Saturday, July 20, 2013
Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam : Apa Kata Al-Qur’an? (Bagian 5)
“Tidak ada dua agama di tanah Arab.””Tidak Ada Dua Agama...”
Pada ayat Al-Qur’an di atas, Allah SWT menuturkan kisah mendirikan masjid di atas makam yang dilakukan orang-orang mukmin; sementara pada hadits yang pertama, Nabi SAW mengisahkan hal yang sama yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Konteksnya tentu saja berbeda. Orang-orang mukmin mendirikan masjid di atas makam dengan maksud untuk mengais berkah dari jejak-jejak peninggalan orang shalih yang dimuliakan Allah SWT, dan sebagai salah satu upaya pemeliharaan atas jejak-jejak hidup mereka dalam rentang waktu yang lama. Adapun orang-orang Yahudi dan Nasrani melakukan hal serupa dengan maksud agar makam itu menjadi sesembahan dan sekutu bagi Allah SWT.
Simaklah baik-baik, Nabi SAW melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan makam para nabi sebagai masjid. Mereka menyembah makam-makam itu. Mereka sujud dan menjadikannya kiblat. Menurut mereka, para nabi adalah sekutu Allah SWT yang laik disembah. Karenanya, kedua dalil itu tak tepat kalau disejajarkan dalam konteks yang sama.
Dalilnya adalah kata-kata Rasulullah SAW sendiri dalam hadits yang sama, “Tidak ada dua agama di tanah Arab.” Maknanya: Jangan meniru perbuatan mereka hingga kalian pun kafir sehingga di tanah Arab ada dua agama. Padahal Allah SWT memerintahkan agar tidak ada satu pun agama di tanah Arab selain agama Islam dan menyembah Allah SWT semata.
Kekufuran tidak disebabkan lantaran mendirikan masjid di atas makam yang hanya dimaksudkan untuk mencari berkah, tapi jika makam disembah dan disekutukan. Ini tentu tidak diragukan oleh seorang muslim pun. Bila tidak demikian halnya, sebagian besar umat ini tergolong kafir dan berita yang disampaikan Rasulullah SAW tidak benar adanya, yaitu berita yang menyatakan tidak ada dua agama di tanah Arab.
Di tanah Arab sangat banyak masjid didirikan di atas makam tidak lama sepeninggal beliau, bahkan saat beliau SAW masih hidup. Sedangkan, pendirian masjid di atas makam beliau terjadi di masa tokoh-tokoh tabi’in. Dan saat itu adalah masa-masa terbaik umat Islam.
Zaman Sahabat dan Tabi’in
Dikisahkan, suatu saat, sepucuk surat Rasulullah sampai ke tangan Abu Jundal, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Kala surat itu sampai, Abu Bushair (juga sahabat mulia Rasul yang menemani Abu Jundal) tengah mengalami sakratul maut. Ia wafat dengan posisi menggenggam surat Rasul. Kemudian Abu Jundal mengebumikannya di tempat itu dan membangun masjid di atasnya.
Kisah di atas merupakan kisah yang dituturkan secara panjang lebar, selengkapnya dapat dilihat dalam karya Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Ibnu Asakir jilid 8 halaman 334 dan atau kitab Al-Isti’ab jilid 4 halaman 21-23 karya Ibnu Hajar. Pertanyaannya, apakah mungkin seorang sahabat Rasululullah SAW seperti Abu Jundal melakukan perbuatan syirik? Jika itu syirik, kenapa tidak ada seorang sahabat lain pun yang menegurnya? Atau kenapa Rasulullah sendiri tidak menegur ”kesyirikan” itu?
Di masa tabi’in, yaitu masa keberadaan imam-imam besar seperti Umar bin Abdul Aziz, Hasan Al-Bashri, Ibnu Sirin, fuqaha Madinah, Kufah, Bashrah, Syam, dan kawasan Islam lain bersepakat, dilanjutkan oleh umat setelah mereka, untuk memasukkan rumah nabi SAW, termasuk makam beliau di dalamnya, ke dalam bagian masjid dan ditempatkan di tengah.
Ijma’ mereka adalah hujjah. Andai hal tersebut terlarang, tentu mustahil umat di masa tabi’in sepakat atas suatu kemunkaran atau menyepakati kesesatan. Mereka memahami bahwa yang dimaksud larangan mendirikan masjid di atas makam adalah karena adanya alasan larangan, dan alasan ini lenyap karena iman dan aqidah telah tertanam kuat. Andai mereka tak tahu adanya larangan tersebut karena alasan tertentu, tentu mereka tak akan tinggal diam atas hal tersebut meski karena keperluan memperluas masjid. Sebab Masjid Nabawi bisa saja diperluas dari sisi kiblat, sisi yang berhadapan dengan makam dan sisi selatan, bukan sisi utara tempat makam Rasulullah SAW berada.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz-lah yang mengeluarkan instruksi perluasan masjid sekaligus membebaskan tanah sekitar masjid dengan dana yang tidak kecil untuk selanjutnya dimasukkan ke areal masjid. Tentu bisa saja ia membebaskan tanah-tanah di selain arah makam Nabi SAW agar rumah Sayyidah Aisyah, yang di dalamnya ada makam Nabi SAW, berada di luar masjid dan hanya berdekatan seperti posisi yang sama di masa Nabi SAW masih hidup.
Karena Umar bin Abdul Aziz melakukan hal tersebut di hadapan para tabi’in lainnya tanpa dicegah oleh siapa pun, ini secara pasti menunjukkan bolehnya mendirikan masjid di atas makam. Yang dilarang adalah niat shalat menghadap makam yang berujung pada penyembahan makam. Karena itu saat Umar bin Abdul Aziz memasukkan makam ke dalam bagian masjid, rumah tempat makam Nabi SAW berada dibentuk segitiga dengan tujuan agar tidak memungkinkan shalat menghadap makam tersebut.
Tetap Umat Terbaik
Nabi SAW bersabda terkait orang-orang yang menjadikan makam sebagai masjid, “Mereka adalah makhluk paling buruk.” Sementara Al-Qur`an dan sunnah mutawatir menyebutkan, umat Rasulullah SAW adalah umat terbaik yang dimunculkan di tengah-tengah manusia, umat paling mulia secara mutlak, umat adil yang dijadikan saksi oleh Allah SWT terhadap umat-umat sebelumnya.
Allah SWT berfirman, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” — QS Al-Baqarah: 143.
Allah SWT berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, tapi kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” — QS Ali ‘Imran: 110.
Allah SWT menyebutkan, umat Muhammad memiliki kemuliaan yang membuat iri pada nabi dan rasul, hingga mereka berharap menjadi umatnya. Nabi SAW mengabarkan, umat ini tidak akan sepakat di atas kesesatan, dan siapa pun yang tidak mengikuti jalan mereka termasuk penghuni neraka. Allah SWT berfirman, “Dan barang siapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” — QS An-Nisa`: 115.
Apa yang menurut umat ini baik berarti menurut Allah SWT juga baik, dan masih banyak lagi keutamaan lain yang dimiliki umat Muhammad SAW. Allah SWT, berdasarkan ilmu-Nya, yang telah terdahulu, berdasarkan qadha dan qadar-Nya sejak zaman azali, sudah tahu bahwa umat ini akan sepakat dari awal hingga akhir untuk mendirikan masjid di atas makam nabi dan rasul paling mulia, Rasulullah SAW, seperti yang Allah SWT sampaikan dan isyaratkan kepada nabi-Nya, seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.
Umat ini juga sepakat, baik salaf maupun khalaf, untuk mendirikan masjid-masjid di atas makam para wali, orang-orang shalih, dan ulama yang mengamalkan ilmu. Di antara para wali tersebut ada yang mendirikan masjid di atas makam gurunya, mendirikan kubah di atasnya, bahkan sengaja mengadakan perjalanan jauh untuk berziarah ke makam mereka. Imam Nawawi pernah melakukan perjalanan jauh dari Syam ke Mesir untuk berziarah ke makam Imam Syafi’i, yang di atasnya terdapat masjid dan kubah. Dan masih banyak lagi makam serupa yang di atasnya terdapat masjid dan kubah, baik di belahan bumi timur ataupun barat.
Berdasarkan penjelasan di atas, bila tak jeli, seolah ada sisi kontradiksi antara berita yang disampaikan Allah SWT dan berita yang disampaikan oleh Rasul-Nya.
Umat ini adalah umat terbaik yang terlahir untuk manusia, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran, sementara dari sisi lain umat ini adalah umat terburuk yang muncul di tengah-tengah manusia, mereka yang sepakat melakukan kemunkaran, mendirikan masjid di atas makam nabi, para wali, dan orang-orang shalih.
Umat ini adalah umat terbaik dan adil, sekaligus fasik, yang sepakat untuk mendurhakai Allah SWT dan Rasul-Nya, menyalahi perintah-Nya secara terang-terangan. Di satu sisi umat ini adalah umat yang disayang dan mendapat ampunan, seperti yang disampaikan Nabi SAW, di sisi lain umat ini terlaknat, yang mendirikan masjid di atas makam nabinya, seperti halnya orang-orang Yahudi dan Nasrani, yang menjadikan makam para nabi sebagai tempat ibadah.
Sementara itu umat ini juga umat yang wali dan ulamanya memiliki kemuliaan dan karamah nyata, mereka para kekasih dan orang-orang pilihan Allah SWT yang tidak memiliki rasa takut ataupun bersedih hati. Sekaligus pula, umat ini adalah umat yang memusuhi dan memerangi Allah SWT, menyalahi perintah-Nya, sepakat melakukan kemunkaran, yang terlaknat pelakunya.
Umat ini tidak akan sepakat di atas kesesatan hingga kesepakatan mereka atas suatu hal menjadi hujjah dan dalil syar’i, seperti halnya Al-Qur‘an dan sunnah, sementara itu ada golongan lain yang sepakat di atas kesesatan dan kemunkaran, menyalahi perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.
Gambaran-gambaran kontradiktif ini tentu saja mustahil.
Bersambung
Sumber : http://majalah-alkisah.com
Related Posts:
Hukum mendirikan masjid diatas makam mendirikan masjid di atas makam salaf
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: