Ad 468 X 60

.

Saturday, August 17, 2013

Widgets

TAQBIL

Sebagai kata, taqbil, yang berasal dari kata qabbala, berarti mencium, mengecup. Sedang sebagai istilah, taqbil berkaitan erat dengan tuntunan dalam ilmu akhaq, yakni sebuah bentuk adab peng­hor­matan dan kasih sayang kepada orang­tua, guru, orang yang lebih senior dan terhormat, dengan cara men­cium tangan.

Pada prinsipnya kebiasaan cium ta­ngan adalah tradisi yang baik (al-’urf al-hasanah), yakni tradisi mencium tangan orang-orang yang patut dihormati, se­perti orang-orang tua, guru, ulama, dan lain­nya. Bila hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang, hal itu baik, karena menunjukkan bahwa kita me­miliki tata krama dan sopan santun yang sesuai tuntunan akhlaq yang mulia.

Perlu diketahui, tradisi mencium ta­ngan orang yang shalih, yang dikenal ke­taqwaannya, pemimpin dan orang kaya yang shalih, adalah perkara yang mus­tahab (yang disukai Allah dan Nabi), ber­dasarkan hadits-hadits Nabi dan dan atsar para sahabat. At-Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Shafwan bin ‘Assal, ada dua orang Ya­hudi pergi menghadap Nabi SAW untuk menanyakan ihwal sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa. Mak­sud keduanya lantaran ingin mencari ke­lemahan Nabi yang ummi.

Tatkala bertemu, mereka sampaikan apa yang ditanyakan. Namun alangkah ter­kejutnya mereka, Nabi SAW mampu men­jelaskan jawaban atas pertanyaan itu.

Kedua orang Yahudi itu lantas men­cium kedua tangan dan kaki Nabi (Hadits ini juga diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan yang empat, termasuk At-Tirmidzi, yakni Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Ibn Majah, dengan sanad yang kuat).

Abu Asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik RA, ia berkata, “Ketika turun ayat tentang (di­terimanya) taubatku, aku mendatangi Nabi lalu mencium kedua tangan dan lututnya.”

Imam Al-Bukhari meriwayatkan da­lam kitabnya Al-Adab al-Mufrad bahwa Ali bin Abi Thalib RA telah mencium ta­ngan Abbas bin Abdul Muthalib RA dan kedua kakinya, padahal Ali lebih tinggi derajatnya daripada Abbas dalam hal kedudukan di sisi Nabi sejak awal Islam. Namun, karena Abbas adalah pamannya dan orang yang shalih, ia mencium ta­ngan dan kedua kakinya.

Demikian juga dengan putra Abbas, Abdullah bin Abbas RA, yang termasuk kalangan sahabat kecil ketika Rasulullah SAW meninggal. Ia pergi kepada sebagi­an sahabat untuk menuntut ilmu dari me­reka. Suatu ketika ia pergi kepada Zaid bin Tsabit, sahabat yang paling banyak menulis wahyu. Ketika itu Zaid sedang keluar dari rumahnya. Melihat Abdullah bin Abbas memegang tempat Zaid me­letakkan kaki di atas hewan tunggang­annya, Zaid mencium tangan Abdullah bin Abbas, karena ia termasuk keluarga Rasulullah SAW, sambil berkata, “Demiki­anlah kami memperlakukan keluarga Rasulullah SAW.” Padahal Zaid bin Tsabit lebih tua dari Abdullah bin Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Bakar bin Al-Muqri pada bab Taqbil al-Yad.

Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan de­ngan sanadnya dalam kitab Ath-Thaba­qat, dari Abdurrahman bin Zaid Al-‘Iraqi, ia berkata, “Kami telah mendatangi Sa­lamah bin Al-Akwa’ di Ar-Rabdzah lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar se­perti sepatu kaki unta lalu ia berkata, ‘De­ngan tanganku ini aku telah berbai’at ke­pada Rasulullah SAW, lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya.”

Juga telah diriwayatkan dengan sa­nad yang shahih bahwa Imam Muslim men­cium tangan Imam Al-Bukhari dan ber­kata kepadanya, “Seandainya Tuan mengizinkan, pasti saya cium kaki Tuan.”

Dalam kitab At-Talkhish al-Habir, karya Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani, di­sebutkan, “Dalam masalah mencium ta­ngan, ada banyak hadits yang dikumpul­kan oleh Abu Bakar bin Al-Muqri. Kami mengumpulkannya dalam satu juz, di antaranya hadits Ibn Umar dalam suatu kisah, ia berkata, ‘Maka kami mendekat kepada Nabi SAW lalu kami cium tangan dan kaki beliau’.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud).

Juga hadits Az-Zari’ bahwa ia terma­suk rombongan utusan Abdul Qays, ia berkata, “Maka kami bergegas turun dari ken­daraan kami lalu kami mencium ta­ngan Nabi SAW.” (HR Abu Dawud).

Dalam hadits tentang peristiwa hadits al-Ifk (tersebarnya kabar dusta tentang Aisyah), dari Aisyah, ia berkata, “Ayahku, Abu Bakar, berkata kepadaku, ‘Berdirilah dan ciumlah kepala beliau (Nabi)’.”

Dalam kitab Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasai, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fa­thimah datang kepada Nabi, Nabi berdiri menyambutnya lalu mengambil tangan­nya kemudian menciumnya dan memba­wanya duduk di tempat duduk beliau. Apabila Nabi datang kepada Fathimah, Fathimah berdiri menyambut beliau lalu mengambil tangan beliau kemudian men­ciumnya, setelah itu ia mempersilakan be­liau duduk di tempatnya.”

Hadits ini juga menyebutkan dalil dibolehkannya berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tem­pat dengan tujuan penghormatan, bukan untuk menyombongkan diri dan menam­pakkan keangkuhan.

Imam Malik bin Anas, sebagaimana di­katakan Al-Abhari, melarang mencium tangan untuk tujuan mengagung-agung­kan orang lain, mengkultuskannya, “men­jilatnya”, dan untuk menunjukkan keta­kab­­buran. Tapi jika hal itu dilakukan de­ngan niat ibadah kepada Allah, yakni di­karenakan keberagamaan orang terse­but, karena ilmunya, pengamalan agama­nya, atau karena kemuliaannya, hal itu dibolehkan.



Penolak Taqbil

Ada sebahagian kalangan yang ber­anggapan bahwa mencium tangan orang-orang yang dikenal keshalihan­nya bukan ajaran Islam. Mereka ber­alasan pada perbuatan orang-orang Hindu, Bud­dha, Persia, dan Romawi. Lebih parah­nya lagi, kalangan ini meng­anggap taqbil itu sebagai sebuah per­buatan bid’ah, dan menilai hadits-hadits yang dijadikan huj­jah di atas tersebut keliru jalur sanad dan periwayatannya, sehingga dikategorikan sebagai hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu).

Mereka juga sengaja “menabrakkan” be­berapa hadits lainnya, demi meniada­kan taqbil ini. Salah satunya ialah de­ngan menyodorkan hadits ta­mats­tsul, penghor­matan dengan berdiri, yang diriwayatkan Ahmad dan At-Tirmidzi dari Anas bahwa para sahabat, jika me­lihat Nabi, tidak ber­diri untuk beliau, ka­rena mereka tahu bah­wa Nabi tidak me­nyukai hal itu.

Dalam memahami hadits di atas bu­kan berarti hadits ini menunjukkan ke­mak­ruhan berdiri untuk menghormati. Ra­sulullah tidak menyukai hal itu, sebab beliau khawatir akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Jadi beliau tidak me­nyukainya karena menginginkan keri­ngan­an bagi umatnya, bukan kewajiban atas umatnya. Dan sudah menjadi mak­lum bahwa Rasulullah kadang suka me­lakukan sesuatu tapi meninggalkannya meskipun menyukainya, karena beliau menginginkan keringanan bagi umatnya dan tahu bahwa apa yang dilakukannya selalu menjadi acuan, sunnah.

Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa menyukai tamatstsul (berdiri untuk peng­hormatan) bagi orang-orang, hen­dak­lah ia menempati tempatnya di ne­raka”, maksud berdiri yang dilarang da­lam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Dalam suatu pertemuan, jika raja mereka ma­suk, mereka berdiri untuk sang raja hing­ga sang raja pergi meninggalkan perte­muan tersebut. Ini yang dimaksud de­ngan tamatstsul itu.

Begitu pula riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Nabi SAW menarik tangannya dari tangan orang yang ingin menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut sejumlah ahli hadits.

Maka sungguh aneh orang yang me­ninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, sedangkan dia berpegang pada hadits yang sangat lemah untuk melarangnya. Ketahuilah, di dalam masalah ini tidak ada yang harus dipermasalahkan, ka­rena semua ini mengandung perintah ber­laku kasih sayang dan penghormatan di antara kaum muslimin, umat Rasul­ullah SAW. “Orang-orang yang saling mengasihi dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah mereka yang di bumi, niscaya engkau dikasihi Yang di atas langit.”

Taqbil kepada ulama, utamanya, me­rupakan ungkapan kecintaan dan peng­hormatan akan keilmuan yang diama­nah­kan Allah SWT dan keshalihan amal me­reka. Imam An-Nawawi dalam Al-Futuhat ar-Rabbaniyyah berkata, “Men­cium ta­ngan seseorang karena zuhud­nya, ke­shalihannya, ilmunya, kemuliaan­nya, atau­pun sema­camnya yang berhu­bu­ngan de­ngan urus­an agama, tidak di­mak­ruhkan, malah di­sun­nahkan. Tetapi apa­bila men­cium ta­ngan kare­na kekaya­annya, ke­kuasaannya, dan pengaruhnya di antara ahli dunia, itu adalah makruh yang sa­ngat-sangat mak­ruh.” Al-Asqalani da­lam Fath al-Bari me­nukil perka­taan Imam Malik, yang berkata, “Apabila men­cium ta­ngan sese­orang kare­na membe­sarkan dan meng­agung­kan, itu adalah makruh. Tetapi apa­bila karena untuk men­de­kat­kan diri ke­pada Allah karena aga­ma­nya, ilmu­nya, ke­mu­liaannya, itu diper­bolehkan.”

As-Safaraini Al-Han­bali dalam Gidza‘ al-Albab berkata, Abu Al-Ma’alli ber­kata dalam kitab Syarh al-Hidayah, “Mencium ta­ngan seorang ulama yang mempunyai kemuliaan ka­rena agamanya, itu diper­bolehkan. Dan aku telah mengetahui bah­wasanya para shahabat selalu men­cium tangan Nabi SAW, seperti yang telah disebut­kan dalam hadits Ibn Umar RA ketika beliau pulang dari Perang Mu‘tah.”

Ibn Abidin Al-Hanafi da­lam hasyiyah-nya ber­kata, “Tidak apa-apa men­cium tangan seseorang yang berilmu dan wara’ karena untuk mencari berkah, ma­lahan itu adalah sunnah.”

Ada kekeliruan di masyarakat kita, ter­utama anak-anak dan remaja, terkait tra­disi taqbil ini. Antara lain, menggapai ta­ngan orang yang akan di­cium lalu mele­takkannya ke dahi atau pipi, bukan men­cium dengan hidungnya, se­­bagaimana yang diajarkan orang-orang tua kita dulu. Ada juga yang, ketika mencium ta­ngan itu, memang menyen­tuh­kan ta­ngan­nya, namun bukan bagian ta­ngan orang itu yang diciumnya, melain­kan ta­ngannya sendiri. Hal ini banyak kita temui di tengah tradisi silaturahim, saat sungkeman ke­pada orang yang lebih tua dan dihormati.

Yang benar adalah sebagaimana yang berlaku selama ini sebelumnya, yakni ber­taqbil benar-benar dengan ciuman hidung dan kecupan bibir si pencium ke punggung tangan orang yang diciumnya.

Sumber :  http://www.majalah-alkisah.com

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: