Tuesday, August 20, 2013
Pernikahan Agung Wanita-wanita Teladan Umat (Bagian 2)
“Wahai Ali, pedang sangat engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”Dalam kegiatan mengemudikan perniagaan, ia banyak mempekerjakan orang laki-laki, baik yang sudah berkeluarga maupun jejaka. Akan tetapi di antara mereka semua dalam pandangan Khadijah RA tidak ada seorang pun yang memiliki sifat-sifat dan perangai mulia seperti Muhammad SAW.
Dalam waktu cukup lama Khadijah RA tercekam pikiran dan perasaannya oleh harapan untuk dapat hidup berdampingan dengan seorang pemuda yang gagah dan berbudi, seorang pemuda Bani Hasyim yang selalu menjadi buah bibir masyarakat.Perasaan aneh sering muncul dalam dirinya. Dan tiap terbayang seorang pemuda yang telah menguasai hatinya itu, badannya terasa lemah lunglai dan denyut jantungnya makin bertambah cepat. Khadijah RA sadar telah tertawan hatinya. Namun hatinya bertanya-tanya, bagaimanakah kalau Muhammad yang dikaguminya itu tidak bersimpatik padanya? Bukankah ia seorang janda yang telah gagal membangun rumah tangganya? Beberapa kali ia sudah menolak lamaran pria terpandang dari kalangan masyarakatnya? Ia gelisah dan resah karena pikirannya.
Dalam suasana keresahan dan kebingungan melanda pikirannya, datanglah teman wanitanya yang bernama Nafisah binti Munayyah. Bagi Khadijah, Nafisah bukanlah sekadar teman biasa, tapi lebih dari itu, ia dianggap sebagai saudara sendiri. Karena itu tidak ada soal pribadi yang perlu dirahasiakan kepadanya. Tahulah Nafisah apa yang bergejolak dalam diri Khadijah, ia pun rela menjembatani hubungan antara Muhammad SAW dan Khadijah RA.
Pada suatu kesempatan yang dianggapnya tepat datanglah Nafisah kepada Muhammad SAW. Kepadanya ia bertanya mengapa ia masih suka hidup membujang, bukankah lebih baik dan tenteram kalau hidup berumah tangga, hidup didampingi seorang istri yang bisa diajak berdiskusi.
Muhammad SAW beberapa saat tidak menyahut, beliau teringat akan nasib hidupnya yang sejak kecil ditinggal orangtua, beliau kelihatan sedih. Tapi setelah beberapa lama beliau lalu bertanya, “Dengan siapa aku dapat beristri?”
Belum selesai beliau melanjutkan kata-katanya, Nafisah lalu melanjutkan pertanyaannya, “Jika engkau dikehendaki oleh seorang wanita rupawan, hartawan, dan bangsawan, apakah engkau bersedia menerimanya?”
Mendengar pertanyaan itu Muhammad SAW segera mengerti wanita mana yang dimaksud oleh Nafisah. Wanita lain manakah yang rupawan, hartawan, dan bangsawan kalau bukan Khadijah? Tapi benarkah dia menghendaki dirinya?
Tanpa memperpanjang percakapan lagi Nafisah cepat-cepat minta diri untuk meninggalkan tempat, meninggalkan Muhammad SAW seorang diri dengan gejolak pikiran dan perasaannya. Beliau sudah sering menerima kabar bahwa Khadijah berulang-ulang menolak lamaran tokoh-tokoh dan bangsawan Quraisy yang kaya dan terhormat.
Beberapa minggu setelah bertemu dengan Nafisah, beliau menerima undangan dari Khadijah untuk datang ke rumahnya bersama dua orang pamannya, Abu Thalib dan Hamzah.
Di rumah tersebut telah menunggu beberapa orang kerabat Khadijah. Segala sesuatunya tampak telah dipersiapkan sedemikian rupa untuk menerima kedatangan tamu penting.
Setelah berbasa-basi, Abu Thalib menyampaikan khutbah pinangan. Dalam khutbahnya tersebut Abu Thalib berkata, “Segala puji hanya bagi Allah, yang telah menciptakan kita dari keturunan Ibrahim, dari bibit Ismail, dari pokok Ma’ad, dari cucu Mudhar, dan yang telah menjadikan kita penjaga dan pemelihara rumah-Nya (Ka’bah), pengurus dan pengatur tanah suci-Nya, yang rumah dan tanah itu untuk digunakan ibadah haji dan untuk perlindungan yang mendatangkan keamanan dan yang telah menjadikan kita sebagai hakim bagi semua umat manusia.
Kemudian daripada itu sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, adalah seorang pemuda yang tak ada tolok bandingnya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Jika tentang harta ia tak punya apa-apa. Karena harta adalah payung bagi orang yang cepat lenyap, setiap pinjaman pasti akan diminta kembali.
Demi Allah, Muhammad ini kelak akan membawa berita yang amat besar, kepentingan yang sangat berguna dan tuntunan yang luhur dan mulia. Sesungguhnya pada hari ini telah menggembirakan bagi Saudara-saudara karena anak perempuan Saudara-saudara, Khadijah binti Khuwailid, akan dipinang dan diambil istri oleh Muhammad bin Abdullah dengan mas kawin, baik yang tunai maupun yang ditangguhkan, sebanyak 20 ekor unta betina muda pilihan.”
Sehabis Abu Thalib berpidato, berdiri lah Waraqah bin Naufal, orangtua alim ahli kitab dan anak lelaki paman Khadijah, untuk menyambut pidato Abu Thalib. “Segala puji dan sanjung hanya bagi Allah jua, yang telah menjadikan kita seperti apa yang engkau sebutkan tadi dan yang telah memuliakan kita seperti apa yang engkau nyatakan tadi. Kita para kepala bangsa Arab dan pahlawan-pahlawannya adalah orang yang ahli tentang itu, tidak ada seorang pun yang menolak keluhuran Saudara-saudara, maka saksikanlah hendaknya, Saudara-saudara bangsawan Quraisy, bahwasanya aku hari ini telah menikahkan Khadijah binti Khuwailid dengan Muhammad bin Abdullah dengan menyediakan untuk peralatan perkawinan ini 400 dinar.”
Paman Khadijah ‘Amr bin Abdul ‘Uzza bin Qushai yang bertindak sebagai wali menyahut setelah membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Abu Thalib dan memuji-muji Muhammad seraya berkata, “Aku nikahkan Khadijah dengan Muhammad dengan mas kawin dua puluh ekor unta. Dengan dua puluh ekor unta pilihan bermata biru sebagai mas kawin Muhammad melangsungkan pernikahan dengan Khadijah.”
Acara walimah pun digelar, makanan dihidangkan, pintu rumah Khadijah dibuka lebar-lebar untuk menjamu kerabat, sahabat, dan fakir miskin. Pembesar-pembesar suku turut hadir mengucapkan selamat. Pernikahan itu dilangsungkan setelah dua bulan lima belas hari setelah pulangnya Muhammad dari Syam membawa barang niaga milik Khadijah. Khadijah saat itu berusia 40 tahun sedangkan Muhammad berusia 25 tahun.
Di antara mereka ternyata hadir pula Halimah As-Sa’diyyah dari daerah permukiman Bani Sa’ad yang cukup jauh dari kota Makkah. Ia datang menyaksikan anak susunya, yaitu Muhammad, melangsungkan pernikahan.
Ketika pulang ke daerah tempat tinggalnya ia dibekali oleh Khadijah sejumlah bahan makanan, di antaranya empat puluh ekor kepala kambing.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi dalam kitabnya Fiqh as-Sirah mengutarakan, kisah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah RA adalah sebuah kisah cinta yang sempurna. Umumnya seorang lelaki muda yang baru berumah tangga punya hasrat kepada kepuasan seksual, kenikmatan ragawi, bersenang-senang dengan si istri, namun Muhammad bukan tipe semacam itu. Kecintaannya kepada Khadijah melebihi hasrat jasmani yang bergelora sebagai lelaki muda.
Maka cukuplah tersingkap bagi kita umatnya yang menaruh perhatian pada kisah-kasih beliau bahwa kesenangan yang didapatinya dari Khadijah lantaran kelembutannya, kemuliaannya, dan keagungannya di kalangan masyarakat.
Lima belas tahun sudah sejak pernikahan Khadijah RA dengan Muhammad SAW kehidupan mereka sangat harmonis, tidak pernah terjadi soal-soal yang mengganggu pikiran dan perasaan kedua belah pihak. Hubungan yang dijalin dengan cinta dan kasih sayang itu bukan hanya menjadi teladan bagi semua rumah tangga di Makkah, melainkan juga dibicarakan oleh sejarah sepanjang zaman dengan kelahiran dua orang putra dan empat orang putri mereka: Al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah Az-Zahra.
Suratan takdir yang telah dikehendaki Allah SWT tak terelakkan. Dua orang putra mereka wafat di saat kanak-kanak.
(Bersambung)
Related Posts:
musim pernikahan nikah pernikahan pernikahan agung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: