Ad 468 X 60

.

Tuesday, August 20, 2013

Widgets

Pernikahan Agung Wanita-wanita Teladan Umat (Bagian 3)

“Wahai Ali, pedang sangat engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”

Pernikahan Fathimah Az-Zahra

Fathimah Az-Zahra adalah putri ke­sayangan Rasulullah dengan Khadijah. Ia tumbuh di bawah bimbingan dan gem­blengan Rasulullah SAW. Dialah yang selalu mendampingi Rasulullah dalam menyampaikan risalah dakwah.

Sepeninggal Khadijah, Fathimah tahu, Rasulullah SAW dimuliakan oleh Allah dengan menikahi wanita yang uta­ma,Ash-Shiddiqah (yang tulus keiman­annya), putri Ash-Shiddiq (Abu Bakar), yakni Aisyah, yang menghibur sang ayah dan mengisi rumahnya. Maka ia tidak lagi mengkhawatirkan ayahnya sebagaimana di hari-hari sebelumnya, hatinya tenang dan tenteram. Ia pun me­nyukai Sayyidah Aisyah, yang baginya juga menjadi teman mengobrol yang ter­baik.Selama itu Fathimah belum terpikir un­tuk menikah, karena disibukkan oleh ke­jadian-kejadian besar yang membuat­nya tidak memikirkan hal-hal lain. Ke­jadi­an-kejadian datang silih berganti se­dang­­kan ia adalah orang yang sangat dekat de­ngan ayahnya yang tercinta. Ia tidak me­mikirkan orang lain dan tidak memper­hatikan urusan orang lain.

Setelah ayahandanya menikah de­ngan Aisyah, sampailah ke telinganya ke­datangan Ali bin Abi Thalib kepada ayah­nya yang menyatakan keinginan­nya un­tuk menikahinya, dan Ali bukanlah orang asing baginya. Ali terdidik bersa­manya di rumah yang sama, setelah Ra­sulullah SAW mengambilnya ketika ia masih kecil untuk meringankan beban tanggungan pa­mannya, Abu Thalib, dan untuk mem­balas perbuatan baiknya terhadap beliau ketika pamannya itu mengasuhnya se­telah kakeknya, Abdul Muthalib, wafat.

Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang memiliki sejarah yang mulia sejak ia me­mahami kehidupan. Ia tidak pernah me­nyembah berhala dan ia orang per­tama yang beriman dari kalangan pe­muda. Ia juga seorang fida-iy (orang yang mengor­bankan dirinya) pertama dalam Islam ke­tika ia rela di tempat tidur Nabi SAW pada malam beliau hijrah, padahal ia tahu bah­wa orang Quraisy telah sepakat untuk mem­bunuhnya dan telah memilih se­orang dari setiap kabilah sebagai kekuat­annya. Ia telah diuji da­lam Perang Badar dan telah menam­pak­kan kepahlawanan yang hanya ditunjuk­kan oleh sedikit orang dalam pertem­puran itu.

Ketika Ali telah tiba di Madinah saat berhijrah, Rasulullah SAW memegang ta­ngannya dan mengucapkan ucapan­nya yang sangat terkenal, “Inilah sau­daraku.” Dengan ucapannya ini, beliau mencegah orang-orang Anshar saling berlomba un­tuk mendapatkan kemulia­an menjamu­nya dan mendapatkan ke­beruntungan ka­rena beliau menjadi saudara salah se­orang di antara mereka. Betapa besar kemuliaan yang didapat­kan Ali menjadi saudara makhluk ter­mulia. Mengapa Rasulullah SAW mem­berikan kepadanya kemuliaan ini, bukan kepada yang lainnya dari para sahabat besar, padahal di an­tara mereka ada orang-orang yang dijadi­kan teladan da­lam keimanan?

Contohnya saja, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia adalah orang Islam pertama dari kalangan laki-laki dewasa, sahabat Rasulullah SAW, yang dimuliakan oleh beliau, dan teman beliau dalam hijrahnya ke Yatsrib!

Tampaknya Nabi SAW memilih Ali men­­jadi saudaranya karena rahasia yang akan dijelaskan di hari-hari berikutnya.

Mungkin Ali menunggu hingga da­tang ke­sempatan yang tepat yang mem­buat­nya dapat mengetahui apakah Fa­thimah menerima untuk pindah dari ru­mah ayah­nya ke rumah baru bersama se­orang sua­mi dan Ali orang yang paling tahu sebe­rapa besar cinta Fathimah ke­pada ayah­nya.

Penantiannya berlangsung lama se­lama beberapa tahun hingga Rasulullah SAW hidup bersama dengan Aisyah. Saat itu ia sangat berharap dapat mewu­judkan keinginannya, tetapi selama bebe­rapa saat ia masih menahan diri, karena ia tidak tahu mahar apa yang dapat ia be­rikan kepadanya sedangkan ia tidak memiliki harta apa-apa. Kemudi­an ia se­makin menahan diri ketika tahu bahwa Abu Bakar dan Umar telah me­lamar Az-Zahra, dan ayahnya, Rasul­ullah SAW, menolak lamaran mereka dengan sangat halus.

Mengenai lamaran Abu Bakar dan Umar kepada Fathimah, Anas mengata­kan, “Sesungguhnya Umar mendatangi Abu Bakar lalu berkata, ‘Apa yang men­cegahmu menikahi Fathimah, putri Ra­sulullah SAW?’

‘Beliau tidak bersedia menikahkanku dengannya,’ jawab Abu Bakar.

‘Jika beliau tidak menikahkannya de­nganmu, dengan siapa beliau akan me­ni­kahkannya, sedangkan engkau orang yang paling mulia dan paling terdahulu masuk Islam?’

Kemudian Abu Bakar pergi ke tem­pat Aisyah lalu mengatakan, ‘Apabila eng­kau melihat Rasulullah SAW sedang senang terhadapmu, katakanlah ke­pada­nya bah­wa aku menyebut-nyebut ihwal Fathimah. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan ke­mudahan bagiku untuk mendapatkan­nya.’

Di dalam kitab Usud al-Ghabah di­ceritakan bahwa, ketika Rasulullah SAW didatangi Abu Bakar dan Umar untuk me­lamar Fathimah, beliau menolaknya sam­bil berkata kepada masing-masing, “Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini.”

Abu Bakar adalah orang pertama yang melamar Fathimah, namun ditolak oleh ayahnya secara halus. Nabi ber­kata, “Wahai Abu Bakar, ketentuan dalam masalah ini belum turun.”

Hal itu didengar oleh Umar bin Al-Khath­thab. Kemudian ia datang untuk melamar Fathimah, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar. Namun ia pun men­dapat jawaban yang sama dari Rasulullah SAW.

Abu Bakar dan Umar kemudian me­nemui Abdurrahman bin Auf. Keduanya me­minta Abdurrahman agar melamar Fa­thimah. Mereka berkata, “Engkau ada­lah seorang bangsawan Quraisy yang kaya. Seandainya engkau mene­mui Rasulullah SAW untuk melamar putrinya, tentu Allah akan menambah har­ta dan kemuliaan­mu.”

Abdurrahman pun pergi menemui Ra­­sulullah SAW. Ia berkata, “Wahai Ra­sul­ullah, nikahkanlah aku dengan Fathi­mah.” Tetapi Rasulullah berpaling dari­nya.

Maka Abdurrahman pun menemui Abu Bakar dan Umar. Kepada mereka Ab­­durrahman berkata, “Aku pun menga­lami apa yang kalian berdua alami.”

Inilah yang dipikirkan oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya sangat ingin tahu siapakah gerangan pribadi yang agung yang dekat kepada Allah SWT dan pa­ling dicintai Rasulullah SAW? Akhirnya, me­reka menemui Ali bin Abi Thalib, ka­rena mereka tahu kedudukannya yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Me­reka ber­kata kepadanya, “Wahai Ali, kami tahu ke­kerabatanmu dengan Ra­sulullah, dan engkau adalah orang per­tama yang me­meluk Islam. Seandainya engkau datang ke­pada Rasulullah untuk melamar Fathi­mah, tentu Allah akan me­nambah keuta­maan dan kemuliaanmu.” Para sahabat yang lain, sebagaimana yang diriwayat­kan oleh Anas bin Malik, juga berkata ke­pada Ali, “Seandainya engkau melamar Fa­thimah, niscaya eng­kau akan dinikah­kan dengannya oleh Nabi SAW.”

Pada suatu hari Abu Bakar, Umar, dan Sa‘ad bin Mu’adz berada di masjid Nabi. Mereka membicarakan masalah Fathimah. Abu Bakar berkata, “Orang-orang mulia dan terhormat telah men­coba melamar Fathimah, namun mereka di­to­lak Rasulullah SAW dengan menga­takan, ‘Aku sedang menunggu keten­tuan Allah dalam masalah ini’.”

Ruh iman yang berkibar tampak nyata pada sikap Abu Bakar dan Umar ketika mereka pergi menjumpai Ali dan berkata ke­padanya, “Pergilah, lamarlah Fathi­mah.” Itulah akhlaq kaum muslimin yang bersandar kepada hadits Rasul­ullah SAW, “Cintailah untuk saudaramu apa yang kau cintai untuk dirimu.” Kemu­dian ke­duanya menyebut-nyebut kedu­dukan­nya di dalam Islam dan di sisi Nabi SAW ser­ta menganjurkannya untuk se­gera mem­beranikan diri melamar Fathi­mah.

Ali juga mempunyai seorang hamba sahaya. Suatu ketika ia berkata kepada­nya untuk memberikan anjuran dan do­rongan, “Aku tahu bahwa Fathimah se­dang dilamar. Apa yang mencegah Tuan untuk mendatangi putra paman Tuan, Ra­sulullah SAW, agar beliau menikah­kanmu dengannya?”

“Aku tidak memiliki apa-apa untuk me­nikahinya.”

Ali memang berharap, tetapi ia terha­lang untuk menyatakannya, karena tak memiliki apa-apa sebagai mahar untuk Fathimah.

Setelah ragu beberapa lama, akhir­nya Ali memberanikan diri dan menda­tangi Rasulullah SAW dengan berharap dapat melamar Fathimah.

Sampai ketika Rasulullah SAW da­tang, ia mengucapkan salam. Kemudian ia duduk di dekat beliau dengan perasa­an malu, tidak berani menyebutkan mak­sud kedatangannya. Ia tidak dapat ber­kata-kata karena hormat dan segan ke­pada Rasulullah SAW.

Nabi SAW memahami apa yang ada da­lam pikiran putra pamannya, saudara­nya, dan sahabatnya ini. Ia datang untuk suatu urusan yang ia tidak berani me­nya­takannya. Maka beliau mengawali­nya dan bertanya kepadanya dengan ha­lus dan lembut, “Ada keperluan apa, wahai putra Abu Thalib?”

Ali menjawab dengan suara yang ren­dah sambil memejamkan mata, “Aku ingat Fathimah, putri Rasulullah.”

Dengan tetap berseri-seri dan lemah lembut, Nabi menjawab, “Marhaban wa ahlan (Selamat datang).” Dalam riwayat lain, beliau menjawab, “Dia untukmu, wa­hai Ali.” Kemudian Nabi SAW diam, tidak menambahkan jawabannya.

Maka Ali terdiam lama, demikian pula dengan Nabi SAW. Ali dalam ke­adaan sangat malu dan juga sangat mis­kin. Ia tidak memiliki apa-apa untuk me­nikah ke­cuali iman yang mendalam ke­pada Allah dan kecintaannya kepada Ra­sul­ullah. Rasulullah ingin agar ia ber­bicara untuk menuntaskan urusannya bersama beliau dan menghilangkannya dari kegelisahan yang ada pada dirinya.

Keduanya terdiam dalam waktu yang lama. Kemudian Ali pergi dalam keada­an gelisah. Ia tidak tahu harus menjawab apa kepada keluarganya dan para saha­bat­nya yang sedang menunggunya. Me­reka menanti-nanti kedatangannya mem­bawa jawaban dari ayah Fathimah.

Ketika mereka mendesaknya, Ali men­­jawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa. Aku telah berbicara kepada Ra­sulullah tentang masalah itu, tetapi beliau ha­nya menjawab, “Marhaban wa ahlan.”

(Bersambung)

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: