Ad 468 X 60

.

Saturday, July 20, 2013

Widgets

Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam : Apa Kata Al-Qur’an? (Bagian 5)

“Tidak ada dua agama di tanah Arab.”

”Tidak Ada Dua Agama...”


Pada ayat Al-Qur’an di atas, Allah SWT menuturkan kisah mendirikan mas­jid di atas makam yang dilakukan orang-orang mukmin; sementara pada hadits yang pertama, Nabi SAW mengisahkan hal yang sama yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Konteksnya tentu saja berbeda. Orang-orang muk­min mendirikan masjid di atas makam dengan maksud untuk mengais berkah dari jejak-jejak peninggalan orang shalih yang dimuliakan Allah SWT, dan seba­gai salah satu upaya pemeliharaan atas jejak-jejak hidup mereka dalam rentang waktu yang lama. Adapun orang-orang Yahudi dan Nasrani melakukan hal se­rupa dengan maksud agar makam itu men­jadi sesem­bahan dan sekutu bagi Allah SWT.

Simaklah baik-baik, Nabi SAW me­laknat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan makam para nabi se­bagai masjid. Mereka menyembah ma­kam-makam itu. Mereka sujud dan men­jadikannya kiblat. Menurut mereka, para nabi adalah sekutu Allah SWT yang laik disembah. Karenanya, kedua dalil itu tak tepat kalau disejajarkan dalam konteks yang sama.

Dalilnya adalah kata-kata Rasulullah SAW sendiri dalam hadits yang sama, “Tidak ada dua agama di tanah Arab.” Maknanya: Jangan meniru perbuatan mereka hingga kalian pun kafir sehingga di tanah Arab ada dua agama. Padahal Allah SWT memerintahkan agar tidak ada satu pun agama di tanah Arab selain aga­ma Islam dan menyembah Allah SWT se­mata.

Kekufuran tidak disebabkan lantaran mendirikan masjid di atas makam yang hanya dimaksudkan untuk mencari ber­kah, tapi jika makam disembah dan di­sekutukan. Ini tentu tidak diragukan oleh seorang muslim pun. Bila tidak de­mikian halnya, sebagian besar umat ini tergolong kafir dan berita yang disampai­kan Ra­sulullah SAW tidak benar adanya, yaitu berita yang menyatakan tidak ada dua agama di tanah Arab.

Di tanah Arab sangat banyak masjid didirikan di atas makam tidak lama sepe­ninggal beliau, bahkan saat beliau SAW masih hidup. Sedangkan, pendiri­an mas­jid di atas makam beliau terjadi di masa tokoh-tokoh tabi’in. Dan saat itu adalah masa-masa terbaik umat Islam.

Zaman Sahabat dan Tabi’in

Dikisahkan, suatu saat, sepucuk su­rat Rasulullah sampai ke tangan Abu Jundal, salah seorang sahabat Rasul­ullah SAW. Kala surat itu sampai, Abu Bushair (juga sahabat mulia Rasul yang mene­mani Abu Jundal) tengah menga­lami sakratul maut. Ia wafat dengan posisi menggenggam surat Rasul. Ke­mudian Abu Jundal mengebumikannya di tempat itu dan membangun masjid di atasnya.

Kisah di atas merupakan kisah yang dituturkan secara panjang lebar, seleng­kapnya dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 halaman 334 dan atau kitab Al-Isti’ab jilid 4 halaman 21-23 karya Ibnu Hajar. Per­tanyaannya, apakah mungkin se­orang sahabat Rasululullah SAW seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, kenapa tidak ada seorang sahabat lain pun yang menegurnya? Atau kenapa Rasulullah sendiri tidak menegur ”kesyirikan” itu?

Di masa tabi’in, yaitu masa kebera­daan imam-imam besar seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, fuqaha Madinah, Kufah, Bashrah, Syam, dan kawasan Islam lain bersepakat, di­lanjutkan oleh umat setelah mereka, un­tuk memasukkan rumah nabi SAW, ter­masuk makam beliau di dalamnya, ke da­lam bagian masjid dan ditempatkan di tengah.

Ijma’ mereka adalah hujjah. Andai hal tersebut terlarang, tentu mustahil umat di masa tabi’in sepakat atas suatu kemun­karan atau menyepakati kesesat­an. Me­reka memahami bahwa yang dimaksud larangan mendirikan masjid di atas ma­kam adalah karena adanya alasan la­rangan, dan alasan ini lenyap karena iman dan aqidah telah tertanam kuat. Andai mereka tak tahu adanya la­rangan tersebut karena alasan tertentu, tentu me­reka tak akan tinggal diam atas hal ter­sebut meski karena keperluan mem­per­luas masjid. Sebab Masjid Na­bawi bisa saja diperluas dari sisi kiblat, sisi yang berhadapan dengan makam dan sisi se­latan, bukan sisi utara tempat makam Ra­sulullah SAW berada.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz-lah yang mengeluarkan instruksi perluasan masjid sekaligus membebaskan tanah sekitar masjid dengan dana yang tidak kecil untuk selanjutnya dimasukkan ke areal masjid. Tentu bisa saja ia membe­baskan tanah-tanah di selain arah ma­kam Nabi SAW agar rumah Sayyidah Aisyah, yang di dalamnya ada makam Nabi SAW, berada di luar masjid dan hanya berdekatan seperti posisi yang sama di masa Nabi SAW masih hidup.

Karena Umar bin Abdul Aziz melaku­kan hal tersebut di hadapan para tabi’in lainnya tanpa dicegah oleh siapa pun, ini secara pasti menunjukkan bolehnya men­dirikan masjid di atas makam. Yang di­larang adalah niat shalat menghadap makam yang berujung pada penyem­bahan makam. Karena itu saat Umar bin Abdul Aziz memasukkan makam ke da­lam bagian masjid, rumah tempat ma­kam Nabi SAW berada dibentuk segitiga de­ngan tujuan agar tidak memungkinkan sha­lat menghadap makam tersebut.

Tetap Umat Terbaik

Nabi SAW bersabda terkait orang-orang yang menjadikan makam sebagai masjid, “Mereka adalah makhluk paling buruk.” Sementara Al-Qur`an dan sun­nah mutawatir menyebutkan, umat Rasulullah SAW adalah umat terbaik yang dimuncul­kan di tengah-tengah ma­nusia, umat pa­ling mulia secara mutlak, umat adil yang dijadikan saksi oleh Allah SWT terhadap umat-umat sebelumnya.

Allah SWT berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuat­an) ma­nusia dan agar Rasul (Muham­mad) men­jadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang men­jadi kiblatmu (sekarang) me­lainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pe­mindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesung­guhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” — QS Al-Baqarah: 143.

Allah SWT berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang mak­ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan ber­iman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, tapi kebanyakan mereka ada­lah orang-orang yang fasik.” — QS Ali ‘Imran: 110.

Allah SWT menyebutkan, umat Mu­hammad memiliki kemuliaan yang mem­buat iri pada nabi dan rasul, hingga me­reka berharap menjadi umatnya. Nabi SAW mengabarkan, umat ini tidak akan sepakat di atas kesesatan, dan siapa pun yang tidak mengikuti jalan mereka ter­masuk penghuni neraka. Allah SWT ber­firman, “Dan barang siapa menen­tang Rasul sesudah jelas kebenaran bagi­nya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia le­luasa terhadap kesesatan yang telah di­kuasainya itu dan Kami masukkan ia ke da­lam Jahannam, dan Jahannam itu sebu­ruk-buruk tempat kembali.” — QS An-Nisa`: 115.

Apa yang menurut umat ini baik ber­arti menurut Allah SWT juga baik, dan masih banyak lagi keutamaan lain yang dimiliki umat Muhammad SAW. Allah SWT, berdasarkan ilmu-Nya, yang telah ter­­dahulu, berdasarkan qadha dan qa­dar-Nya sejak zaman azali, sudah tahu bah­wa umat ini akan sepakat dari awal hing­ga akhir untuk mendirikan masjid di atas makam nabi dan rasul paling mulia, Ra­sulullah SAW, seperti yang Allah SWT sam­paikan dan isyaratkan kepada nabi-Nya, seperti yang akan dijelaskan selan­jutnya.

Umat ini juga sepakat, baik salaf mau­pun khalaf, untuk mendirikan masjid-mas­jid di atas makam para wali, orang-orang shalih, dan ulama yang meng­amalkan ilmu. Di antara para wali ter­sebut ada yang mendirikan masjid di atas makam gurunya, mendirikan kubah di atasnya, bahkan sengaja mengada­kan perjalanan jauh untuk berziarah ke makam mereka. Imam Nawawi pernah melakukan perja­lan­an jauh dari Syam ke Mesir untuk ber­ziarah ke makam Imam Syafi’i, yang di atasnya terdapat masjid dan kubah. Dan masih banyak lagi makam serupa yang di atasnya terdapat masjid dan kubah, baik di belahan bumi timur ataupun barat.

Berdasarkan penjelasan di atas, bila tak jeli, seolah ada sisi kontradiksi antara berita yang disampaikan Allah SWT dan berita yang disampaikan oleh Rasul-Nya.

Umat ini adalah umat terbaik yang terlahir untuk manusia, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkar­an, se­mentara dari sisi lain umat ini adalah umat terburuk yang muncul di tengah-tengah manusia, mereka yang sepakat melakukan kemunkaran, mendirikan mas­jid di atas makam nabi, para wali, dan orang-orang shalih.

Umat ini adalah umat terbaik dan adil, sekaligus fasik, yang sepakat untuk men­durhakai Allah SWT dan Rasul-Nya, me­nyalahi perintah-Nya secara terang-te­rangan. Di satu sisi umat ini adalah umat yang disayang dan mendapat ampunan, seperti yang disampaikan Nabi SAW, di sisi lain umat ini terlaknat, yang mendiri­kan masjid di atas makam nabinya, se­perti halnya orang-orang Yahudi dan Nas­rani, yang menjadikan ma­kam para nabi sebagai tempat ibadah.

Sementara itu umat ini juga umat yang wali dan ulamanya memiliki ke­mu­lia­an dan karamah nyata, mereka para kekasih dan orang-orang pilihan Allah SWT yang tidak memiliki rasa takut atau­pun bersedih hati. Sekaligus pula, umat ini adalah umat yang memusuhi dan me­merangi Allah SWT, menyalahi perintah-Nya, sepakat melakukan ke­munkaran, yang terlaknat pelakunya.

Umat ini tidak akan sepakat di atas kesesatan hingga kesepakatan mereka atas suatu hal menjadi hujjah dan dalil syar’i, seperti halnya Al-Qur‘an dan sun­nah, sementara itu ada golongan lain yang sepakat di atas kesesatan dan ke­munkaran, menyalahi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.

Gambaran-gambaran kontradiktif ini tentu saja mustahil.

Bersambung

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: