Ad 468 X 60

.

Friday, July 10, 2015

Widgets

Kajian Kitab Mukasyafatul Qulub (bagian 2) : Nabi Dawud as. dan Seekor Cacing Merah.

(Kajian ini saya sarikan dari pengajian kitab Mukasyafatul Qulub yang saya sampaikan di Mushala Al-Iman Kantor UPK Tambak Banyumas selepas shalat Subuh dan selepas shalat Tarawih, semoga bermanfaat)

Nabi Dawud as. dan Seekor Cacing Merah.

Alkisah, suatu saat Nabi Dawud as. sedang duduk di atas pertapaannya sambil membaca Zabur tatkala dia melihat seekor cacing merah di tanah di bawah tempat duduknya. Lalu Nabi Dawud berkata pada dirinya sendiri, "Apalah yang Allah kehendaki dari menciptakan seekor cacing ini?"

Lalu Allah memberikan ijin kepada cacing itu untuk berkata kepada Dawud. Cacing itu pun berkata, "Wahai Nabi Allah, bukankah di waktu siangku Tuhanku mengilhamiku untuk mengucapkan 'Subhanallah, wal hamdulillah, wa laa ilaaha illallah, wallahu akbar" di setiap harinya. Kemudian di waktu malamku, Tuhanku mengilhamiku untuk berucap, "Allahumma shalli 'alaa Muhammad, nabiyyul ummi, wa 'alaa aalihi wa shahbihi, wa sallim" di setiap malamnya seribu kali. Sedangkan engkau, apa yang engkau ucapkan itu? Sehingga aku yang seekor cacing ini bisa mengambil manfaat dari ucapanmu itu?"

Maka menyesal lah Dawud as. atas penghinaannya terhadap seekor cacing itu, Dawud as. pun merasa takut kepada Allah lalu bertaubat dan bertawakkal kepada-Nya.

Maha Benar Allah dalam Firman-Nya 

الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السماوات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك فقنا عذاب النار

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka." (QS: Ali Imran: 191)

Dari kisah sini setidaknya kita bisa mengambil empat pelajaran. 
Pelajaran Pertama, keberadaan cacing yang nampak tak ada gunanya saja mendapat kedudukan di sisi Allah sebagai makhluk yang ditugasi untuk berdzikir dan mendoakan Nabi Muhammad SAW. Apalagi keberadaan kita? Kita yang manusia, yang memiliki akal, yang diberi tuntunan wahyu, yang diberi kesempurnaan fisik (fi ahsani taqwim), dan dipilih oleh Allah SWT untuk mengelola bumi (khalifatan fil ardh), tentu memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah selama kita selalu tunduk patuh kepada-Nya. Jadi tak perlu lah kita merasa minder dan putus asa dengan segala keterbatasan diri kita. Kita memiliki peran yang tidak bisa diperankan oleh orang lain. Pun orang lain memiliki peran yang belum tentu bisa kita perankan. Hidup kita memiliki arti dan penting, maka manfaatkan hidup kita untuk kebaikan.

Pelajaran kedua kita dilarang meremehkan mahkluk Allah. Mungkin kita lebih cantik atau rupawan dari seseorang, lebih berpendidikan, lebih terhormat, dan lebih dalam hal harta dari orang lain. Namun kita tidak pernah tahu di mana kedudukan kita di mata Allah dibandingkan orang yang kita remehkan? Bisa jadi orang yang kita remehkan itu jauh lebih mulia di sisi Allah dibanding diri kita.

Pelajaran ketiga adalah bahwa kita tidak diukur dari apa jabatan kita, seberapa banyak harta kita, setinggi apa derajat pendidikan kita, dan seperti apa manusia memandang kita, tapi kita dilihat dari manfaat apa yang kita berikan kepada manusia, alam, dan makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya.

Pelajaran keempat, merenungkan ciptaan Allah bisa mengantarkan kita kepada ma'rifat kepada Allah. Karena selain ayat-ayat qouliyah yang ada di dalam Al-Qur'an, Allah juga menyebarkan firman-Nya di alam semesta ini. Ibnu Rusydi pernah berkata, "Kebenaran itu tercecer di mana-mana, maka ambil lah kebaikan walau pun dari orang yang berbeda keyakinan denganmu."

Tambak, 4 Ramadhan 1436 H
Sumber : Zulfahani Hasyim

SHARE THIS POST   

  • Facebook
  • Twitter
  • Myspace
  • Google Buzz
  • Reddit
  • Stumnleupon
  • Delicious
  • Digg
  • Technorati

0 komentar: