Ad 468 X 60

.

Tuesday, August 20, 2013

Widgets

Pernikahan Agung Wanita-wanita Teladan Umat (Bagian 1)

“Wahai Ali, pedang sangat engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”

Bulan Syawwal di Indonesia dikenal sebagai bulan untuk melangsungkan pernikahan, sehingga banyak orangtua memutuskan untuk menikah­kan putra-putrinya pada bulan Syawwal ini se­kaligus untuk ajang silaturahim dan halal bihalal.

Tapi bagaimanakah Anda menikah? Tentu sebagai seorang muslim pernikah­an adalah peristiwa sakral yang harus di­niatkan karena Allah SWT. Pernikahan ada­lah perjanjian suci yang pertang­gung­­jawabannya langsung kepada Allah SWT sehingga diharapkan pernikahan akan me­lahirkan keluarga sakinah, ma­wad­dah, wa rahmah, dan generasi yang ber­kualitas serta berakhlaq terpuji.

Kami kutipkan dari beberapa kitab per­nikahan wanita mulia Khadijah de­ngan Rasulullah SAW, dan juga perni­kah­an putri kesayangan beliau, Fathi­mah Az-Zahra RA.

Rasulullah SAW memberikan te­ladan kepada kita, umatnya, bagaimana beliau menikah, yang kami kutip dari buku Baitun Nubuwwah, Rumah Tangga Nabi Muhammad SAW.

Pernikahan Khadijah RA

Rasulullah SAW bersabda, “Allah ti­dak memberi kepadaku pengganti istri yang lebih baik dari Khadijah RA. Ia ber­iman kepadaku di kala semua orang meng­ingkari kenabianku. Ia membenar­kan kenabianku ketika semua orang men­dustakan diriku. Ia menyantuni diriku de­ngan hartanya di kala semua orang tidak mau menolongku. Melalui dia, Allah SWT menganugerahi anak kepadaku, tidak dari istri yang lain.”

Sebagaimana termaktub di dalam buku-buku sejarah kehidupan Rasulullah SAW, beliau ditinggal wafat ayahanda­nya sewaktu masih berada di dalam kan­dung­an bundanya. Kemalangan demi ke­ma­lang­an menimpa nasib beliau se­bagai anak yatim.

Dalam usia kurang lebih tiga tahun be­­liau diajak bundanya ke Madinah un­tuk berziarah ke makam ayahandanya. Da­lam perjalanan pulang ke Makkah bunda­nya wafat di sebuah pedusunan bernama Abwa. Beliau dibawa pulang ke Makkah oleh pembantu ibundanya, Ummu Aiman, kemudian diserahkan ke­pada datuknya yang sudah lanjut usia, Abdul Muthalib.

Hanya beberapa tahun saja beliau hi­dup di bawah asuhan datuknya yang ke­mudian wafat ketika beliau mencapai usia kurang lebih enam tahun. Berda­sarkan wa­siat datuknya beliau diasuh oleh pa­mandanya, Abu Thalib, hingga usia de­wasa dan menikah dengan Kha­dijah RA. Be­liau hidup dengan paman­nya yang mem­perlakukannya seperti anak kan­dung sendiri.

Meskipun Abu Thalib bagi masya­ra­kat Quraisy adalah pemimpin yang di­segani dan dihormati, ia tidak termasuk to­koh Quraisy yang kaya dan hidup ber­ke­cukupan. Hasil perniagaannya secara kecil-kecilan tidak dapat mencukupi ke­butuhan hidup keluarganya. Di tengah hi­dup serba kekurangan itulah Muham­mad SAW dibesarkan.

Setelah kurang lebih tujuh belas ta­hun hidup di bawah naungan pamannya, beliau berpikir hendak membantu me­ringankan beban hidup pamannya yang berkeluarga besar itu. Setidak-tidaknya hidup mandiri tanpa menjadi beban te­rus-menerus yang memberatkan paman­nya. Akan tetapi bagaimana caranya agar be­liau dapat mencapai keinginan itu?

Pada suatu hari, sang paman meng­hampirinya lalu berkata, “Anakku, aku ini orang yang tidak berharta. Bertahun-ta­hun lamanya kita hidup menderita. Kita tidak mempunyai barang dagangan apa pun untuk dijual dan tidak mempunyai uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Sekarang lihatlah khafilah Quraisy yang sedang berkemas-kemas siap pergi ke negeri Syam membawa barang dagang­an Khadijah binti Khuwailid.

Seumpama engkau mau datang ke­pada­nya untuk keperluan itu tentu ia akan lebih mengutamakan dari orang lain ka­rena ia sudah banyak mendengar ihwal ke­jujuran dan kesucian hatimu. Sebenar­nya aku tidak suka kamu beper­gian ke ne­geri Syam, karena mengkha­watirkan keselamatanmu di tengah-tengah orang Yahudi. Aku mendengar bah­wa Khadijah su­dah menunjuk se­orang tenaga tam­bah­an.”

Muhammad pun menjawab, “Terse­rah paman bagaimana baiknya.”

Pergilah Abu Thalib menemui Kha­di­jah RA. Ternyata apa yang dikatakan­nya dapat disetujui dan diterima oleh Khadijah dengan senang hati.

Kemudian berangkatlah Muhammad ber­sama kafilah ke negeri Syam.

Dalam waktu yang tidak berapa lama ba­rang yang dibawanya terjual habis. Tiap-tiap kafilah menghitung laba dan se­berapa banyak yang akan diterima dari Khadijah sebagai bagian keuntung­an.

Tibalah saat pulang kembali ke Mak­kah. Semua anggota kafilah pulang ke Makkah lewat Marrudz Dzahran, yang di­anggap terdekat, karena mereka su­dah rin­du untuk bertemu keluarga ma­sing-ma­sing. Hanya Muhammad yang lewat jalan lain, yaitu lewat jalur yang tidak jauh dari tempat wafat ibundanya di Abwa. Namun itu bukan soal bagi be­liau, yang jauh lebih merindukan bunda­nya dari­pada cepat-cepat menerima pembagian ke­untungan dari Khadijah.

Tibalah kafilah Quraisy di Makkah de­ngan selamat. Keluarga dari masing-ma­sing anggota kafilah menyambut berbon­dong-bondong mengerumuni unta-unta yang masih tampak letih. Mereka ber­gem­bira ria menyambut ke­datangan ke­luarganya masing-masing. Tentu saja di­sertai dengan harapan bah­wa keluarga yang baru datang itu ber­oleh rizqi sepa­dan dengan perjalanan jauh ke negeri Syam.

Muhammad berthawaf di sekitar Ka’bah dan setelah selesai beliau pun me­nuju rumah Khadijah.

Maisarah, yang ikut menemani Mu­hammad ke Syam, bercerita banyak ke­pada Khadijah tentang akhlaq Muham­mad sehingga membuat kagum Kha­dijah.

Khadijah RA adalah seorang wanita yang sudah mengalami manis dan pahit­nya berumah tangga, ia pernah dua kali me­nikah dengan dua pria terpandang da­lam masyarakat Arab, yaitu ‘Atiq bin ‘Aid bin Abdullah Al-Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimi.

(Bersambung)
sumber :  http://www.majalah-alkisah.com

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: