Sunday, September 11, 2016
Kembali Kepada Alqur'an dan Hadist Melalui Ulama
Kitab Bulughul-Maram yang dikarang oleh Imam Ibnu Hajsr al-'Asqalni mendapat banyak respon dari ulama lain di masanya dan juga masa setelahnya. Banyak ulama yang kemudian mensyarah (menjelaskan) hadits-hadits Ahkam yang terkumpul dalam kitab Bulghul-Maram tersebut.
Di antara kitab-kitab pensyarah yang masyhur dan banyak menjadi rujukan adalah kitab "Ibanatul-Ahkam", karangan al-Sayyid Alawi 'Abbas al-Malikiy. Beliau adalah ayah kandung dari ulama yang juga masyhur dengan banyak kitabnya, yakni al-Sayyid Muhammad 'Alawi al-Malikiy.
Yang menarik adalah, di mukaddimah Ibanatul-Ahkam ini, al-Sayyid 'Alawi menerangkan tentang bagaimana buruknya fenomena awam yang berani-berani langsung menggali hukum dari al-Quran dan Hadits dengan menganggap bahwa memang semua orang termasuk awam harus paham dalil, baik al-Quran dan juga hadits. Yang pada akhirnya keberanian mereka itu melahirkan pemahaman keliru dan fatwa prematur, walhasil banyak penyelewangan hukum karena memang perkara ijtihad dijalankan oleh yang bukan ahlinya.
Beliau kemudian menjelaskan bahwa orang yang menganggap wajib ijtihad bagi semua orang dan haramnya taqlid kepada mujtahid, atau juga wajib bagi semua muslim termasuk awam mengerti dalil dan teks-teks syariah itu ada karena 2 hal:Bisa jadi ia tidak tahu bagaimana tingginya ijtihad, dan rumitnya memahami teks syariah. Atau yang kedua, yakni ia tidak mengetahui kadar kemampuan dirinya sendiri.
Beliau meneruskan, bahwa kalau saja memang semua orang termasuk awam itu boleh berijtihad, tentunya kita akan mendapatkan riwayat itu dari para sahabat Nabi s.a.w.. Beberapa nama yang menonjol dan sampai pada kita tentang riwayatnya tersebut bukti bahwa tidak semusa sahabat berijtihad, padahal mereka orang yang hidup bersama Nabi s.a.w., menyaksikan turunnya wahyu, mendengar sabda Nabi s.a.w. dan juga mereka tentu sangat paham betul bahasa Arab.
Akan tetapi ketika mereka ingin mengetahui sebuah hukum masalah, mereka mendatangi pata sahabat-sahabat Nabi s.a.w. yang memang punya derajat keilmuan tinggi. Dan mereka yang punya keilmuan pun menjawab. Mestinya kalau memang wajib ijtihad, mereka perintahkan pata sahabat yang bertanya itu untuk berijtihad.
Beliau melanjutkan, kalau awam berijtihad, lalu bagaimana dengan ayat "Fas'alu Ahla-Dzikri ..."?, karena memang tidak semua orang mampu menggali hukum dari teks-teks langsung kecuali melalui jalan ulama yang mengerti. Dan kalau seandainya awam juga wajib berijtihad, tentu awam-awam di 3 generasi emas lebih layak diikuti dibandingkan awam zaman sekarang. Toh generasi awal itulah yang mendapatkan legitimasi nabawi bahwa mereka lah generasi terbaik.
Tapi toh nyatanya, yang dilakukan mereka zaman itu juga mengikuti siapa yang lebih mengerti, tidak ada yang berani menghinakan al-Quran dan hadits dengan menggalinya langsung tanpa alat yang memadai.
Tentu kita ingat bagaimana kejadian wafatnya salah seorang sahabat karena ia mendapatkan fatwa dari kalangannya bahwa tidak ada keringanan baginya ketika junub kecuali tetap mandi, padahal ia dalam keadaan sakit. Akhirnya ia amalkan dan kemudian wafat.
Kita juga tahu, bahwa dulu juga ada sahabat yang berguling-guling di tanah karena menganggap begitulah teknis tayammum untuk mengganti air pada mandi janabah. Akan tetapi apakah itu diikuti?
Wallahul-musta'an
-rahimallahu al-sayyid 'Alawi bin Abbas al-Maliky rahmah wasi'ah.
Sumber : Ahmad Zarkasih
Related Posts:
alqur'an hadist
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: