Ad 468 X 60

.

Wednesday, July 31, 2013

Widgets

KHITAN

“Kesucian (fithrah) itu ada lima: khitan, men­cukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis, dan me­motong kuku.” (Muttafaq ‘Alaih). Khitan sebagai kata artinya al-qath’u, memotong. Sebagai istilah, qath’ul jaldah allati ta­kunu ‘alal farji minadz dzakari awil untsa, memotong kulit yang ada pada kemalu­an laki-laki atau perempuan. Dalam ba­hasa Arab, kata khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan, seperti dalam hadits yang mengatakan, “Apabila terjadi pertemuan dua khitan, telah wajib mandi.” (HR Muslim, Tirmidzi, dan lain-lain). Khitan sendiri sering dikenal sebagai sunat dalam bahasa Indonesia atau circumcisio dalam bahasa Latin. Dalam agama Islam, khitan merupa­kan salah satu media pensucian diri dan bukti ketundukan kepada ajaran agama. Dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, “Kesucian (fithrah) itu ada lima: khitan, men­cukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memendekkan kumis, dan me­motong kuku.” (Muttafaq ‘Alaih).

 Hukum Fiqih Khitan 

Dalam fiqih, hukum khitan dibedakan antara untuk lelaki dan perempuan. Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum khitan, baik untuk lelaki maupun perempuan. Menurut jumhur ulama, hukum khitan bagi lelaki adalah wajib. Para pendukung pendapat ini adalah Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian pengikut Imam Malik. Imam Hanafi mengatakan, khitan wajib tetapi tidak fardhu. Menurut riwayat yang populer dari Imam Malik, ia berpendapat bahwa khitan hukumnya sunnah. Begitu juga riwayat dari Imam Hanafi dan Hasan Al-Bashri, mengatakan sunnah. Namun bagi Imam Malik, sunnah kalau ditinggal­kan berdosa, karena menurut Madzhab Maliki sunnah adalah antara fardhu dan nadb (boleh). Ibnu Abi Musa dari ulama Hanbali juga mengatakan sunnah muak­kadah. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan, khitan bagi lelaki hukumnya wajib dan kemuliaan bagi pe­rempuan. Andaikan seorang lelaki de­wasa masuk Islam dan takut khitan, tidak wajib baginya. Sama dengan kewajiban wudhu dan mandi bisa gugur kalau di­takutkan membahayakan jiwa, maka khi­tan pun demikian. Dalil yang dijadikan landasan bahwa khitan tidak wajib adalah sebuah riwayat tentang Salman Al-Farisi ketika masuk Islam, tidak disuruh khitan; kemudian ha­dits yang menyebutkan khitan sebagai ba­gian dari rentetan amalan sunnah se­perti mencukur buku ketiak dan memen­dekkan kuku, maka logisnya khitan juga sunnah. Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan Syaddad bin Aus RA, Rasulullah SAW bersabda, “Khitan itu sunnah bagi lelaki dan diutamakan bagi perempuan.” Namun kata sunnah dalam hadits se­ring diungkapkan untuk tradisi dan ke­biasaan Rasulullah, baik yang wajib maupun bukan, sehingga kata khitan di hadits ini termasuk yang wajib. Adapun dalil-dalil yang dijadikan lan­dasan para ulama yang mengatakan khi­tan itu wajib adalah, pertama, hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda bahwa Nabi Ibrahim AS melaksanakan khitan ketika berumur 80 tahun, dan beliau khitan de­ngan menggunakan kapak (HR Al-Bukhari). Nabi Ibrahim melaksana­kan­nya ketika diperintahkan untuk khitan pa­dahal beliau sudah berumur 80 tahun. Ini menunjukkan betapa kuatnya perin­tah khitan. Kedua, kulit yang di depan alat ke­lamin terkena najis ketika kencing. Kalau tidak dikhitan, orang menyentuh najis di ba­dannya, sehingga shalatnya tidak sah. Shalat adalah ibadah wajib, segala se­suatu yang menjadi prasyarat shalat hu­kumnya juga wajib, sesuai kaidah Al-amr bisy syay-i amrun biwasa-ilihi (Perintah dengan sesuatu, perantaranya juga me­rupakan perintah). Ketiga, hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah SAW berkata ke­pada sahabat Kulaib, “Buanglah rambut kekafiran dan berkhitanlah.” Perintah Ra­sulullah SAW ini menunjukkan ke­wajiban. Keempat, dalil dengan pandangan qiyas (analogi) diperbolehkannya mem­buka aurat pada saat khitan, padahal membuka aurat adalah sesuatu yang di­larang, maka itu menunjukkan bahwa khi­tan wajib, karena tidak diperbolehkan sesuatu yang dilarang kecuali untuk se­suatu yang sangat kuat hukumnya, dan memotong anggota tubuh yang tidak bisa tumbuh kembali dan disertai rasa sakit tidak mungkin kecuali karena perkara wajib.

 Khitan Perempuan 

Hukum khitan bagi perempuan telah menjadi perbincangan para ulama. Se­bagian mengatakan sunnah tapi sebagi­an mengatakan keutamaan saja, dan tidak ada yang mengatakan wajib. Perbedaan pendapat para ulama se­putar hukum khitan bagi perempuan ter­sebut disebabkan riwayat hadits seputar khitan perempuan yang masih diper­ma­salahkan kekuatannya. Tidak ada hadits shahih yang men­je­laskan hukum khitan perempuan. Ibnu Mun­dzir mengatakan bahwa tidak ada hadits yang bisa dijadikan rujukan dalam ma­salah khitan perempuan dan tidak ada sunnah yang bisa dijadikan landas­an. Se­mua hadits yang meriwayatkan khitan pe­rempuan mempunyai sanad dhaif (lemah). Hadits paling populer tentang khitan perempuan adalah hadits Ummu ‘Athiy­yah RA, tatkala Rasulullah SAW bersab­da kepadanya, “Wahai Ummu Athiyyah, berkhitanlah dan jangan berlebihan, se­sungguhnya khitan lebih baik bagi pe­rempuan dan lebih menyenangkan bagi suaminya.” Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dan Al-Hakim dari Adh-Dhahhak bin Qais. Abu Dawud juga meriwayatkan ha­dits serupa, namun semua riwayatnya dhaif dan tidak ada yang kuat. Abu Dawud sendiri konon meriwayatkan ha­dits ini untuk menunjukkan kedhaifan­nya. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Talkhisul Khabir. Mengingat tidak ada hadits yang kuat tentang khitan perempuan ini, Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa sebagian ulama Syafi’iyah dan riwayat dari Imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada anjuran khitan bagi perempuan. Sebagian ulama mengatakan, pe­rempuan Timur (kawasan Semenanjung Arab) dianjurkan khitan; sedangkan pe­rempuan Barat dari kawasan Afrika tidak di­wajib­kan khitan, karena tidak mempu­nyai kulit yang perlu dipotong yang se­ring mengganggu atau menyebabkan keku­rangnyamanan perempuan itu sen­diri.

 Apa Yang Dipotong pada Perempuan?

Bila pada kaum lelaki bagian yang dikhitan adalah kulit yang menyelubungi ke­pala dzakar (qulfah dalam bahasa Arab atau praeputium glandis dalam ba­hasa Latin), pada kaum perempuan ber­beda. Imam Al-Mawardi mengatakan, khi­tan pada perempuan, yang dipotong ada­lah kulit yang berada di atas vagina yang berbentuk mirip jengger ayam. Yang dianjurkan adalah memotong sebagian kulit tersebut, bukan menghilangkannya secara keseluruhan. Imam An-Nawawi juga menjelaskan hal yang sama bahwa khitan pada pe­rempuan adalah memotong bagian ba­wah kulit lebih yang ada di atas vagina. Namun pada penerapannya banyak kesalahan dilakukan oleh umat Islam dalam melaksanakan khitan perempuan, yaitu dengan berlebih-lebihan dalam memotong bagian alat vital perempuan. Seperti yang dikutip Dr. Muhammad bin Luthfi As-Sabbagh dalam bukunya ten­tang khitan bahwa kesalahan fatal dalam melaksanakan khitan perempuan ba­nyak terjadi di masyarakat muslim Sudan dan Indonesia. Kesalahan tersebut beru­pa pemotongan tidak hanya kulit bagian atas alat vital perempuan, tapi juga me­motong hingga semua daging yang me­nonjol pada alat vital perempuan, ter­masuk clitoris, sehingga yang tersisa hanya saluran air kencing dan saluran rahim. Khitan model ini di masyarakat Arab di­kenal dengan sebutan “khitan Fir’aun”. Be­berapa kajian medis membuktikan bah­wa khitan seperti ini bisa menim­bul­kan dampak negatif bagi perempuan, baik secara kesehatan maupun psiko­logis, seperti menyebabkan perempuan tidak stabil dan mengurangi gairah sek­sualnya. Bahkan sebagian ahli medis menyatakan, khitan model ini juga bisa me­nyebabkan berbagai penyakit ke­lamin pada perempuan. Seandainya hadits tentang khitan pe­rempuan di atas kedudukannya shahih, di situ pun Rasulullah SAW melarang berlebih-lebihan dalam mengkhitan anak perempuan. Larangan dari Rasulullah SAW secara hukum bisa mengindikasi­kan keharaman tindakan tersebut. Apa­lagi bila terbukti bahwa berlebihan atau kesalahan dalam melaksanakan khitan perempuan bisa menimbulkan dampak ne­gatif, maka bisa dipastikan keharam­an tindakan tersebut. 

Waktu Khitan 

Waktu wajib khitan adalah pada saat menjelang baligh, karena pada saat itu­lah mulai wajib melaksanakan shalat. Tan­pa khitan, shalat tidak sempurna, se­bab suci yang yang merupakan syarat sah shalat tidak bisa terpenuhi. Adapun waktu sunnah adalah sebe­lum baligh. Sedangkan waktu ikhtiar (pi­lihan yang baik untuk dilaksanakan) ada­lah hari ketujuh atau 40 hari setelah ke­lahiran. Ada juga dianjurkan pada umur 7 tahun. Al-Qadhi Husain, pengarang Kifa­yatul Akhyar, mengatakan, sebaik­nya melakulan khitan pada umur 10 ta­hun, karena pada saat itu anak diperin­tah­kan shalat dengan ketegasan. Ibnu Mundzir mengatakan, khitan pada umur 7 hari hukumnya makruh, karena itu tra­disi Yahudi, namun ada riwayat bahwa Rasulullah SAW mengkhitan Hasan dan Husain pada umur 7 hari, begitu juga ko­non Nabi Ibrahim mengkhitan putranya, Ishaq, pada umur 7 hari. 

Pesta Khitan
 
Ibnu Hajar menukil pendapat Imam An-Nawawi dan Al-Qadhi ‘Iyadh bahwa walimah dalam tradisi Arab ada delapan jenis, yaitu Walimatul ‘Ursy untuk perni­kah­an, Walimatul I’dzar untuk meraya­kan khitan, Walimatul ‘Aqiqah untuk me­rayakan kelahiran anak, Walimatul Khurs untuk merayakan keselamatan perem­puan dari perceraian, yang konon juga di­gunakan untuk sebutan makanan yang diberikan saat kelahiran bayi, Walimah Naqi’ah untuk merayakan kedatangan se­seorang dari bepergian jauh, tapi yang menyediakan orang yang berpergian (ka­lau yang menyediakan orang yang di rumah disebut Walimatut Tuhfah), Wali­matul Waqirah untuk merayakan berdiri­nya rumah baru, Walimatul Wadhimah un­tuk merayakan keselamatan dari ben­cana, Walimatul Ma’dabah yaitu peraya­an yang dilakukan tanpa sebab tertentu, sekadar untuk menjamu sanak saudara dan handai tolan. Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Utsman bin Abi Al-‘Ash bahwa wali­mah khitan termasuk yang tidak dianjur­kan. Namun demikian secara eksplisit Imam An-Nawawi menegaskan, wali­mah khitan boleh dilaksanakan dan hu­kumnya sunnah memenuhi undangan se­perti undangan lainnya. 

Teknik Khitan 

Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, metode khitan juga meng­alami perkembangan. Bila dulu meng­gunakan bilah bambu tajam untuk me­mo­tongnya, metode sekarang yang pa­ling canggih menggunakan laser. Banyak teknik khitan, dan pemberian nama tiap teknik didasarkan atas alat dan teknik penyunatan yang dilakukan. Teknik paling tua adalah guillotine atau sayatan pancung. Lalu ada teknik dor­sumsisi, sayatan melingkar. Zhenxi cir­cumcision ring atau ross circumcision ring, metode cincin, yang mulai diper­kenalkan sejak 1942. Ada pula teknik double circular in­cision (sleeve resection /freehand cir­cumcision), sheldon, comco clamp, tek­nik mogen (meningkat penggunaannya di AS), teknik plestible, smart clamp (metode jepit dengan sejenis plastik disposable), tara clamp (metode jepit dengan sejenis plastik disposable), dan laser CO2 (yang sering digunakan sharplan CO2 medical laser), dan lain-lain. Teknik yang umum digunakan di Indo­nesia adalah dipotong mengguna­kan bistouri (pisau bedah) atau juga dikenal dengan cara konvensional, smart clamp, plestibel, tara clamp, dan cauter. Cara konvensional ini masih dianggap lebih baik dibanding electro cauter atau laser.

Manfaat Khitan
 
Seperti yang diungkapkan para ahli kedokteran, khitan juga mempunyai fae­dah bagi kesehatan, karena membuang anggota tubuh yang yang menjadi tem­pat persembunyian kotoran, virus, najis, dan bau yang tidak sedap. Air kencing mengandung semua un­sur tersebut. Ketika keluar melewati kulit yang menutupi alat kelamin, endapan kotoran sebagian tertahan oleh kulit ter­sebut. Semakin lama endapan tersebut semakin banyak. Bisa dibayangkan, be­rapa lama seseorang melakukan ken­cing dalam sehari dan berapa banyak en­dapan yang disimpan oleh kulit pe­nutup kelamin dalam setahun. Oleh ka­renanya beberapa penelitian medis mem­buktikan bahwa penderita penyakit kelamin lebih banyak dari kalangan yang tidak dikhitan. Begitu pun penderita pe­nyakit berbahaya AIDS, kanker kelamin, dan bahkan kanker rahim, juga lebih ba­nyak diderita oleh pasangan yang tidak di­khitan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan nonmuslim di Eropa dan AS me­lakukan khitan. Khitan bermanfaat untuk menjaga ke­bersihan organ penis. Setelah khitan, akan menjadi lebih mudah untuk mem­bersihkan kotoran putih (smegma), yang sering berada di leher penis. Bahkan pada 2006 lalu sebuah penelitian me­nunjukkan, pria yang dikhitan terbukti jarang tertular infeksi melalui hubungan seksual dibanding yang tidak khitan. Penelitian yang dimuat dalam jurnal Pediatrics terbitan November 2006 itu me­nunjukkan, khitan ternyata bisa me­ng­urangi risiko tertular dan menyebar­kan infeksi sampai sekitar 50 persen, dan merekomendasikan khitan bagi bayi yang baru lahir, mengingat manfaatnya bagi kesehatan. Dalam konferensi in­ter­nasional ke-25 tentang AIDS di Bang­kok, juga dipaparkan hasil penelitian bahwa khitan bisa mengurangi tingkat HIV (virus penyebab AIDS), sipilis, dan borok pada alat kelamin.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: