Ad 468 X 60

.

Tuesday, August 20, 2013

Widgets

Pernikahan Agung Wanita-wanita Teladan Umat (Bagian 2)

“Wahai Ali, pedang sangat engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”
Dalam kegiatan mengemudikan per­niagaan, ia banyak mempekerjakan orang laki-laki, baik yang sudah berke­luarga maupun jejaka. Akan tetapi di an­tara mereka semua dalam pandangan Kha­dijah RA tidak ada seorang pun yang me­miliki sifat-sifat dan perangai mulia se­perti Muhammad SAW.

Dalam waktu cukup lama Khadijah RA tercekam pikiran dan perasaannya oleh harapan untuk dapat hidup berdam­pingan dengan seorang pemuda yang ga­gah dan berbudi, seorang pemuda Bani Hasyim yang selalu menjadi buah bibir masyarakat.Perasaan aneh sering muncul dalam diri­nya. Dan tiap terbayang seorang pe­muda yang telah menguasai hatinya itu, badannya terasa lemah lunglai dan de­nyut jantungnya makin bertambah cepat. Khadijah RA sadar telah tertawan hati­nya. Namun hatinya bertanya-tanya, ba­gaimanakah kalau Muhammad yang di­kaguminya itu tidak bersimpatik pada­nya? Bukankah ia seorang janda yang telah gagal membangun rumah tangga­nya? Beberapa kali ia sudah menolak la­maran pria terpandang dari kalangan ma­syarakatnya? Ia gelisah dan resah karena pikirannya.

Dalam suasana keresahan dan ke­bingungan melanda pikirannya, datang­lah teman wanitanya yang bernama Na­fisah binti Munayyah. Bagi Khadijah, Na­fisah bukanlah sekadar teman biasa, tapi lebih dari itu, ia dianggap sebagai sau­dara sendiri. Karena itu tidak ada soal pribadi yang perlu dirahasiakan kepada­nya. Ta­hulah Nafisah apa yang berge­jolak dalam diri Khadijah, ia pun rela men­jembatani hu­bungan antara Mu­ham­mad SAW dan Khadijah RA.

Pada suatu kesempatan yang diang­gapnya tepat datanglah Nafisah kepada Muhammad SAW. Kepadanya ia berta­nya mengapa ia masih suka hidup mem­bujang, bukankah lebih baik dan tente­ram kalau hidup berumah tangga, hidup di­dampingi seorang istri yang bisa diajak berdiskusi.

Muhammad SAW beberapa saat ti­dak menyahut, beliau teringat akan nasib hidupnya yang sejak kecil ditinggal orang­tua, beliau kelihatan sedih. Tapi setelah beberapa lama beliau lalu ber­tanya, “De­ngan siapa aku dapat beristri?”

Belum selesai beliau melanjutkan kata-katanya, Nafisah lalu melanjutkan pertanyaannya, “Jika engkau dikehen­daki oleh seorang wanita rupawan, har­tawan, dan bangsawan, apakah engkau berse­dia menerimanya?”

Mendengar pertanyaan itu Muham­mad SAW segera mengerti wanita mana yang dimaksud oleh Nafisah. Wanita lain manakah yang rupawan, hartawan, dan bangsawan kalau bukan Khadijah? Tapi benarkah dia menghendaki dirinya?

Tanpa memperpanjang percakapan lagi Nafisah cepat-cepat minta diri untuk me­ninggalkan tempat, meninggalkan Muhammad SAW seorang diri dengan ge­jolak pikiran dan perasaannya. Beliau sudah sering menerima kabar bahwa Kha­dijah berulang-ulang menolak lamar­an tokoh-tokoh dan bangsawan Quraisy yang kaya dan terhormat.

Beberapa minggu setelah bertemu de­ngan Nafisah, beliau menerima un­dangan dari Khadijah untuk datang ke rumahnya bersama dua orang paman­nya, Abu Thalib dan Hamzah.

Di rumah tersebut telah menunggu be­be­rapa orang kerabat Khadijah. Se­gala se­suatunya tampak telah dipersiap­kan se­demikian rupa untuk menerima keda­tangan tamu penting.

Setelah berbasa-basi, Abu Thalib me­­nyampaikan khutbah pinangan. Dalam khutbahnya tersebut Abu Thalib berkata, “Segala puji hanya bagi Allah, yang telah menciptakan kita dari ke­turunan Ibrahim, dari bibit Ismail, dari pokok Ma’ad, dari cucu Mudhar, dan yang telah menjadikan kita penjaga dan pemelihara rumah-Nya (Ka’bah), pengu­rus dan peng­atur tanah suci-Nya, yang rumah dan ta­nah itu untuk digunakan ibadah haji dan un­tuk perlindungan yang mendatangkan ke­amanan dan yang telah menjadikan kita sebagai hakim bagi semua umat ma­nusia.

Kemudian daripada itu sesungguh­nya anak saudaraku ini, Muhammad bin Ab­dullah, adalah seorang pemuda yang tak ada tolok bandingnya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pe­mu­da da­lam hal kehormatan, kemuliaan, ke­uta­maan, dan kecerdasan. Jika ten­tang har­ta ia tak punya apa-apa. Karena harta ada­lah payung bagi orang yang cepat le­nyap, setiap pinjaman pasti akan diminta kembali.

Demi Allah, Muhammad ini kelak akan membawa berita yang amat besar, kepentingan yang sangat berguna dan tun­tunan yang luhur dan mulia. Sesung­guhnya pada hari ini telah menggem­bira­kan bagi Saudara-saudara karena anak perempuan Saudara-saudara, Khadijah binti Khuwailid, akan dipinang dan di­ambil istri oleh Muhammad bin Abdul­lah dengan mas kawin, baik yang tunai mau­pun yang ditangguhkan, sebanyak 20 ekor unta betina muda pilihan.”

Sehabis Abu Thalib berpidato, berdiri­ lah Waraqah bin Naufal, orangtua alim ahli kitab dan anak lelaki paman Khadi­jah, untuk menyambut pidato Abu Thalib. “Se­gala puji dan sanjung hanya bagi Allah jua, yang telah menjadikan kita seperti apa yang engkau sebutkan tadi dan yang telah memuliakan kita seperti apa yang engkau nyatakan tadi. Kita para kepala bangsa Arab dan pahlawan-pahlawannya adalah orang yang ahli tentang itu, tidak ada seorang pun yang menolak keluhur­an Saudara-saudara, maka saksikanlah hendaknya, Saudara-saudara bangsa­wan Quraisy, bahwa­sanya aku hari ini te­lah menikahkan Kha­dijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin Abdullah dengan menyediakan untuk peralatan perkawin­an ini 400 dinar.”

Paman Khadijah ‘Amr bin Abdul ‘Uzza bin Qushai yang bertindak sebagai wali menyahut setelah membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Abu Thalib dan memuji-muji Muhammad se­raya berkata, “Aku nikahkan Khadijah dengan Muham­mad dengan mas ka­win dua puluh ekor unta. Dengan dua pu­luh ekor unta pi­lihan bermata biru se­bagai mas kawin Muhammad melang­sungkan pernikahan dengan Khadijah.”

Acara walimah pun digelar, makanan dihidangkan, pintu rumah Khadijah di­buka lebar-lebar untuk menjamu ke­rabat, sahabat, dan fakir miskin. Pem­besar-pem­besar suku turut hadir meng­ucapkan selamat. Pernikahan itu dilang­sungkan setelah dua bulan lima belas hari setelah pulangnya Muhammad dari Syam mem­bawa barang niaga milik Khadijah. Kha­dijah saat itu berusia 40 tahun sedangkan Muhammad berusia 25 tahun.

Di antara mereka ternyata hadir pula Halimah As-Sa’diyyah dari daerah per­mukiman Bani Sa’ad yang cukup jauh dari kota Makkah. Ia datang menyaksi­kan anak susunya, yaitu Muhammad, me­lang­sungkan pernikahan.

Ketika pulang ke daerah tempat ting­galnya ia dibekali oleh Khadijah sejum­lah bahan makanan, di antaranya empat pu­luh ekor kepala kambing.

Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam kitabnya Fiqh as-Sirah meng­utarakan, kisah pernikahan Nabi Muham­mad SAW dengan Sayyidah Khadijah RA adalah sebuah kisah cinta yang sempur­na. Umumnya seorang le­laki muda yang baru berumah tangga punya hasrat ke­pada kepuasan seksual, kenikmatan ra­gawi, bersenang-senang dengan si istri, namun Muhammad bu­kan tipe semacam itu. Kecintaannya ke­pada Khadijah mele­bihi hasrat jasmani yang bergelora seba­gai lelaki muda.

Maka cukuplah tersingkap bagi kita umatnya yang menaruh perhatian pada ki­sah-kasih beliau bahwa kesenangan yang didapatinya dari Khadijah lantaran kelembutannya, kemuliaannya, dan ke­agungannya di kalangan masyarakat.

Lima belas tahun sudah sejak perni­kahan Khadijah RA dengan Muhammad SAW kehidupan mereka sangat harmo­nis, tidak pernah terjadi soal-soal yang mengganggu pikiran dan perasaan ke­dua belah pihak. Hubungan yang dijalin de­ngan cinta dan kasih sayang itu bukan ha­nya menjadi teladan bagi semua ru­mah tangga di Makkah, melainkan juga dibicarakan oleh sejarah sepanjang za­man dengan kelahiran dua orang putra dan empat orang putri mereka: Al-Qa­sim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah Az-Zahra.

Suratan takdir yang telah dikehen­daki Allah SWT tak terelakkan. Dua orang putra mereka wafat di saat kanak-kanak.

(Bersambung)

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: