Saturday, August 17, 2013
TAQBIL
Sebagai kata, taqbil, yang berasal dari kata qabbala, berarti mencium, mengecup. Sedang sebagai istilah, taqbil berkaitan erat dengan tuntunan dalam ilmu akhaq, yakni sebuah bentuk adab penghormatan dan kasih sayang kepada orangtua, guru, orang yang lebih senior dan terhormat, dengan cara mencium tangan.Pada prinsipnya kebiasaan cium tangan adalah tradisi yang baik (al-’urf al-hasanah), yakni tradisi mencium tangan orang-orang yang patut dihormati, seperti orang-orang tua, guru, ulama, dan lainnya. Bila hal itu dilakukan sebagai bentuk penghormatan dan kasih sayang, hal itu baik, karena menunjukkan bahwa kita memiliki tata krama dan sopan santun yang sesuai tuntunan akhlaq yang mulia.
Perlu diketahui, tradisi mencium tangan orang yang shalih, yang dikenal ketaqwaannya, pemimpin dan orang kaya yang shalih, adalah perkara yang mustahab (yang disukai Allah dan Nabi), berdasarkan hadits-hadits Nabi dan dan atsar para sahabat. At-Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Shafwan bin ‘Assal, ada dua orang Yahudi pergi menghadap Nabi SAW untuk menanyakan ihwal sembilan ayat yang Allah turunkan kepada Nabi Musa. Maksud keduanya lantaran ingin mencari kelemahan Nabi yang ummi.
Tatkala bertemu, mereka sampaikan apa yang ditanyakan. Namun alangkah terkejutnya mereka, Nabi SAW mampu menjelaskan jawaban atas pertanyaan itu.
Kedua orang Yahudi itu lantas mencium kedua tangan dan kaki Nabi (Hadits ini juga diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan yang empat, termasuk At-Tirmidzi, yakni Sunan Abu Dawud, Sunan An-Nasai, Sunan Ibn Majah, dengan sanad yang kuat).
Abu Asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ka’ab bin Malik RA, ia berkata, “Ketika turun ayat tentang (diterimanya) taubatku, aku mendatangi Nabi lalu mencium kedua tangan dan lututnya.”
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitabnya Al-Adab al-Mufrad bahwa Ali bin Abi Thalib RA telah mencium tangan Abbas bin Abdul Muthalib RA dan kedua kakinya, padahal Ali lebih tinggi derajatnya daripada Abbas dalam hal kedudukan di sisi Nabi sejak awal Islam. Namun, karena Abbas adalah pamannya dan orang yang shalih, ia mencium tangan dan kedua kakinya.
Demikian juga dengan putra Abbas, Abdullah bin Abbas RA, yang termasuk kalangan sahabat kecil ketika Rasulullah SAW meninggal. Ia pergi kepada sebagian sahabat untuk menuntut ilmu dari mereka. Suatu ketika ia pergi kepada Zaid bin Tsabit, sahabat yang paling banyak menulis wahyu. Ketika itu Zaid sedang keluar dari rumahnya. Melihat Abdullah bin Abbas memegang tempat Zaid meletakkan kaki di atas hewan tunggangannya, Zaid mencium tangan Abdullah bin Abbas, karena ia termasuk keluarga Rasulullah SAW, sambil berkata, “Demikianlah kami memperlakukan keluarga Rasulullah SAW.” Padahal Zaid bin Tsabit lebih tua dari Abdullah bin Abbas. Atsar ini diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Bakar bin Al-Muqri pada bab Taqbil al-Yad.
Ibnu Sa’ad juga meriwayatkan dengan sanadnya dalam kitab Ath-Thabaqat, dari Abdurrahman bin Zaid Al-‘Iraqi, ia berkata, “Kami telah mendatangi Salamah bin Al-Akwa’ di Ar-Rabdzah lalu ia mengeluarkan tangannya yang besar seperti sepatu kaki unta lalu ia berkata, ‘Dengan tanganku ini aku telah berbai’at kepada Rasulullah SAW, lalu kami meraih tangan beliau dan menciumnya.”
Juga telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Imam Muslim mencium tangan Imam Al-Bukhari dan berkata kepadanya, “Seandainya Tuan mengizinkan, pasti saya cium kaki Tuan.”
Dalam kitab At-Talkhish al-Habir, karya Al-Hafizh Ibn Hajar Al-Asqalani, disebutkan, “Dalam masalah mencium tangan, ada banyak hadits yang dikumpulkan oleh Abu Bakar bin Al-Muqri. Kami mengumpulkannya dalam satu juz, di antaranya hadits Ibn Umar dalam suatu kisah, ia berkata, ‘Maka kami mendekat kepada Nabi SAW lalu kami cium tangan dan kaki beliau’.” (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud).
Juga hadits Az-Zari’ bahwa ia termasuk rombongan utusan Abdul Qays, ia berkata, “Maka kami bergegas turun dari kendaraan kami lalu kami mencium tangan Nabi SAW.” (HR Abu Dawud).
Dalam hadits tentang peristiwa hadits al-Ifk (tersebarnya kabar dusta tentang Aisyah), dari Aisyah, ia berkata, “Ayahku, Abu Bakar, berkata kepadaku, ‘Berdirilah dan ciumlah kepala beliau (Nabi)’.”
Dalam kitab Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasai, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Aku tidak pernah melihat seorang pun lebih mirip dengan Rasulullah dari Fathimah dalam sifatnya, cara hidup dan gerak-geriknya. Ketika Fathimah datang kepada Nabi, Nabi berdiri menyambutnya lalu mengambil tangannya kemudian menciumnya dan membawanya duduk di tempat duduk beliau. Apabila Nabi datang kepada Fathimah, Fathimah berdiri menyambut beliau lalu mengambil tangan beliau kemudian menciumnya, setelah itu ia mempersilakan beliau duduk di tempatnya.”
Hadits ini juga menyebutkan dalil dibolehkannya berdiri untuk menyambut orang yang masuk datang ke suatu tempat dengan tujuan penghormatan, bukan untuk menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan.
Imam Malik bin Anas, sebagaimana dikatakan Al-Abhari, melarang mencium tangan untuk tujuan mengagung-agungkan orang lain, mengkultuskannya, “menjilatnya”, dan untuk menunjukkan ketakabburan. Tapi jika hal itu dilakukan dengan niat ibadah kepada Allah, yakni dikarenakan keberagamaan orang tersebut, karena ilmunya, pengamalan agamanya, atau karena kemuliaannya, hal itu dibolehkan.
Penolak Taqbil
Ada sebahagian kalangan yang beranggapan bahwa mencium tangan orang-orang yang dikenal keshalihannya bukan ajaran Islam. Mereka beralasan pada perbuatan orang-orang Hindu, Buddha, Persia, dan Romawi. Lebih parahnya lagi, kalangan ini menganggap taqbil itu sebagai sebuah perbuatan bid’ah, dan menilai hadits-hadits yang dijadikan hujjah di atas tersebut keliru jalur sanad dan periwayatannya, sehingga dikategorikan sebagai hadits dhaif (lemah), bahkan maudhu’ (palsu).
Mereka juga sengaja “menabrakkan” beberapa hadits lainnya, demi meniadakan taqbil ini. Salah satunya ialah dengan menyodorkan hadits tamatstsul, penghormatan dengan berdiri, yang diriwayatkan Ahmad dan At-Tirmidzi dari Anas bahwa para sahabat, jika melihat Nabi, tidak berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa Nabi tidak menyukai hal itu.
Dalam memahami hadits di atas bukan berarti hadits ini menunjukkan kemakruhan berdiri untuk menghormati. Rasulullah tidak menyukai hal itu, sebab beliau khawatir akan diwajibkan hal itu atas para sahabat. Jadi beliau tidak menyukainya karena menginginkan keringanan bagi umatnya, bukan kewajiban atas umatnya. Dan sudah menjadi maklum bahwa Rasulullah kadang suka melakukan sesuatu tapi meninggalkannya meskipun menyukainya, karena beliau menginginkan keringanan bagi umatnya dan tahu bahwa apa yang dilakukannya selalu menjadi acuan, sunnah.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW bersabda “Barang siapa menyukai tamatstsul (berdiri untuk penghormatan) bagi orang-orang, hendaklah ia menempati tempatnya di neraka”, maksud berdiri yang dilarang dalam hadits ini adalah berdiri yang biasa dilakukan oleh orang-orang Romawi dan Persia kepada raja-raja mereka. Dalam suatu pertemuan, jika raja mereka masuk, mereka berdiri untuk sang raja hingga sang raja pergi meninggalkan pertemuan tersebut. Ini yang dimaksud dengan tamatstsul itu.
Begitu pula riwayat yang disebutkan oleh sebagian orang bahwa Nabi SAW menarik tangannya dari tangan orang yang ingin menciumnya, ini adalah hadits yang sangat lemah menurut sejumlah ahli hadits.
Maka sungguh aneh orang yang meninggalkan sekian banyak hadits shahih yang membolehkan mencium tangan, sedangkan dia berpegang pada hadits yang sangat lemah untuk melarangnya. Ketahuilah, di dalam masalah ini tidak ada yang harus dipermasalahkan, karena semua ini mengandung perintah berlaku kasih sayang dan penghormatan di antara kaum muslimin, umat Rasulullah SAW. “Orang-orang yang saling mengasihi dikasihi oleh Yang Maha Pengasih. Kasihilah mereka yang di bumi, niscaya engkau dikasihi Yang di atas langit.”
Taqbil kepada ulama, utamanya, merupakan ungkapan kecintaan dan penghormatan akan keilmuan yang diamanahkan Allah SWT dan keshalihan amal mereka. Imam An-Nawawi dalam Al-Futuhat ar-Rabbaniyyah berkata, “Mencium tangan seseorang karena zuhudnya, keshalihannya, ilmunya, kemuliaannya, ataupun semacamnya yang berhubungan dengan urusan agama, tidak dimakruhkan, malah disunnahkan. Tetapi apabila mencium tangan karena kekayaannya, kekuasaannya, dan pengaruhnya di antara ahli dunia, itu adalah makruh yang sangat-sangat makruh.” Al-Asqalani dalam Fath al-Bari menukil perkataan Imam Malik, yang berkata, “Apabila mencium tangan seseorang karena membesarkan dan mengagungkan, itu adalah makruh. Tetapi apabila karena untuk mendekatkan diri kepada Allah karena agamanya, ilmunya, kemuliaannya, itu diperbolehkan.”
As-Safaraini Al-Hanbali dalam Gidza‘ al-Albab berkata, Abu Al-Ma’alli berkata dalam kitab Syarh al-Hidayah, “Mencium tangan seorang ulama yang mempunyai kemuliaan karena agamanya, itu diperbolehkan. Dan aku telah mengetahui bahwasanya para shahabat selalu mencium tangan Nabi SAW, seperti yang telah disebutkan dalam hadits Ibn Umar RA ketika beliau pulang dari Perang Mu‘tah.”
Ibn Abidin Al-Hanafi dalam hasyiyah-nya berkata, “Tidak apa-apa mencium tangan seseorang yang berilmu dan wara’ karena untuk mencari berkah, malahan itu adalah sunnah.”
Ada kekeliruan di masyarakat kita, terutama anak-anak dan remaja, terkait tradisi taqbil ini. Antara lain, menggapai tangan orang yang akan dicium lalu meletakkannya ke dahi atau pipi, bukan mencium dengan hidungnya, sebagaimana yang diajarkan orang-orang tua kita dulu. Ada juga yang, ketika mencium tangan itu, memang menyentuhkan tangannya, namun bukan bagian tangan orang itu yang diciumnya, melainkan tangannya sendiri. Hal ini banyak kita temui di tengah tradisi silaturahim, saat sungkeman kepada orang yang lebih tua dan dihormati.
Yang benar adalah sebagaimana yang berlaku selama ini sebelumnya, yakni bertaqbil benar-benar dengan ciuman hidung dan kecupan bibir si pencium ke punggung tangan orang yang diciumnya.
Sumber : http://www.majalah-alkisah.com
Related Posts:
adab penghormatan mencium mencium tangan mengecup Taqbil
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: