Tuesday, August 20, 2013
Pernikahan Agung Wanita-wanita Teladan Umat (Bagian 3)
“Wahai Ali, pedang sangat engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”Pernikahan Fathimah Az-Zahra
Fathimah Az-Zahra adalah putri kesayangan Rasulullah dengan Khadijah. Ia tumbuh di bawah bimbingan dan gemblengan Rasulullah SAW. Dialah yang selalu mendampingi Rasulullah dalam menyampaikan risalah dakwah.
Sepeninggal Khadijah, Fathimah tahu, Rasulullah SAW dimuliakan oleh Allah dengan menikahi wanita yang utama,Ash-Shiddiqah (yang tulus keimanannya), putri Ash-Shiddiq (Abu Bakar), yakni Aisyah, yang menghibur sang ayah dan mengisi rumahnya. Maka ia tidak lagi mengkhawatirkan ayahnya sebagaimana di hari-hari sebelumnya, hatinya tenang dan tenteram. Ia pun menyukai Sayyidah Aisyah, yang baginya juga menjadi teman mengobrol yang terbaik.Selama itu Fathimah belum terpikir untuk menikah, karena disibukkan oleh kejadian-kejadian besar yang membuatnya tidak memikirkan hal-hal lain. Kejadian-kejadian datang silih berganti sedangkan ia adalah orang yang sangat dekat dengan ayahnya yang tercinta. Ia tidak memikirkan orang lain dan tidak memperhatikan urusan orang lain.
Setelah ayahandanya menikah dengan Aisyah, sampailah ke telinganya kedatangan Ali bin Abi Thalib kepada ayahnya yang menyatakan keinginannya untuk menikahinya, dan Ali bukanlah orang asing baginya. Ali terdidik bersamanya di rumah yang sama, setelah Rasulullah SAW mengambilnya ketika ia masih kecil untuk meringankan beban tanggungan pamannya, Abu Thalib, dan untuk membalas perbuatan baiknya terhadap beliau ketika pamannya itu mengasuhnya setelah kakeknya, Abdul Muthalib, wafat.
Ali bin Abi Thalib adalah seorang yang memiliki sejarah yang mulia sejak ia memahami kehidupan. Ia tidak pernah menyembah berhala dan ia orang pertama yang beriman dari kalangan pemuda. Ia juga seorang fida-iy (orang yang mengorbankan dirinya) pertama dalam Islam ketika ia rela di tempat tidur Nabi SAW pada malam beliau hijrah, padahal ia tahu bahwa orang Quraisy telah sepakat untuk membunuhnya dan telah memilih seorang dari setiap kabilah sebagai kekuatannya. Ia telah diuji dalam Perang Badar dan telah menampakkan kepahlawanan yang hanya ditunjukkan oleh sedikit orang dalam pertempuran itu.
Ketika Ali telah tiba di Madinah saat berhijrah, Rasulullah SAW memegang tangannya dan mengucapkan ucapannya yang sangat terkenal, “Inilah saudaraku.” Dengan ucapannya ini, beliau mencegah orang-orang Anshar saling berlomba untuk mendapatkan kemuliaan menjamunya dan mendapatkan keberuntungan karena beliau menjadi saudara salah seorang di antara mereka. Betapa besar kemuliaan yang didapatkan Ali menjadi saudara makhluk termulia. Mengapa Rasulullah SAW memberikan kepadanya kemuliaan ini, bukan kepada yang lainnya dari para sahabat besar, padahal di antara mereka ada orang-orang yang dijadikan teladan dalam keimanan?
Contohnya saja, Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia adalah orang Islam pertama dari kalangan laki-laki dewasa, sahabat Rasulullah SAW, yang dimuliakan oleh beliau, dan teman beliau dalam hijrahnya ke Yatsrib!
Tampaknya Nabi SAW memilih Ali menjadi saudaranya karena rahasia yang akan dijelaskan di hari-hari berikutnya.
Mungkin Ali menunggu hingga datang kesempatan yang tepat yang membuatnya dapat mengetahui apakah Fathimah menerima untuk pindah dari rumah ayahnya ke rumah baru bersama seorang suami dan Ali orang yang paling tahu seberapa besar cinta Fathimah kepada ayahnya.
Penantiannya berlangsung lama selama beberapa tahun hingga Rasulullah SAW hidup bersama dengan Aisyah. Saat itu ia sangat berharap dapat mewujudkan keinginannya, tetapi selama beberapa saat ia masih menahan diri, karena ia tidak tahu mahar apa yang dapat ia berikan kepadanya sedangkan ia tidak memiliki harta apa-apa. Kemudian ia semakin menahan diri ketika tahu bahwa Abu Bakar dan Umar telah melamar Az-Zahra, dan ayahnya, Rasulullah SAW, menolak lamaran mereka dengan sangat halus.
Mengenai lamaran Abu Bakar dan Umar kepada Fathimah, Anas mengatakan, “Sesungguhnya Umar mendatangi Abu Bakar lalu berkata, ‘Apa yang mencegahmu menikahi Fathimah, putri Rasulullah SAW?’
‘Beliau tidak bersedia menikahkanku dengannya,’ jawab Abu Bakar.
‘Jika beliau tidak menikahkannya denganmu, dengan siapa beliau akan menikahkannya, sedangkan engkau orang yang paling mulia dan paling terdahulu masuk Islam?’
Kemudian Abu Bakar pergi ke tempat Aisyah lalu mengatakan, ‘Apabila engkau melihat Rasulullah SAW sedang senang terhadapmu, katakanlah kepadanya bahwa aku menyebut-nyebut ihwal Fathimah. Mudah-mudahan Allah SWT memberikan kemudahan bagiku untuk mendapatkannya.’
Di dalam kitab Usud al-Ghabah diceritakan bahwa, ketika Rasulullah SAW didatangi Abu Bakar dan Umar untuk melamar Fathimah, beliau menolaknya sambil berkata kepada masing-masing, “Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini.”
Abu Bakar adalah orang pertama yang melamar Fathimah, namun ditolak oleh ayahnya secara halus. Nabi berkata, “Wahai Abu Bakar, ketentuan dalam masalah ini belum turun.”
Hal itu didengar oleh Umar bin Al-Khaththab. Kemudian ia datang untuk melamar Fathimah, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar. Namun ia pun mendapat jawaban yang sama dari Rasulullah SAW.
Abu Bakar dan Umar kemudian menemui Abdurrahman bin Auf. Keduanya meminta Abdurrahman agar melamar Fathimah. Mereka berkata, “Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy yang kaya. Seandainya engkau menemui Rasulullah SAW untuk melamar putrinya, tentu Allah akan menambah harta dan kemuliaanmu.”
Abdurrahman pun pergi menemui Rasulullah SAW. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengan Fathimah.” Tetapi Rasulullah berpaling darinya.
Maka Abdurrahman pun menemui Abu Bakar dan Umar. Kepada mereka Abdurrahman berkata, “Aku pun mengalami apa yang kalian berdua alami.”
Inilah yang dipikirkan oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya sangat ingin tahu siapakah gerangan pribadi yang agung yang dekat kepada Allah SWT dan paling dicintai Rasulullah SAW? Akhirnya, mereka menemui Ali bin Abi Thalib, karena mereka tahu kedudukannya yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Ali, kami tahu kekerabatanmu dengan Rasulullah, dan engkau adalah orang pertama yang memeluk Islam. Seandainya engkau datang kepada Rasulullah untuk melamar Fathimah, tentu Allah akan menambah keutamaan dan kemuliaanmu.” Para sahabat yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, juga berkata kepada Ali, “Seandainya engkau melamar Fathimah, niscaya engkau akan dinikahkan dengannya oleh Nabi SAW.”
Pada suatu hari Abu Bakar, Umar, dan Sa‘ad bin Mu’adz berada di masjid Nabi. Mereka membicarakan masalah Fathimah. Abu Bakar berkata, “Orang-orang mulia dan terhormat telah mencoba melamar Fathimah, namun mereka ditolak Rasulullah SAW dengan mengatakan, ‘Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini’.”
Ruh iman yang berkibar tampak nyata pada sikap Abu Bakar dan Umar ketika mereka pergi menjumpai Ali dan berkata kepadanya, “Pergilah, lamarlah Fathimah.” Itulah akhlaq kaum muslimin yang bersandar kepada hadits Rasulullah SAW, “Cintailah untuk saudaramu apa yang kau cintai untuk dirimu.” Kemudian keduanya menyebut-nyebut kedudukannya di dalam Islam dan di sisi Nabi SAW serta menganjurkannya untuk segera memberanikan diri melamar Fathimah.
Ali juga mempunyai seorang hamba sahaya. Suatu ketika ia berkata kepadanya untuk memberikan anjuran dan dorongan, “Aku tahu bahwa Fathimah sedang dilamar. Apa yang mencegah Tuan untuk mendatangi putra paman Tuan, Rasulullah SAW, agar beliau menikahkanmu dengannya?”
“Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikahinya.”
Ali memang berharap, tetapi ia terhalang untuk menyatakannya, karena tak memiliki apa-apa sebagai mahar untuk Fathimah.
Setelah ragu beberapa lama, akhirnya Ali memberanikan diri dan mendatangi Rasulullah SAW dengan berharap dapat melamar Fathimah.
Sampai ketika Rasulullah SAW datang, ia mengucapkan salam. Kemudian ia duduk di dekat beliau dengan perasaan malu, tidak berani menyebutkan maksud kedatangannya. Ia tidak dapat berkata-kata karena hormat dan segan kepada Rasulullah SAW.
Nabi SAW memahami apa yang ada dalam pikiran putra pamannya, saudaranya, dan sahabatnya ini. Ia datang untuk suatu urusan yang ia tidak berani menyatakannya. Maka beliau mengawalinya dan bertanya kepadanya dengan halus dan lembut, “Ada keperluan apa, wahai putra Abu Thalib?”
Ali menjawab dengan suara yang rendah sambil memejamkan mata, “Aku ingat Fathimah, putri Rasulullah.”
Dengan tetap berseri-seri dan lemah lembut, Nabi menjawab, “Marhaban wa ahlan (Selamat datang).” Dalam riwayat lain, beliau menjawab, “Dia untukmu, wahai Ali.” Kemudian Nabi SAW diam, tidak menambahkan jawabannya.
Maka Ali terdiam lama, demikian pula dengan Nabi SAW. Ali dalam keadaan sangat malu dan juga sangat miskin. Ia tidak memiliki apa-apa untuk menikah kecuali iman yang mendalam kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasulullah. Rasulullah ingin agar ia berbicara untuk menuntaskan urusannya bersama beliau dan menghilangkannya dari kegelisahan yang ada pada dirinya.
Keduanya terdiam dalam waktu yang lama. Kemudian Ali pergi dalam keadaan gelisah. Ia tidak tahu harus menjawab apa kepada keluarganya dan para sahabatnya yang sedang menunggunya. Mereka menanti-nanti kedatangannya membawa jawaban dari ayah Fathimah.
Ketika mereka mendesaknya, Ali menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa. Aku telah berbicara kepada Rasulullah tentang masalah itu, tetapi beliau hanya menjawab, “Marhaban wa ahlan.”
(Bersambung)
Sumber : http://www.majalah-alkisah.com
Related Posts:
musim pernikahan nikah pernikahan pernikahan agung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar: