Tuesday, August 20, 2013
Pernikahan Agung Wanita-wanita Teladan Umat (Bagian 1)
“Wahai Ali, pedang sangat engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”Bulan Syawwal di Indonesia dikenal sebagai bulan untuk melangsungkan pernikahan, sehingga banyak orangtua memutuskan untuk menikahkan putra-putrinya pada bulan Syawwal ini sekaligus untuk ajang silaturahim dan halal bihalal.
Tapi bagaimanakah Anda menikah? Tentu sebagai seorang muslim pernikahan adalah peristiwa sakral yang harus diniatkan karena Allah SWT. Pernikahan adalah perjanjian suci yang pertanggungjawabannya langsung kepada Allah SWT sehingga diharapkan pernikahan akan melahirkan keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah, dan generasi yang berkualitas serta berakhlaq terpuji.
Kami kutipkan dari beberapa kitab pernikahan wanita mulia Khadijah dengan Rasulullah SAW, dan juga pernikahan putri kesayangan beliau, Fathimah Az-Zahra RA.
Rasulullah SAW memberikan teladan kepada kita, umatnya, bagaimana beliau menikah, yang kami kutip dari buku Baitun Nubuwwah, Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW.
Pernikahan Khadijah RA
Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak memberi kepadaku pengganti istri yang lebih baik dari Khadijah RA. Ia beriman kepadaku di kala semua orang mengingkari kenabianku. Ia membenarkan kenabianku ketika semua orang mendustakan diriku. Ia menyantuni diriku dengan hartanya di kala semua orang tidak mau menolongku. Melalui dia, Allah SWT menganugerahi anak kepadaku, tidak dari istri yang lain.”
Sebagaimana termaktub di dalam buku-buku sejarah kehidupan Rasulullah SAW, beliau ditinggal wafat ayahandanya sewaktu masih berada di dalam kandungan bundanya. Kemalangan demi kemalangan menimpa nasib beliau sebagai anak yatim.
Dalam usia kurang lebih tiga tahun beliau diajak bundanya ke Madinah untuk berziarah ke makam ayahandanya. Dalam perjalanan pulang ke Makkah bundanya wafat di sebuah pedusunan bernama Abwa. Beliau dibawa pulang ke Makkah oleh pembantu ibundanya, Ummu Aiman, kemudian diserahkan kepada datuknya yang sudah lanjut usia, Abdul Muthalib.
Hanya beberapa tahun saja beliau hidup di bawah asuhan datuknya yang kemudian wafat ketika beliau mencapai usia kurang lebih enam tahun. Berdasarkan wasiat datuknya beliau diasuh oleh pamandanya, Abu Thalib, hingga usia dewasa dan menikah dengan Khadijah RA. Beliau hidup dengan pamannya yang memperlakukannya seperti anak kandung sendiri.
Meskipun Abu Thalib bagi masyarakat Quraisy adalah pemimpin yang disegani dan dihormati, ia tidak termasuk tokoh Quraisy yang kaya dan hidup berkecukupan. Hasil perniagaannya secara kecil-kecilan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Di tengah hidup serba kekurangan itulah Muhammad SAW dibesarkan.
Setelah kurang lebih tujuh belas tahun hidup di bawah naungan pamannya, beliau berpikir hendak membantu meringankan beban hidup pamannya yang berkeluarga besar itu. Setidak-tidaknya hidup mandiri tanpa menjadi beban terus-menerus yang memberatkan pamannya. Akan tetapi bagaimana caranya agar beliau dapat mencapai keinginan itu?
Pada suatu hari, sang paman menghampirinya lalu berkata, “Anakku, aku ini orang yang tidak berharta. Bertahun-tahun lamanya kita hidup menderita. Kita tidak mempunyai barang dagangan apa pun untuk dijual dan tidak mempunyai uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang lihatlah khafilah Quraisy yang sedang berkemas-kemas siap pergi ke negeri Syam membawa barang dagangan Khadijah binti Khuwailid.
Seumpama engkau mau datang kepadanya untuk keperluan itu tentu ia akan lebih mengutamakan dari orang lain karena ia sudah banyak mendengar ihwal kejujuran dan kesucian hatimu. Sebenarnya aku tidak suka kamu bepergian ke negeri Syam, karena mengkhawatirkan keselamatanmu di tengah-tengah orang Yahudi. Aku mendengar bahwa Khadijah sudah menunjuk seorang tenaga tambahan.”
Muhammad pun menjawab, “Terserah paman bagaimana baiknya.”
Pergilah Abu Thalib menemui Khadijah RA. Ternyata apa yang dikatakannya dapat disetujui dan diterima oleh Khadijah dengan senang hati.
Kemudian berangkatlah Muhammad bersama kafilah ke negeri Syam.
Dalam waktu yang tidak berapa lama barang yang dibawanya terjual habis. Tiap-tiap kafilah menghitung laba dan seberapa banyak yang akan diterima dari Khadijah sebagai bagian keuntungan.
Tibalah saat pulang kembali ke Makkah. Semua anggota kafilah pulang ke Makkah lewat Marrudz Dzahran, yang dianggap terdekat, karena mereka sudah rindu untuk bertemu keluarga masing-masing. Hanya Muhammad yang lewat jalan lain, yaitu lewat jalur yang tidak jauh dari tempat wafat ibundanya di Abwa. Namun itu bukan soal bagi beliau, yang jauh lebih merindukan bundanya daripada cepat-cepat menerima pembagian keuntungan dari Khadijah.
Tibalah kafilah Quraisy di Makkah dengan selamat. Keluarga dari masing-masing anggota kafilah menyambut berbondong-bondong mengerumuni unta-unta yang masih tampak letih. Mereka bergembira ria menyambut kedatangan keluarganya masing-masing. Tentu saja disertai dengan harapan bahwa keluarga yang baru datang itu beroleh rizqi sepadan dengan perjalanan jauh ke negeri Syam.
Muhammad berthawaf di sekitar Ka’bah dan setelah selesai beliau pun menuju rumah Khadijah.
Maisarah, yang ikut menemani Muhammad ke Syam, bercerita banyak kepada Khadijah tentang akhlaq Muhammad sehingga membuat kagum Khadijah.
Khadijah RA adalah seorang wanita yang sudah mengalami manis dan pahitnya berumah tangga, ia pernah dua kali menikah dengan dua pria terpandang dalam masyarakat Arab, yaitu ‘Atiq bin ‘Aid bin Abdullah Al-Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimi.
(Bersambung)
sumber : http://www.majalah-alkisah.com
Related Posts:
mawadah musim pernikahan nikah pernikahan pernikahan agung sakinah wa rahmah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: