Saturday, July 20, 2013
Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam Siapa Berdusta Atas Nama Salaf (Bagian 3)
Siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula yang sebenarnya berdusta atas nama salaf?Ketika seseorang bertanya kepada Imam Ibnu Hajar tentang kesepakatan Imam Nawawi dan Imam Rafi’i terhadap kemakruhan membangun di atas kuburan namun di kesempatan lain Imam Nawawi dan Imam Rafi’i bersepakat dibolehkannya berwasiat untuk ’imarah kuburan para ulama dan shalihin karena untuk menghidupkan ziarah dan tabaruk dengan kuburan tersebut, apakah dua ucapan ini kontradiktif?
Imam Ibnu Hajar menjawab, ”Pendapat yang umum dinukil yang menjadi patokan --sebagaimana yang ditegaskan (dipastikan) oleh An-Nawawi dalam (Al-Majmu’) syarah Al-Muhadzdzab -- adalah diharamkannya membangun di kuburan yang musabbalah (yaitu pekuburan umum yang lokasinya adalah milik kaum muslimin secara umum).
Kalimat al-maqbarah al-musabbalah inilah yang pemahamannya tak disertakan oleh Firanda. Ia sekadar menulis dan menukil, namun pemahaman yang dimaksud oleh Imam Ibnu Hajar ditolaknya. Justru di sini Firanda telah menyalahgunakan ucapan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.
Dalam Madzhab Syafi’i rahimahullah, ada beberapa hukum membangun bangunan di maqbarah (pekuburan). Pertama, hukum al-bina’ (bangunan) di tanah kubur milik sendiri. Hukumnya, ada ulama yang mengatakan makruh, tapi ada juga yang berpendapat boleh. Imam Ibnu Hajar membolehkan membangun, semisal qubbah bagi kuburan orang shalih. Bahkan ia menilai, itu sebuah qurbah (pendekatan diri kepada Allah).
Yang kedua hukum al-bina di pekuburan musabbalah (pekuburan yang telah dibiasakan oleh warga untuk mengubur warga setempat yang meninggal), hukumnya diperinci sebagai berikut:
Jika si mayat yang dikubur itu orang biasa, hukum membangun sesuatu di atas kuburan tersebut adalah haram dan wajib dihancurkan. Jika si mayat yang dikubur itu orang shalih, hukum membangun sesuatu di atas kuburan tersebut hukumnya boleh. Tapi ada pula yang berpendapat tidak boleh, dan ini dipelopori oleh Imam Nawawi dan diikuti Imam Ibnu Hajar Al-Haitami.
Simak penjelasan berikut ini, Imam Nawawi berkata, “Dan dimakruhkan memplester kuburan, juga makruh membuat tulisan (selain untuk nama pengenal) atasnya. Dan apabila membangun suatu bangunan di pekuburan musabbalah, bangunan itu dihancurkan.” (Minhaj ath-Thalibin: 1/360).
Dalam kitab yang lain Imam Nawawi berkata, “Berkata sahabat-sahabat kami rahimahumullah, ‘Tidak ada perbedaan di dalam bangunan antara bangunan qubbah, rumah, atau selainnya. Kemudian dilihat, jika pekuburan itu pekuburan musabbalah, semua itu diharamkan. (Al-Majmu’: 5/260).
Ia juga berkata dalam kitab Tahdzib-nya, “Dan dimakamkan, yakni Ibrahim putra Rasulullah SAW, di Pekuburan Baqi’, kuburannya termasyhur dan di atasnya dibangun qubah pada saat permulaan Baqi’.” (Tahdzib Al-Asma juz 1 hlm. 116).
Umat Islam tak Menyembah Nabinya
Kejanggalan ulasan Firanda semakin terasa saat dalam salah satu tulisannya ia mengatakan, ”Para pembaca yang dirahmati Allah, dalam artikel-artikel yang saya tulis untuk menyanggah aqidah dan keyakinan Habib Munzir dan para pemakmur kuburan, saya sama sekali tidak menukil perkataan Muhammad bin Abdul Wahhaab rahimahullah… bahkan saya menukil perkataan para ulama Syafi’iyah…!!!! Namun tatkala sebagian mereka tidak setuju dengan apa yang saya paparkan, dengan mudahnya mengatakan dan menuduh saya sebagai Wahabi. Kenapa tidak sekalian saja mengatakan bahwa Imam As-Syafii dan Imam An-Nawawi dan Ibnu Hajr Al-Haitamiy (yang tidak setuju dengan hobi mereka memakmurkan dan mencari barakah di kuburan) juga adalah Wahabi??!!”
Masalahnya, siapa yang sebenarnya tak memahami ucapan para imam itu, para pengikut setia imam-imam kaum muslimin itu ataukah kaum yang gemar menyalah-nyalahkan, membid’ah-bid’ahkan, dan menyesat-nyesatkan kaum muslimin lainnya? Siapa pula sebenarnya yang berdusta atas nama salaf?
Para pengikut Madzhab Imam Syafi’i, termasuk Habib Munzir, tentu paham betul bahwa larangan menjadikan kuburan sebagai masjid adalah kalimat majaz (kiasan) yang maknanya “larangan menyembah kuburan”. Apa yang ditulis Habib Munzir mestinya disimak berdasarkan relevansi tema dari apa yang ia sampaikan.
Demikian pula jawaban Imam Ibnu Hajar Al-Haitami kepada si penanya, berkaitan pembangunan yang ada di tanah kuburan yang musabbalah, bukan milik pribadi. Adapun tanah kuburan milik pribadi, Ibnu Hajar dan An-Nawawi serta yang lainnya menghukuminya makruh. Itu pun jika tidak ada hajat. Jika ada hajat, seperti khawatir dicuri, atau digali binatang buas atau kebanjiran, hukumnya boleh alias tidak makruh.
Dari keterangan di atas tampak pula bahwa Imam Nawawi dan Ibnu Hajar bersepakat dalam pendapat mereka bahwa dibolehkan membangun qubah di kuburan nabi, syuhada, awliya’, dan shalihin di pekuburan, selain musabbalah dan mauqufah (tanah waqaf).
Demikianlah. Dalam melontarkan berbagai tuduhan kepada Habib Munzir, tampak bahwa Firanda telah menyalahgunakan ucapan para imam, Imam Syafi’i, Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar, dan para imam lainnya. Ia mengklaim bahwa para imam tersebut melarang membangun di atas kuburan para ulama dan shalihin dan seolah ingin membuat kesan bahwa para ulama besar salafush shalih memiliki paham yang bersesuaian dengan paham kaum Wahhabi.
Membangun masjid di atas kubur adalah hal yang telah terjadi pada makam Nabi, Sayyidina Abu Bakar, dan Sayyidina Umar. Memang benar bahwa tadinya kubur-kubur mulia ini berada di samping masjid. Dan ini menunjukkan bolehnya mengubur di dekat masjid. Tetapi kemudian masjid Nabi diperluas, sehingga dibangunlah masjid Nabi itu, termasuk di atas kubur-kubur mulia tersebut. Namun niatnya bukanlah untuk menyembah dan bersujud kepada kubur-kubur mulia itu.
Dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, Rasulullah SAW bersabda, “Semoga Allah melaknat orang Yahudi, yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud.”
Doa Nabi SAW tersebut agar makamnya tidak dijadikan watsanan yu’bad (berhala yang disembah) merupakan titik penerang atas makna dan illat dari hadits di atas. Juga merupakan sebuah isyarat Nabi SAW pada umatnya agar tidak melakukan seperti apa yang dilakukan oleh orang Yahudi dan Nashara, menyembah kuburan nabi mereka sebagai watsanan yu’bad.
Telah terkabullah doa Nabi SAW tersebut. Terbukti, kaum muslimin sejak awal hingga sekarang ini tidak ada satu pun yang menjadikan kuburan Nabi SAW sebagai watsanan yu’bad.
Dalam ilmu-Nya, yang terdahulu, Allah SWT menakdirkan sebuah masjid yang agung dibangun di atas makam nabi-Nya yang mulia. Bagi Allah SWT, Nabi SAW terlalu mulia jika jasadnya menjadi perantara untuk hal-hal terlarang yang membuat pelakunya terlaknat. Apatah lagi kalau hal itu harus berlangsung selama berabad-abad dan melibatkan setiap insan muslim dari masa ke masa.
Andai mendirikan masjid di atas makam Rasulullah SAW terlarang, tentu Allah SWT menjaga jasadnya dari hal tersebut. Itu pertanda bahwa mendirikan masjid di atas makam adalah hal yang diridhai-Nya. Orang yang tak memahami ini adalah orang yang tak mengenal kedudukan Nabi SAW di sisi Tuhannya.
Sumber : http://majalah-alkisah.com
Related Posts:
Hukum mendirikan masjid diatas makam mendirikan masjid di atas makam salaf
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: