Ad 468 X 60

.

Saturday, July 20, 2013

Widgets

Hukum Mendirikan Masjid di Atas Makam : Apa Kata Al-Qur’an? (Bagian 6/Tamat)

Adapun mengenai berita tentang makh­luk terburuk yang disampaikan Ra­sulullah SAW, sesungguhnya itu adalah kabar yang dapat disaksikan kebenar­annya saat ini. Mereka, orang-orang yang menyekutukan Allah, termasuk kaum Yahudi dan Nasrani, yang men­jadikan ku­bur-kubur nabi mereka se­bagai sesem­bahan, telah menunjukkan seperti apa ciri mereka, seperti apa ke­rusakan akhlaq me­reka, apa saja tindak kejahatan mem­binasakan yang mereka lakukan yang tidak pernah dilakukan oleh seorang kafir pun serta tindakan-tindakan lain yang terlarang menurut seluruh agama.

Karena itulah mereka adalah manu­sia-manusia paling buruk. Bukti menun­jukkan kebenaran berita yang Nabi SAW sampaikan. Mereka adalah para pelaku kerusakan, menyebut orang-orang muk­min yang berpegang teguh pada agama sebagai orang-orang kuno dan terbela­kang. Kita bisa melihat kekafiran, keke­jian, buruknya akhlaq, minimnya rasa malu, sifat kasar, menerjang larangan, memerangi agama, membangkang, me­musuhi agama dan orang-orang yang beragama, berusaha memberangus aga­ma, menyebutkan hal-hal dusta da­lam agama serta sifat-sifat lain yang ter­dapat dalam diri mereka yang disaksikan setiap mukmin bahwa mereka adalah manusia-manusia paling buruk.


Kita juga bisa melihat orang-orang kafir telah menyimpang dari agama me­reka, akhlaq mereka yang rusak, men­ciptakan ajaran-ajaran baru, menerjang ajaran-ajaran agama, dan tindakan keji yang tidak pernah dilakukan oleh para pendahulu me­reka serta tindakan-tin­dakan lain yang menurut agama mereka dinilai sebagai tindakan kafir, murtad, membangkang, dan keji. Karena itulah mereka disebut manusia-manusia paling buruk, di sam­ping kekafiran mereka itu sendiri.

Alasan Pelarangan

Nabi SAW melarang umatnya ber­buat seperti halnya perbuatan Yahudi dan Nasrani. Dalam hadits-hadits ter­sebut dikatakan bahwa mereka men­jadikan makam nabi-nabi mereka se­bagai kiblat. Mereka meninggalkan kiblat yang sebe­nar­nya. Lebih jauh dari itu, sebagai peng­ganti penyembahan ter­hadap Allah, me­reka menyembah nabi-nabi mereka, atau paling tidak me­reka menjadikan nabi-nabi mereka sebagai sekutu Tuhan dalam sembahan.

Maksud larangan pada hadits-hadits di atas adalah menjadikan makam me­reka sebagai kiblat atau menjadi sekutu Allah dalam sembahan. Maka, tidak men­jadi alasan sama sekali berdalil de­ngan hadits-hadits tersebut untuk meng­ha­ramkan kubah dan masjid yang di­bangun di atas atau di sisi kubur. Para peziarah Tanah Suci pun tak pernah men­jadikan makam para sahabat dan tabi’in di Ma’la dan Baqi’ sebagai tempat sesembahan. Mereka menyembah Tu­han yang Esa dan menghadap Ka’bah ketika shalat.

Adanya sebagian orang tidak berilmu yang mendatangi makam orang-orang shalih dan mengagung-agungkan hing­ga seperti menyembah, kondisi tersebut tidak mewajibkan larangan mendirikan bangunan di atas masjid, karena hal ter­sebut tidak berasal dari sisi bangunan itu sendiri, tidak juga bersumber dari alas­an kenapa membuat bangunan di atas mas­jid dilarang. Alasannya hanya­lah sisi ke­tidaktahuan dalam meng­agung­kan orang shalih serta batas ke­layakannya menurut syari’at.

Andai bangunan yang menjadi alas­annya tentu sudah terlarang sejak awal sejak bangunannya ada, padahal seba­gi­an besar mereka yang berziarah ke makam para wali yang ada kubah dan masjidnya sama sekali tidak melakukan penyembahan seperti itu. Hanya ada sedikit sekali yang melakukan seperti itu, seperti yang dilakukan oleh kalangan awam yang tidak berilmu.

Alasan tersebut juga mengharuskan penyembahan yang dilakukan orang-orang tidak berilmu hanya dilakukan di makam-makam yang ada bangunannya. Padahal, seperti yang kita lihat, orang-orang tidak berilmu juga melakukan hal serupa di makam para wali yang tidak ada bangunannya, baik berupa masjid mau­pun kubah, bahkan tidak ada ba­ngunan­nya sama sekali. Mereka terlihat bersum­pah untuk penghuni makam ser­ta me­nu­tur­kan kata-kata yang secara lahir me­rupakan kekufuran.

Rasulullah SAW sendiri menyebut alas­an khawatir disembah secara jelas dalam haditsnya, dengan demikian la­rangan tersebut tidak berlaku secara umum sepanjang masa, tapi hanya se­bagai syari’at sementara pada suatu masa yang dikhawatirkan terjadinya alas­an penyembahan tersebut. Masa yang dimaksud adalah ketika orang-orang baru masuk Islam dan baru me­ninggalkan ke­syirikan, bukan di masa ketika orang-orang sudah tidak lagi me­lakukan ke­syirikan serta tidak terlintas adanya suatu kesyirikan pun di benak mereka, karena me­reka tumbuh di atas ke­imanan, ke­yakinan, tauhid, keyakinan akan keesaan Allah SWT dalam mencip­ta­kan dan mengatur segala sesuatu, ti­dak ada pe­laku selain Allah SWT se­mata.

Larangan ini tidak berseberangan dengan dalil umum yang berlaku sepan­jang masa, tapi hanya mengkhususkan suatu masa tertentu saat kekhawatiran penyembahan makam sudah tidak ada. Masa yang dimaksud adalah ketika iman dan tauhid tersebar luas, aqidah ter­tanam kuat, sama sekali tidak terselip kekeliruan atau keraguan sekecil apa pun akan keesaan Allah SWT.

Dalil seperti ini banyak sekali dalam syari’at. Ini merupakan syari’at semen­tara yang diberlakukan, karena adanya suatu alasan kemudian tidak lagi berlaku ketika alasannya hilang.

Kadang Rasulullah SAW sendiri yang menghapus suatu syari’at tertentu. Ka­dang Rasulullah SAW menghapus suatu aturan karena dimungkinkan ada­nya alas­an (‘illat) di setiap waktu, hanya saja mengisyaratkan bahwa hukum ter­sebut tidak harus berlaku sepanjang wak­tu dan hanya berlaku ketika alasan­nya tidak ada, selanjutnya menyampai­kan atau melaku­kan sesuatu yang me­nyalahi hukum per­tama, hingga sepintas lalu dikira kedua hal tersebut bersebe­rangan, padahal hukum pertama berlaku ketika alasannya ada, sementara hukum kedua tidak ber­laku ketika alasannya tidak ada.

Karena itulah, ketika ada sahabat yang tidak memahami suatu hal, biasa­nya berkata kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulullah, engkau melakukan ini dan itu.” Maksudnya melakukan suatu hal yang menyalahi perkataan atau perbuat­an sebelumnya. Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Aku melakukan hal tersebut untuk ini dan itu.”

Seperti itulah larangan yang Rasul­ullah SAW tujukan untuk orang yang memiliki alasan kenapa harus dilarang, sementara izin diberikan untuk orang yang tidak memiliki alasan untuk dilarang melakukan suatu hal.

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: