Ad 468 X 60

.

Sunday, June 7, 2015

Widgets

Dua Pendapat dan Dalil Ulama Dalam Niat Puasa Ramadhan

Salahsatu yang menarik dari dunia fiqih adalah banyaknya ikhtilaf al-ulama di dalamnya. Hal ini memberikan ruang bagi manusia yang memang di berikan kecenderungan yang berbeda oleh Allah untuk menentukan pilihan. Karena itu Umar ibn Abdul Aziz pernah mengatakan bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah sebuah anugerah tak terkira bagi ummat ini.

Salah satu perbedaan pendapat para ulama adalah mengenai niat dalam puasa ramadhan. Perbedaan pendapat para ulama didalamnya jarang sekali tergali oleh khalayak karena tentu saja yang lebih menarik adalah mengupas perbedaan pendapat antar ulama dalam penentuan awal bulan. Apakah dengan hisab atau ru'yah, apakah cukup dengan khabar ahad atau perlu dua orang yang adil dalam melihat bulan, inilah yang lebih menarik. Tapi tentu saja tidak ada salahnya menyelami aqwal ulama dalam hal niat ramadhan. Untuk tujuan itulah tulisan sederhana ini hadir.

Niat Ramdhan, Antara Satu Niat dan Tajdid al-Niyah

Setiap ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, dan sebagainya mengharuskan adanya niat di dalamnya. Itu berbeda dengan mu'amalah seperti halnya jual-beli yang tidak mengharuskan adanya niat di dalamnya. Begitupun puasa yang termasuk ibadah mahdhah yang di dalamnya mengharuskan adanya niat. Tetapi para ulama berbeda tentang keharusan niatnya. Apakah niat itu cukup sekali saja di awal malam ramdhan, atau harus mengulang niat di setiap malam.

Setidaknya ada dua pendapat tentang hal ini. Pendapat pertama adalah yang mengatakan bahwa niat ramadhan cukup sekali saja yakni di awal malam pertama ramadhan. Itu karena pada hakikatnya ramdhan adalah satu ibadah yang tak terpisahkan,seperti shalat. Dalam shalat kita cukup niat diawalnya saja, begitupun ramadhan yang merupakan satu ibadah yang mencakup seluruh harinya, cukup niat di awal malam saja untuk seluruh ramadhan.

Pendapat di atas diutarakan dua imam besar: Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Dalil keduanya adalah firman Allah dalam surat al-Baqarah: 185, Yakni "fa man syahida minkum al-syahra fal-yashumhu". 


Dalam ayat itu, Allah menegaskan bahwa barangsiapa yang hadir atau menemui bulan ramdhan maka di wajibkan berpuasa. Ayat itu tidak mengatakan "barangsiapa menemui hari-hari ramadhan". Itulah mengapa menurut dua imam besar ini, penisbatan wajib puasa adalah kepada bulannya. Bukan kepada hari-harinya. Karena itu pada dasarnya malam ramadhan pun di wajibkan berpuasa. 

Hanya saja syari'at mengecualikan itu untuk memberi kemudahan bagi ummatnya. Ayat 187 dari surat al-Baqarah menerangkan hal itu. Itulah dalil Malikiyyah dan Hanabilah. Karena itu menurut mereka, ramadhan adalah 'ibadah waahidah. Ramadhan adalah satu ibadah seperti halnya shalat. Dan dalam hal ini cukup niat di awal malam saja untuk mewakili seluruh harinya.

Pendapat kedua dalam permasalah niat ramadhan adalah pendapat yang mengatakan bahwa ramadhan adalah ibaadaat muta'addidah. Dalam arti setiap hari di bulan ramadhan berdiri sendiri-sendiri sebagai ibadah masing-masing. Karena itu tidak cukup satu niat untuk mewakili seluruh hari di bulan ramadhan. Tetapi di wajibkan pengulangan niat di setiap malam ramadhan. Pendapat ini adalah pendapat Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah.

Menurut keduanya, dalil yang mengatakan bahwa ramadhan adalah satu ibadah seperti halnya shalat tidaklah benar. Karena dalam ramadhan, jika seseorang batal di salah satu hari dalam bulan ramadhan, tidak menyebabkan batalnya seluruh puasa di bulan ramadhan. Berbeda halnya dengan shalat, karena dalam shalat ketika ada salah satu raka'at yang rusak, maka batallah shalatnya.

Selain itu ada hadits yang di riwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi yang mengatakan "man lam yubayyit al-shiyaama min al-layli qablaal fajri fala shiyama lahu / Barangsiapa yang tidak meniatkan dirinya untuk berpuasa ramdhan di malam harinya, maka tidak sah puasa ramdhannya". Karena itu di wajibkan niat ramadhan di setiap malamnya. Karena barangsiapa yang tidak niat ramdhan di malam kedua atau malam ketiga dan seterusnya, maka tidak sah puasanya. Inilah dalil yang di jadikan sandaran oleh kelompok yang mewajibkan tajdiidu al-niyyah (pembaruan niyat).

Itulah kira-kira pendapat para ulama di dalam niat ramadhan. Tentu saja semua pendapat bisa di benarkan. Karena selama masih dalam pembahasan furu' dan menggunakan dalil yang bisa di terima, pendapat itu masih bisa di terima. Wallahua'lam.

Oleh : Abdullah Aniqnawawi(Pelajar di Ta'limil 'Atiq, Tanger, Maroko)
Via :  Muslimedianews

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: