Friday, February 27, 2015
Ulama kok tidak bisa bahasa arab ?
Sering saya ditanya orang, siapa sih yang disebut ulama itu dan apa saja syarat-syarat yang harus dimilikinya.
Biasanya saya selalu menjawab bahwa ulama itu banyak jenis cabang ilmunya. Ada ulama hadits alias muhaddits. Ruang lingkup tugasnya adalah meneliti berjuta butir hadits dari sisi shahih atau tidaknya. Mereka tidak bertugas untuk menarik kesimpulan hukum, sebab untuk itu ada jenis ulama tersendiri.
Kalau mau disebut contohnya gampang saja, itu loh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Mereka itu ulama hadits. Tugas mereka menyaring mana hadits shahih dan mana yang tidak.
Pelajari saja biografinya secara mendalam lengkap dengan kapasitas dan kemampuannya, maka kita akan tahu apa saja syarat ulama dan tahu langsung seperti apa sosoknya.
Tetapi kalau urusan hukum agama, apakah sesuatu itu halal atau haram, jangan tanya ke ulama ahli hadits. Jelas mereka bukan ahlinya. Kalau pun kita tanyakan kepada mereka, jawabannya kurang detail.
Urusan tanya hukum halal haram, kita bertanya kepada fuqaha, ahli fiqih alias para mujtahid. Tugas mereka memang melakukan penelitian menyeluruh atas semua dalil, baik dari Al-Quran atau sunnah, termasuk juga meneliti apakah suatu hadits itu shahih dan layak dijadikan pijakan atau tidak.
Dan yang paling penting, tugas unik mereka adalah memilih mana dari dalil-dalil itu yang tepat dan cocok untuk dijadikan landasan hukum. Sebab meski ayat Al-Quran itu shahih semua, bahkan semuanya sampai derajat mutawatir, belum tentu cocok dijadikan landasan hukum suatu masalah.
Jadi tugas fuqaha itu memang dua kali lipat lebih berat dari tugas ahli hadits. Karena itu persyaratannya pun jauh lebih banyak.
Lalu siapa contoh ulama ahli fiqih?
Dunia Islam mengenal para begawan ahli fiqih tidak lain adalah keempat imam mazhab itu. Al-Imam Abu Hnifah, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i dan Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullahu ajmain.
Mereka itu bukan hanya berstatus mujtahid, tetapi menduduki level tertinggi, yaitu mujtahid multak mustaqil. Mereka adalah mujtahidnya segala mujtahid, guru tertinggi dari semua mujtahid. Semua mujtahid itu akan suka tidak suka harus mengikuti kaidah yang telah dirintisnya.
Tentu saja semuanya adalah penghafal Al-Quran 30 juz. Bahkan bukan hanya hafal lafadznya, tetapi mereka tahu persis detail penjelasan setiap ayat, termasuk ragam qiraatnya yang ternyata juga berpengaruh pada makna dan kesimpulan hukum.
Jangan tanya apakah mereka mengerti hadits apa tidak. Syarat minimal seorang mujtahid kelas dasar adalah menghafal 500 ribu hadits, baik matan maupun sanad. Di zaman kita ini, agak sulit menemukan orang yang bisa hafal segitu banyak.
Padahal yang mereka kuasai itu bukan berhenti pada hafal, tetapi juga tahu latar belakang (asbabul wurud) tiap hadits, kapan disampaikan, dimana, dalam konteks apa bahkan apakah hadits itu saling bertentangan dengan lainnya atau tidak. Semua informasi itu sudah ada di kepala sejak mereka masih SD. Artinya, seluruh mujtahid itu adalah ahli hadits yang sudah matang.
Lalu ada seorang santri bertanya dengan lugunya,”Ustadz, apakah ulama itu harus bisa bahasa Arab?”.
Sambil tersenyum saya jawab,”Tentu saja, anakku. Mana ada ulama yang tidak bisa bahasa Arab? Semua ulama bukan hanya wajib berbahasa Arab, tetapi harus mengerti ilmu balaghah, adab, badi’, bayan serta semua cabang kesusastraan Arab.”
Santri itu menjawab,”Tetapi di pesantren kami, bahasa Arab tidak diajarkan dengan tuntas, sehingga ketika kami lulus belum bisa berbahasa Arab, kecuali sedikit sekali”.
Kali ini saya yang tersenyum kecut. La haula wala quwwata illa billah. Kalau pesantren yang konon mau mencetak ulama malah tidak mengajarkan bahasa Arab, lalu mereka mau jadi apa? Begitu keluh saya dalam hati.
Padahal jangankan jadi ulama, lha wong Abu Jahal, Abu Lahab, dan teman-teman kafirnya itu saja bisa bahasa Arab. Malahan unta yang mereka tunggangi pun paham bahasa Arab. Buktinya, kalau diperintah pakai bahasa Arab, unta-unta itu pun nurut.
Jauh sebelum kita bicara tentang syarat ulama seperti di atas, maka yang seharusnya jadi pondasi adalah kemampuan bahasa Arab. Pesantren wajib mengajarkan bahasa Arab kepada santrinya sampai benar-benar menguasai, kalau mau dikatakan pesantren itu tepat pendididikan ulama.
Apalagi bila pesantren itu berlabel 'pesantren kader ulama', maka seharusnya penguasaan bahasa Arab aktif secara lisan dan tulisan harus menjadi syarat minimal untuk bisa diterima. Mereka harus mampu memahami dengan baik semua teks arab gundul itu cukup sekali baca, dan bisa menerangkan kembali juga dalam bahasa Arab. Itu harus jadi syarat dasar diterimanya mereka dalam program kader ulama.
Sebab mau berapa lama menunggu para santri sampai bisa bahasa Arab dulu? Lalu bagaimana caranya mereka bisa baca ribuan kitab turats berbahasa Arab?
Kalau sampai ada calon ulama tapi tidak paham bahasa Arab, tentu sangat tidak memenuhi syarat. Sebab levelnya masih di bawahnya Abu Jahal dan unta tunggangannya. Masa ulama kalah sama Abu Jahal?
Ulama kok tidak bisa bahasa Arab? Benar-benar kiamat sudah dekat!!
Oleh : Ahmad Sarwat, Lc., MA
Related Posts:
Fiqih
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: