Ad 468 X 60

.

Saturday, July 20, 2013

Widgets

Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam Siapa Berdusta Atas Nama Salaf (Bagian 3)

Siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula yang sebenarnya berdusta atas nama salaf?

Ketika seseorang bertanya kepada Imam Ibnu Hajar tentang kesepakatan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i terhadap ke­makruhan membangun di atas kubur­an namun di kesempatan lain Imam Na­wawi dan Imam Rafi’i bersepakat di­bolehkannya berwasiat untuk ’imarah ku­buran para ulama dan shalihin karena un­tuk menghidupkan ziarah dan tabaruk dengan kuburan tersebut, apakah dua ucapan ini kontradiktif?

Imam Ibnu Hajar menjawab, ”Penda­pat yang umum dinukil yang menjadi pa­tokan --sebagaimana yang ditegaskan (dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (Al-Majmu’) syarah Al-Muhadzdzab -- adalah diharamkannya membangun di ku­buran yang musabbalah (yaitu peku­bur­an umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum).


Kalimat al-maqbarah al-musabbalah inilah yang pemahamannya tak diserta­kan oleh Firanda. Ia sekadar menulis dan menukil, namun pemahaman yang di­maksud oleh Imam Ibnu Hajar ditolak­nya. Justru di sini Firanda telah menya­lah­guna­kan ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

Dalam Madzhab Syafi’i rahimahul­lah, ada beberapa hukum membangun ba­ngunan di maqbarah (pekuburan). Per­tama, hukum al-bina’ (bangunan) di tanah kubur milik sendiri. Hukumnya, ada ulama yang mengatakan makruh, tapi ada juga yang berpendapat boleh. Imam Ibnu Hajar membolehkan mem­bangun, semi­sal qubbah bagi kuburan orang shalih. Bahkan ia menilai, itu se­buah qurbah (pendekatan diri kepada Allah).

Yang kedua hukum al-bina di peku­buran musabbalah (pekuburan yang telah dibiasakan oleh warga untuk meng­ubur warga setempat yang meninggal), hu­kumnya diperinci sebagai berikut:

Jika si mayat yang dikubur itu orang biasa, hukum membangun sesuatu di atas kuburan tersebut adalah haram dan wajib dihancurkan. Jika si mayat yang dikubur itu orang shalih, hukum mem­bangun sesuatu di atas kuburan tersebut hukumnya boleh. Tapi ada pula yang berpendapat tidak boleh, dan ini dipelo­pori oleh Imam Nawawi dan diikuti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.

Simak penjelasan berikut ini, Imam Na­wawi berkata, “Dan dimakruhkan mem­plester kuburan, juga makruh mem­buat tulisan (selain untuk nama penge­nal) atasnya. Dan apabila membangun suatu bangunan di pekuburan musab­ba­lah, bangunan itu dihancurkan.” (Minhaj ath-Thalibin: 1/360).

Dalam kitab yang lain Imam Nawawi berkata, “Berkata sahabat-sahabat kami rahimahumullah, ‘Tidak ada perbedaan di dalam bangunan antara bangunan qubbah, rumah, atau selainnya. Kemudi­an dilihat, jika pekuburan itu pekuburan musabbalah, semua itu diharamkan. (Al-Majmu’: 5/260).

Ia juga berkata dalam kitab Tahdzib-nya, “Dan dimakamkan, yakni Ibrahim putra Rasulullah SAW, di Pekuburan Baqi’, kuburannya termasyhur dan di atasnya dibangun qubah pada saat permulaan Baqi’.” (Tahdzib Al-Asma juz 1 hlm. 116).

Umat Islam tak Menyembah Nabinya

Kejanggalan ulasan Firanda se­makin terasa saat dalam salah satu tulisannya ia mengatakan, ”Para pem­baca yang dirahmati Allah, dalam artikel-artikel yang saya tulis untuk menyang­gah aqidah dan keyakinan Habib Munzir dan para pemak­mur kuburan, saya sama sekali tidak menukil perkataan Muhammad bin Abdul Wahhaab rahi­mahullah… bahkan saya menukil per­ka­taan para ulama Syafi­’iyah…!!!! Namun tatkala sebagian me­reka tidak setuju dengan apa yang saya paparkan, dengan mudahnya mengata­kan dan menuduh saya sebagai Wahabi. Kenapa tidak sekalian saja mengatakan bahwa Imam As-Syafii dan Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitamiy (yang tidak se­tuju dengan hobi mereka memak­murkan dan mencari barakah di kuburan) juga adalah Wahabi??!!”

Masalahnya, siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum mus­limin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ah­­kan, dan menyesat-nyesatkan kaum mus­limin lainnya? Siapa pula sebenar­nya yang berdusta atas nama salaf?

Para pengikut Madzhab Imam Syafi’i, termasuk Habib Munzir, tentu paham betul bahwa larangan menjadikan ku­buran sebagai masjid adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larang­an menyembah kuburan”. Apa yang di­tulis Habib Munzir mestinya disimak ber­dasarkan relevansi tema dari apa yang ia sampaikan.

Demikian pula jawaban Imam Ibnu Hajar Al-Haitami kepada si penanya, ber­kaitan pembangunan yang ada di tanah kuburan yang musabbalah, bukan milik pribadi. Adapun tanah kuburan milik pribadi, Ibnu Hajar dan An-Nawawi serta yang lainnya menghukuminya makruh. Itu pun jika tidak ada hajat. Jika ada hajat, seperti khawatir dicuri, atau digali binatang buas atau kebanjiran, hukum­nya boleh alias tidak makruh.

Dari keterangan di atas tampak pula bahwa Imam Nawawi dan Ibnu Hajar bersepakat dalam pendapat mereka bahwa dibolehkan membangun qubah di kuburan nabi, syuhada, awliya’, dan shalihin di pekuburan, selain musab­balah dan mauqufah (tanah waqaf).

Demikianlah. Dalam melontarkan ber­bagai tuduhan kepada Habib Munzir, tampak bahwa Firanda telah menyalah­gunakan ucapan para imam, Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar, dan para imam lainnya. Ia mengklaim bahwa para imam tersebut melarang membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin dan seolah ingin membuat kesan bahwa para ulama besar salafush shalih memiliki paham yang bersesuaian dengan paham kaum Wahhabi.

Membangun masjid di atas kubur adalah hal yang telah terjadi pada makam Nabi, Sayyidina Abu Bakar, dan Sayyi­dina Umar. Memang benar bahwa tadi­nya kubur-kubur mulia ini berada di sam­ping masjid. Dan ini menunjukkan boleh­nya mengubur di dekat masjid. Tetapi kemudian masjid Nabi diperluas, sehing­ga dibangunlah masjid Nabi itu, termasuk di atas kubur-kubur mulia tersebut. Na­mun niatnya bukanlah untuk menyembah dan bersujud kepada ku­bur-kubur mulia itu.

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah melaknat orang Yahudi, yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud.”

Doa Nabi SAW tersebut agar ma­kam­nya tidak dijadikan watsanan yu’bad (berhala yang disembah) merupakan titik penerang atas makna dan illat dari hadits di atas. Juga merupakan sebuah isyarat Nabi SAW pada umatnya agar tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, me­nyembah kuburan nabi mereka sebagai watsanan yu’bad.

Telah terkabullah doa Nabi SAW tersebut. Terbukti, kaum muslimin sejak awal hingga sekarang ini tidak ada satu pun yang menjadikan kuburan Nabi SAW sebagai watsanan yu’bad.

Dalam ilmu-Nya, yang terdahulu, Allah SWT menakdirkan sebuah masjid yang agung dibangun di atas makam nabi-Nya yang mulia. Bagi Allah SWT, Nabi SAW terlalu mulia jika jasadnya menjadi perantara untuk hal-hal ter­larang yang membuat pelakunya terlak­nat. Apatah lagi kalau hal itu harus ber­langsung selama berabad-abad dan me­libatkan setiap insan muslim dari masa ke masa.

Andai mendirikan masjid di atas ma­kam Rasulullah SAW terlarang, tentu Allah SWT menjaga jasadnya dari hal tersebut. Itu pertanda bahwa mendirikan masjid di atas makam adalah hal yang diridhai-Nya. Orang yang tak mema­hami ini adalah orang yang tak me­ngenal kedudukan Nabi SAW di sisi Tuhannya.

Sumber : http://majalah-alkisah.com

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: