Ad 468 X 60

.

Wednesday, February 5, 2014

Widgets

Meraih Keutamaan Majelis Dzikir

Judul kitab : Syarh Ratib al-Haddad
Penulis : Al-Habib Al-Allamah Alwi bin Ahmad bin Hasan bin Abdullahbin Alwi Al-Haddad Ba‘alawi
Penerbit : Penerbit Maqam al-Imam Al-Haddad, cet. pertama, 1425 H/2005 M, Tarim, Hadhramaut

“…Dari itu pahamilah bahwa semua keutamaan yang tidak dapat diperoleh selain dengan berjama’ah, bukan dengan sendiri-sendiri, itulah yang menjadi sebab para ulama menyusun berbagai ratib dan mendirikan majelis-majelis dzikir, di samping semua keutamaan yang secara khusus disebutkan oleh Nabi SAW pada setiap dzikir yang dibaca.”
Imam Jalaluddin As-Suyuthi RA, dalam risalahnya, I‘mal al-Fikr fi Fadhl adz-Dzikr, berkata, “Pembahasan tentang dzikir, tasbih, dan doa, apakah menyamai se­de­kah dan apakah menduduki keduduk­an sedekah dalam hal menolak bala?

Jawabannya, hadits-hadits dan atsar shahih dalam masalah ini sangat jelas menyatakan bahwa dzikir, tasbih, dan doa lebih utama dibandingkan dengan se­dekah. Adapun kedudukannya seba­gai sebab dalam mencegah dan meno­lak bala sudah merupakan perkara yang tiada lagi keraguan padanya. Telah wa­rid hadits-hadits yang tak terhingga pada berbagai dzikir tertentu bahwa barang siapa yang mengucapkannya niscaya akan dipelihara dari bala, setan, kebu­ruk­an, kesusahan, sengatan kala jeng­king, serta dipelihara dari sesuatu yang tidak disukai yang akan menimpanya.” Imam Muhyiddin An-Nawawi RA, dalam kitabnya al-Adzkar, setelah men­jelaskan panjang lebar tentang uraian tersebut, berkata, “Adapun kelebihan ke­utamaan doa di atas shadaqah teramat banyak hadits marfu` yang menjelaskan ihwal hal tersebut. Di antara hadits marfu` itu adalah riwayat Imam Hakim RA dan Imam At-Tirmidzi RA dari Abu Darda RA, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidakkah kalian aku beritahukan perihal sebaik-baik amalan kalian, paling suci­nya di sisi Tuhan kalian, paling tinggi da­lam derajat kalian, lebih baik bagi kalian dari menyedekahkan emas dan perak dan dari bahwa kalian berhadapan de­ngan musuh-musuh kalian, lalu kalian meng­hunuskan pedang kalian ke arah le­her-leher mereka dan mereka pun meng­hunuskan pedang-pedang mereka ke arah leher-leher kalian?’

Para sahabat berkata, ‘Apakah itu, wahai Rasulullah?’

Beliau SAW bersabda, ‘Berdzikir ke­pada Allah SWT’.”

Demikianlah betapa keutamaan dzi­kir kepada Allah SWT merupakan se­suatu yang sepatutnya menjadi kebang­gaan dan tumpuan harapan tertinggi bagi setiap peniti jalan menuju Allah SWT.

Selanjutnya, mari kita perhatikan pen­jelasan berikut. Syaikh Ahmad bin Abdul Karim Asy-Syajjar Al-Ahsai berkata, ratib Sayyidina Abdullah bin Alwi Al-Haddad RA yang disebut Ratib al-‘Isya’ ini dibaca sesudah shalat Isya, kecuali pada bulan Ramadhan, di baca sebelumnya, dan dibaca dengan berjama’ah. Bila tidak sem­pat untuk membacanya bersama jama’ah, beliau membacanya munfarid­an (seorang diri).

Tujuan ratib ini dibaca dengan ber­jama’ah adalah karena banyaknya ri­wayat yang menerangkan betapa besar­nya keutamaan dzikir dengan berja­ma’ah.

Di antaranya riwayat dari Abu Hu­rairah RA dan Abu Sa‘id Al-Khudri RA, yang di­riwayatkan oleh Imam Muslim RA dan Imam At-Tirmidzi RA, dari Rasul­ullah SWT, beliau bersabda, “Tidaklah satu kaum duduk berdzikir kepada Allah SWT kecuali malaikat berkeliling mengi­tari me­reka, rahmat menaungi mereka, keten­teraman turun di tengah-tengah me­reka, dan Allah akan menyebutkan me­reka di antara para malaikat yang ada di sisi-Nya.

Dari itu pahamilah bahwa semua ke­utamaan yang tidak dapat diperoleh se­lain dengan berjamaah, bukan dengan sen­diri-sendiri, itulah yang menjadi se­bab para ulama menyusun berbagai ra­tib dan mendirikan majelis-majelis dzikir, di samping semua keutamaan yang se­cara khusus disebutkan oleh Nabi SAW pada setiap dzikir yang dibaca.”

Rasulullah SAW bersabda, “Sesung­guhnya Allah mempunyai para malaikat yang selalu berkeliling di jalan-jalan guna mencari-cari majelis dzikir. Jika me­reka mendapati suatu kaum yang ber­dzikir mengingat Allah, mereka akan sa­ling memanggil, ‘Kemarilah menuju apa yang kalian cari.’

Lalu mereka pun datang seraya me­naungi kaum tersebut dengan sayap-sayap mereka hingga ke langit dunia.

Setelah kaum yang berdzikir itu pergi dan berpisah, para malaikat pun kembali naik ke atas langit. Maka kemudian Rabb mereka bertanya kepada mereka, pa­dahal Dia lebih mengetahui dari mereka, ‘Dari mana kalian datang?’

Para malaikat menjawab, ‘Kami da­tang dari tengah-tengah hamba-hamba-Mu di bumi.’

Rabb mereka bertanya kembali ke­pada mereka, padahal Dia lebih menge­tahui dari mereka, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba-Ku?’

Para malaikat menjawab, ‘Mereka bertasbih mensucikan Engkau, bertakbir membesarkan Engkau, bertahmid me­mu­ji Engkau, dan bertamjid mengagung­kan Engkau.’

Allah SWT berfirman, ‘Apakah me­reka melihat-Ku?’

Para malaikat menjawab, ‘Tidak. Demi Allah, mereka tidak melihat-Mu.’

Allah berfirman, ‘Bagaimana sekira­nya mereka melihat-Ku?’

Para malaikat menjawab, ‘Sekiranya mereka melihat-Mu, niscaya mereka akan lebih giat dan teramat sungguh-sung­guh lagi beribadah kepada-Mu, akan lebih besar lagi tamjid pengagung­an dan tahmid pujian mereka kepada-Mu, dan akan lebih sering lagi bertasbih mensucikan Engkau.’

Allah berfirman, ‘Lalu apa yang me­reka minta?’

Para malaikat menjawab, ‘Mereka meminta surga kepada-Mu.’

Allah berfirman, ‘Apakah mereka telah melihatnya?’

Para malaikat menjawab, ‘Belum. Demi Allah, mereka belum pernah me­lihatnya.’

Allah berfirman, ‘Bagaimana sekira­nya mereka telah melihatnya?’

Para malaikat menjawab, ‘Jika me­reka telah melihatnya, niscaya mereka akan lebih berkeinginan lagi, lebih sung­guh-sungguh merindukannya, dan ha­rapan mereka akan lebih besar lagi.’

Allah berfirman, ‘Lalu dari apakah mereka meminta berlindung?’

Para malaikat menjawab, ‘Dari api neraka.’

Allah berfirman, ‘Apakah mereka te­lah melihatnya?’

Para malaikat menjawab, ‘Belum. Demi Allah, wahai Rabb, mereka belum pernah melihatnya sama sekali.’

Allah berfirman, ‘Bagaimana jika se­andainya mereka melihatnya?’

Para malaikat menjawab, ‘Tentu me­re­ka akan semakin lari menjauh dan se­ma­kin dahsyat lagi rasa takut mereka darinya.’

Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku telah mempersaksikan kepada kalian bahwa Aku telah mengampuni mereka.’

Salah satu dari malaikat berkata, ‘Sesungguhnya di antara mereka ada si Fulan, yang bukan bagian dari mereka (yang mengingat Allah), dia hanya da­tang untuk suatu keperluan.’

Allah berfirman, ‘Mereka adalah suatu kaum yang teman duduk mereka tidak akan mendapatkan kecelakaan’.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Berkaitan dengan hadits ini, Sayyid Alwi bin Ahmad Al-Haddad RA, penulis kitab, berkata, “Setiap majelis yang ber­kumpul kaum mu’min di dalamnya untuk iba­dah kepada Allah SWT, seperti ma­jelis dzikir, majelis shalat Jum`at atau shalat berjamaah, atau jihad fi sabilillah, wukuf di Padang Arafah, majelis ilmu, dan sebagainya, Allah akan mem­bang­ga-banggakan mereka terhadap para malaikat-Nya, dan pada saat itu Allah mengingatkan mereka ihwal apa yang diucapkan hamba-hamba-Nya di majelis itu, apa yang difirmankan-Nya kepada para malaikat-Nya, serta apa yang di­firmankan-Nya bagi hamba-hamba-Nya di majelis dzikir itu. Dan sesungguhnya keutamaan-keutamaan khusus yang ada pada majelis-majelis dzikir berja­ma’ah tidaklah dapat dicapai dengan kesendirian. Karena itulah para ulama tidaklah menyusun berbagai ratib dan ma­jelis-majelis dzikir kecuali untuk se­mua keutamaan khusus itu.

Sesungguhnya semua apa yang di­sebutkan oleh riwayat-riwayat yang men­jelaskan ihwal keutamaan-keutama­an pada setiap dzikir akan dapat diper­oleh dengan berjama’ah, namun apa yang dikhususkan pada majelis-majelis perkumpulan dzikir tidaklah akan dida­pat­kan dengan kesendirian. Maka pa­hamilah.

Jangan pernah engkau beranggapan bahwa sama halnya antara berjama’ah dan infirad (sendirian). Sungguh sekali-kali tidak akan pernah sama. Karena bila demikian halnya, pastilah shalat berja­ma’ah pun akan sama halnya dan ke­dudukannya dengan shalat sendiri-sen­diri. Bukankah Nabi SAW bersabda, ‘Ke­utamaan shalat berjama’ah atas shalat sendirian adalah dua puluh tujuh dera­jat.’ Maknanya, shalat sendirian memiliki kedudukan satu dari dua puluh tujuh de­rajat shalat bila dilakukan dengan ber­jama’ah. Bila engkau ketahui hal itu, ma­nakah dari keduanya yang lebih engkau sukai?!”

Demikianlah telaah kitab singkat kita untuk edisi kali ini, agar kita senantiasa de­kat dengan petunjuk para ulama sha­lihin. Semoga ini semua menjadi ilmu yang bermanfaat dan kita mendapatkan keberkahan dari kitab ini, pengarangnya, dan terutama penyusun Ratib Al-Haddad, Al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad RA. Amin….

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: