Ad 468 X 60

.

Friday, July 26, 2013

Widgets

Kisah para Hafizh : Menuai Berkah dari Al-Qur’an (Bagian 2/Tamat)

Mereka adalah orang-orang yang ditunggu-tunggu doanya, karena doa mereka mengandung keberkahan.
Syaikh Ali Shalih Muhammad Al-Jabir

Nama Syaikh Ali Shalih Muhammad Al-Jabir mungkin tak asing lagi di telinga kita. Dai muda yang tengah naik daun ini lahir di Madinah Al-Munawwarah pada 3 Shafar 1396 H/3 Februari 1976 M.

Keluarganya adalah keluarga Al-Qur’an. Ayahnya adalah penerus para imam di Masjid Nabawi, yang dikenal sejak lampau. Orangtua serta adik-adik­nya hidup di tengah-tengah lingkungan yang sangat mendukung untuk meng­hafal Al-Qur’an dan mengkaji ilmu-ilmu keislaman.
Syaikh Ali kecil menempa dirinya da­lam hafalan Al-Qur’an di Masjid Nabawi di hadapan para gurunya secara talaqqi(mengaji langsung). Ia pun merasakan adanya bimbingan Rasulullah SAW ber-mulazamah (membaca rutin) Al-Qur’an di masjid yang di­bangun Nabi itu. Untuk segi hafalan, Syaikh Ali telah mengua­sai­nya se­banyak 30 juz sejak usia belasan tahun.

Guru-guru yang menempa dirinya antara lain Syaikh Abdul Bari As-Subaity (imam Masjid Nabawi, sebelumnya imam Masjidil Haram), Syaikh Khalilur­rahman (ulama Al-Qur’an Madinah dan ahli qiraat), Prof. Dr. Syaikh Abdul Azis Al-Qari’ (ketua Majelis Ulama Per­cetak­an Al-Qur’an Madinah dan imam Masjid Quba), Syaikh Sa’id Adam (ketua Pe­ngu­rus Makam Rasulullah SAW dan pemegang kunci Makam Rasulullah SAW), Syaikh Muhammad Ramadhan (ketua Majelis Tahfizhul Qur’an di Masjid Nabawi), Syaikh Muhammad Husain Al-Qari’ (ketua Ulama Ahli Qira’at di Pakistan).

Sungguh beruntung Syaikh Ali, yang lahir dan besar di lingkungan yang sa­ngat dinamis bagi pembelajaran Al-Qur’an. Ia pun menuai sukses dengan ke­gigihannya belajar Al-Qur’an. Ia di­sibukkan dengan kegiatan dakwah mem­bumikan hifzhul Qur’an ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk Indone­sia. Apalagi Indonesia seperti negeri kedua baginya, selain diperantarakan asbab beristrikan wanita Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia. Ia juga ka­gum dengan para ulama dan santri Indo­nesia yang terkenal gigih dalam belajar saat bermukim di kedua kota suci: Makkah dan Madinah.

Di kota kelahirannya ia menjadi salah satu imam besar di beberapa masjid sekitar Madinah dan guru tahfizh Al-Qur’an.

Kesibukannya di luar kota kelahiran­nya juga sungguh padat. Dai yang biasa disapa “Ustadz AJ” ini juga tercatat se­bagai guru tahfidz Al-Qur’an, imam besar dan khathib di Islamic Centre dan Masjid Agung Al-Muttaqin Cakranegara, Lom­bok, NTB, imam shalat Tarawih, qiyamul lail, dan pembimbing tadarus Al-Qur’an di Masjid Agung Sunda Kelapa, Men­teng, Jakarta, pengajar di Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Asykar, Puncak, Jawa Barat, guru tetap di beberapa majelis ta’lim di Jakarta dan sekitarnya, dan pengisi acara keagamaan secara rutin di salah satu stasiun televisi di Indo­nesia.

Seperti pernah diutarakannya dalam berbagai kesempatan halaqah pengajian Al-Qur’an, ia mengatakan bahwa ahlul Qur’an adalah orang-orang yang berun­tung di dunia dan akhirat. Allah SWT dan Rasulullah SAW yang menjanjikan mar­tabat kemuliaan ini kepada mereka yang bergelut dengan Al-Qur’an. Dan Syaikh Ali, sebagai bentuk tahadduts bin ni’mah (mensyukuri)-nya, merasakan betul hal itu. Ia sangat mensyukuri segala nikmat kehidupan yang dijalaninya ini.

Tak Memilih Usia

Al-Qur’an memang menunjukkan ke­pada siapa saja yang condong kepada­nya, namun Al-Qur’an juga sesungguh­nya mudah untuk dihafal bagi mereka yang berkeinginan untuk menghafalnya.

Membaca kumpulan kisah di atas, do­rongan, bimbingan, motivasi, serta tun­tunan dari orangtua sangat vital bagi anak-anak yang ingin menghafal Al-Qur’an. Meskipun Al-Qur’an tidak me­milih usia bagi para penghafalnya, ba­nyak kisah tentang para penghafal Al-Qur’an di kalangan ulama, mereka telah merintisnya sedari usia dini. Mereka me­mang telah dipersiapkan untuk menjadi ulama sejak belia dengan embusan ru­hiyah dan doa-doa kedua orangtua dan guru-gurunya disertai bimbingan yang kuat, sehingga menuai hasil. Persis se­perti ungkapan Al-Imam Fakhrul Wujud Syaikh Abubakar Bin Salim, “Man lam yajhad fil bidayah lam yanjah fin nihayah (Siapa tak bersungguh-sungguh sejak awal, tak akan berhasil di penghujung­nya).”

Menghafal Al-Qur’an di usia belia se­perti mengukir di atas batu pualam, lak­sana menorehkan tinta emas di kertas putih yang bersih. Na­mun demikian, ti­dak ada kata terlambat untuk menghafal Qur’an.

Banyak kisah yang menunjukkan bahwa orang-orang yang tua usianya juga mampu menjadi hafizh Al-Qur’an. Seperti kisah nyata seorang ibu ber­usia 78 tahun di Saudi yang berhasil me­na­mat­kan hafalannya. Sehari menjelang wi­suda atas keberhasil­annya itu, ia jatuh sakit dan wafat dengan se­nyum tersung­ging. Ke­luarganya sempat me­rekam ke­jadian itu dan menceritakan pesan ter­akhir sang ibu itu bahwa keberhasilan­nya itu diper­sem­bahkan bagi Rasulullah SAW dan kedua orangtuanya yang mem­besarkannya. Subhanallah.

Pada intinya, untuk menghafalkan Al-Qur’an, seseorang haruslah diberi mo­tivasi bahwa Al-Qur’an itu mudah untuk dihafal. Motivasi semacam ini akan membuat siapa pun semakin terdorong untuk menghafalkan Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, “Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” (QS Al-Qamar: 17).

Jadi, Andakah orangnya yang ingin menjadi keluarga Allah SWT?

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: