Ad 468 X 60

.

Sunday, November 22, 2015

Widgets

Dzulbijadain: Sang pencari keridhaan ..

Ada sebuah kisah menarik yang disampaikan oleh Guru Mulia Sayyidil-Habib Umar ibn Hafidz -matta'anallahu bi thuuli hayatih- saat acara takbir akbar di Masjid Istiqlal beberapa hari yang lalu. Ayyuhal-ikhwan, marilah kita simak sejenak kisah nan mulia dari orang yang mulia pula, ia bernama Dzulbijadain. Semoga kisah ini dapat memotivasi diri kita untuk senantiasa mencari ridhanya Allah dan Rasul-Nya.

Tentang betapa Agung-Nya keridhaan Allah (lebih baik daripada dunia dan se-isinya) di ibrohkan oleh Guru Mulia dengan sebuah kisah seorang sahabat bernama “Dzulbijadain” yang mencari keridhaan Allahu ta'ala. Hatinya dipenuhi dengan perasaan ingin mendapatkan ridha-Nya Allah. Dan dia berkeyakinan bahwa keridhaan Allah adalah yang paling mahal dari apapun di dalam kehidupannya. Dzulbijadain mencari keridhaan dari sumber keridhaan, dia pun merindukan Rasulullah SAW. Dia asyik duduk bersama Nabi SAW dan senang mengikuti ajaran Rasulullah SAW.

Sedangkan kabilah (suku) di kampungnya sendiri adalah orang-orang non Muslim. Kabilahnya melarang ia untuk pergi kepada Rasulullah SAW. Mereka menghalangi Dzulbijadain agar jangan sampai keluar kampung pergi ke Madinah. Tetapi Dzulbijadain selalu mencari kesempatan untuk bertemu Rasulullah SAW di Madinah. Hingga pada suatu malam dia pun berhasil meloloskan diri dari kampungnya setelah mereka tidak tahu. Namun secara kebetulan ada orang yang melihatnya, maka ditangkaplah Dzulbijadain.

Dzulbijadain membujuk orang yang menangkapnya tersebut dengan berkata, “Kalian tidak perlu kepada saya, lepaskanlah, apa yang kalian minta akan aku berikan.” Kebanyakan orang-orang kafir sering tertipu dengan harta dan benda. Mereka bilang, “Saya mau imbalannya semua asetmu menjadi milik kami.” Kata Dzulbijadain, “Baik, aku berikan.” Tanya mereka lagi, “Bahkan semua bekalmu, tinggalkan buat kami?” Jawab Dzulbijadain, “Ambil semuanya buat kamu, kecuali dua baju yang aku pakai." Maka dilepaskanlah Dzulbijadain.

Dengan hati yang senang, pergilah ia ke Madinah hanya dengan dua lembar baju tersisa yang sudah lusuh, yang menutupi bagian bawah (izar/sarung) dan bagian atas (rida’)-nya. Hingga dia dikenal di kalangan sahabat sebagai “Dzulbijadain” (orang yang datang dengan dua lembar baju yang sudah lusuh). Beliau ini merasakan kenikmatan dengan melihat wajah sang Nabi. Dan beliau sangat merasa nikmat apabila mendengar sabda Nabi dan shalat dibelakang Nabi Muhammad SAW. Serta merasa nikmat hadir di Majelis Nabi, makan bersama Nabi, dan berjalan bersama dengan Nabi.

Beliau sendiri banyak menghabiskan waktunya di dalam Masjid. Pernah suatu ketika Nabi berjalan melalui Masjid, sementara terdengar suara Dzulbijadain berdzikir dengan suara keras. Maka sebagian Sahabat mengatakan, “Jangan-jangan dia ingin riya’ (perasaan ingin dipuji) ya Rasulallah?” Rasulullah SAW pun berkata, “Tidak, itu bukan riya’ tapi sikap orang yang merujuk kepada Allahu subhanahu wa ta'ala.”

Suatu peristiwa terjadi, saat Rasulullah SAW pergi untuk perang Khaibar dan Dzulbijadain ikut pergi bersama dengan Nabi. Di dalam perjalanan pulang (kembali ke Madinah), Dzulbijadain pun meninggal dunia. Para sahabat menggali kuburan untuk beliau, termasuk yang menggali kuburnya adalah sahabat-sahabat Nabi yang besar, yaitu Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar radhiyallahu ‘anhuma. Begitu sudah selesai digali, Nabi sendiri yang turun ke liang lahat untuk menerima jasad Dzulbijadain dengan tangan mulianya serta meratakan lahat itu, kemudian baginda pun shalat jenazah atasnya. Rasulullah SAW berdo’a dengan doa ini; “Ya Allah ridhalah Engkau kepadanya, karena sesungguhnya aku ridha kepadanya.” Subhanallah walhamdulillah!

Betapa beruntungnya Dzulbijadain. Sejak malam itu mendapat ridha Rasulullah SAW sampai malam ini betapa beruntung hidupnya. Apakah ada sedikit penyesalan di hatinya atas harta yang dulu dia berikan untuk menebus dirinya? Mereka yang merampas hartanya justru menyesal karena tidak mengikutinya untuk menemui Nabi SAW. "Ya Allah ridhalah Engkau kepada kami, dan jadikan Nabi Muhammad ridha kepada kami. Ya Allah dengan “tajjali” yang Engkau pancarkan pada Dzulbijadain di malam itu, maka bentangkanlah karunia-Mu pada kami saat ini juga." Ayyuhal-ikhwan, mari kita katakan bersama-sama, "Aamiin..."

*Dikutip dari tulisan Akhina Ahmad Ulul Azmi dan sedikit editan dari Alfaqir. Semoga ada manfaatnya ... []

follow twitter @muhsinbsy/@penerbitlayar

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: