Ad 468 X 60

.

Monday, February 3, 2014

Widgets

Haid dan Junub Bolehkah Masuk Masjid?

Kalau dengan alasan bahwa wanita haidh itu boleh masuk masjid karena tidak mengotori, lalu yang jadi pertanyaan, “kenapa lelaki yang junub dilarang masuk masjid, padahal ia juga tidak mengotori? Sama sekali tidak mengotori.

Keduanya sama-sama junub yang dijelaskan dalam ayat 43 surat an-nisa’ dan tidak ada ulama yang membedakan antara keduanya, dua-duanya sama-sama junub. Karena memang junub, maka mereka terlarang masuk (berdiam) masjid, kecuali hanya melewati saja.

Kalau dikatakan memang wanita haidh dan lelaki yang junub itu berbeda dengan alasan bahwa wanita haidh itu junub “bi ghoiri ikhtiyariha” (bukan pilihan mereka), junubnya datang sendiri. Tetapi lelaku junubnya “bi ikhtiyarihi” (karena pilihan mereka sendiri), junubnya karena perbuatan mereka sendiri. Maka karena beda, hukumnya pun beda. Ya kalau begitu, lelaki yang junubnya karena mimpi dan yang junubnya karena bergaul dengan istrinya atau onani (istimna’) harus dibedakan juga dong. Yang junub karena mimpi boleh berdiam di masjid karena junubnya bukan pilihan mereka, dan yang junubnya karena hubungan intim itu terlarang masuk masjid, begitu?

Tidak ada ulama yang mengatakan demikian. Lalu kenapa junub dan haidh dibedakan karena junubnya dengan pilihan sendiri dan yang lain karena datang tanpa pilihan sendiri?

Yang namanya junub, pilihan sendiri atau bukan pilihan sendiri, kalau sudah masuk dalam kategori junub, ya harus patuh dengan konsekuensi ke-junub-annya, yaitu tidak boleh berdiam di masjid.

Kalau memang wanita haidh yang tidak mengotori boleh masuk dan berdiam di masjid, ya zaman sekarang wanita mana yang masih berceceran darahnya ketika haidh?

Ulama 4 madzhab sepakat bahwa wanita haidh itu terlarang masuk dan berdiam di masjid, karena masjid yang punya “hurmah” itu tidak bisa kehormatannya dikotori dengan masuknya orang yang berhadats besar. Selain itu juga jelas disebutkan dalam hadits:

فإني لا أحل المسجد لحائض ولا جنب
“aku tidak menghalalkan masjid untuk yang haidh dan junub” (HR Abu Daud)

Kalau sudah ada nash-nya tentang pelarangan haidh masuk masjid, ya urusan selesai sudah, tidak ada yang perlu dipermasalahkan lagi. “tapi hadits itu kan dhoif!”, muncul lagi permasalahan.

Ya tinggal balik bertanya, “siapa yang mendhaifkan?”, padahal Imam Al-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ telah membantah kedhoifan hadits ini (Al-Majmu’ 2/161).

Pun demikian dengan Imam Al-Syaukani dalam kitabnya Nailul-Author (1/287), beliau membela hadits ini dari tuduhan dhaoif, bahwa salah satu perawri hadits ini, Aflat bin Kholifah yang dituduh-tuduh sebagai majhuul (tidak dikenal) itu tidak kuat.

Toh banyak ahli hadits lain mengatakan sebaliknya, bahwa Aflat ini masyhur dan tsiqoh, Imam Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam katefori perawi tsiqoh¸ Imam Ahmad bin Hanbal pun mengatakan Aflat bukanlah orang yang cacat.
---------
Sebenarnya tulisan di atas hanya menunjukkan bahwa memang perkara ini bukan hanya satu suara, ada pendapat berbeda yang memang harus diperhatikan. Kalau memang masalah ini masih dalam ranah “ikhtilaf”, baiknya kita pun sopan dalam menyampaikan pendapat.

Memilih berbeda dengan ulama 4 madzhab silahkan saja, ya monggo, toh masalah ini tidak sampai pada Ijma’ bahwa wanita haidh terlarang masuk masjid. Tapi ya yang sopan. Memilih satu pendapat dan mengajarkannya kepada pengikutnya ya silahkan saja, tapi bukan berarti menyalahkan orang lain yang berpendapat berbeda, apalagi mengatakan mereka keliru.

Toh ulama dahulu bukan asal “ngomong” dalam mengistimbath sebuah hukum, mereka semua punya keahlian dan kapasitas keilmuan yang sudah tidak diragukan lagi. Bagaimana bisa ulama dengan kapasitas ulung dikatakan keliru?

Boleh beda pendapat dengan siapapun, boleh banget! Tapi jangan sampai yang beda itu disalahkan! Ulama kita tidak pernah mengajarkan itu.

Wallahu a’lam

Sumber : Status FB  Zarkasih Ahmad

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: