al-Fataawaa al-Fiqhiyah al-Kubraa 2/17).
Asumsi Firanda yang menukil ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di atas jelas keliru. Ia membuat kesimpulan yang salah, seakan Imam Ibnu Hajar melarang membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin. Benarkah Ibnu Hajar berpendapat seperti itu?
(Bersambung)
Sumber : http://www.majalah-alkisah.com/
Related Posts:
Hukum mendirikan masjid diatas makam mendirikan masjid di atas makam salaf
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: